Selasa, 06 Desember 2011

MENEMUKAN SEBAB SEBAB PERBEDAAN PENENTUAN AWAL ADAN AKHIR ROMADHON DALAM STUDY ILMU FALAK

Oleh: Mustafa Syukur, MSI
.A. PENDAHULUAN
Diantara kita mungkin ada yang pernah ke luar negeri misalnya di Arab Saudi, disana sangat jarang sekali (hampir tidak ada) perbedaan dalam ber-Hari Raya, mereka hampir selalu bersama-sama dalam ber-Hari Raya, tidak seperti di Indonesia yang agak sering terjadi, bahkan menurut catatan; negara kita Indonesia ini memegang rekor tertinggi seringnya berbeda dalam ber-Hari Raya. Perbedaan ini tidak jarang juga menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam dan dapat mengganggu ke khusu’an serta kemantapan persatuan ummat Islam.itu disebabkan perbedaan penentuan awal dan akhir Romadhon.
Sungguh akan lebih indah lagi jika ummat Islam di Indonesia ini bisa bersama-sama dalam ber-Hari Raya. Apa penyebab adanya perbedaan awal dan akhir Romadho yang mengakibatkan  Hari Raya di Indonesia berbeda? Dan bagaimana solusinya?
Di dalam makalah ini hal tersebut akan dibahas dan kami berharap bisa menjadi solusi  yang akan mengakhiri perbedaan Hari Raya di Indonesia, Amin.      

B. PENYEBAB ADANYA PERBEDAAN AWAL DAN AKHIR ROMADHON

Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada umumnya langsung ‘Menuduh” bahwa perbedaan itu di sebabkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat, memang benar bahwa perbedaan itu dapat di timbulkan karena perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus- kasus tertentu, justru perbedaan itu di sebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang di sebabkan oleh adanya perbedaan dikalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan dikalangan ahli rukyat sendiri, atau perbedaan lain diluar teknis hisab rukyat, misal karena adanya informasi dari Saudi Arabia tentang jatuhnya hari wukuf, yang berbeda dengan keadaan di Indonesia, walaupun kalangan dan ahli hisab sepakat mengenai keadaan di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, kami ingin mengemukakan penyebab perbedaan dengan membaginya kepada penyebab yang berasal dari perbedaan antara hasil hisab dan rukyah, perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri, dan penyebab diluar teknis hisab rukyat.

1)      Perbedaan antara hisab dan rukyat.
Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia, terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab (misalnya Muhammadiyah) dan kelompok masyarakat yang berpedoman pada rukyat (misalnya NU). Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai alasan fiqh masing-masing, yang berbeda satu sama lain.
Di Indonesia, perbedaan pedoman ini tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya, bahkan ada kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab dan rukyat ini. Dari kasus-kasus yang tercatat di Direktorat pembinaan peradilan Agama, sejak tahun 1962, ada suatu kesimpulan bahwa jika ahli hisab menyatakan hilal berada di bawah ufuq maka tidak pernah ada orang yang melaporkan bahwa hilal berhasil di rukyat. Ini artinya dalam keadaan hilal dibawah ufuq, kalangan hisab dan kalangan rukyat selalu sepakat dalam memulai puasa atau berhari raya.
Sebaliknya, jika Ahli Hisab sepakat Hilal telah di ufuk, maka hampir selalu dilaporkan Hilal berhasil diRukyat. Ini artinya, hasil Hisab hampir selalu sama dengan hasil Rukyat. Kasus perbedaan penetapan awal Romadlon 1407 H atau 1987 adalah diantara sedikit kasus perbedaan yang disebabkan murni karena perbedaan Hisab dan Rukyat. Dalam kasus tersebut, ahli Hisab sepakat bahwa di seluruh wilayah Indonesia Hilal telah berada di atas ufuk, tapi tidak ada laporan yang menyatakan melihat Hilal.
Hanya saja semenjak tahun 2000, ketika Muhammadiyah memutuskan penentuan awal bulan dengan hisab Wujudul Hilal yaitu asal hilal diatas ufuk walaupun kurang dari 2 drajat (misal 0,5 drajat), sedangkan NU (pemerintah RI) tetap berpegang teguh dengan Rukyah-nya, maka perbedaan Hari Raya tersebut agak sering terjadinya. Kenapa? Karena kebiasaannya hilal bisa di rukyah itu minimal ketinggiannya 2 drajat, sehingga ketika tinggi hilal kurang dari itu, maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah yang otomatis NU (pemerintah RI) akan menempuh jalan Istikmal sedangkan Muhammadiyah tidak akan menempuh jalan tersebut karena hilal dianggap sudah Wujud. Jadi perbedaan  hari raya dapat dipastikan terjadi.

2)      Perbedaan dikalangan Ahli Hisab.

Perbedaan dikalangan ahli Hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macam sistem dan referensi Hisab, dan berbeda-bedanya kriteria hasil Hisab yang dijadikan pedoman. Saat ini terdapat lebih dari 30 sistem dan referensi Hisab yang masih dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Semuanya itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang dikenal dengan istilah Kolompok Hisab Taqribi, Hisab Tahqiqy dan Hisab Kontemporer kelompok Hisab Taqribiy seperti Kitab Sullamunnayyiroin, Al-Qowa’idul Falakiyah dan Fathur Roufil Mannan menyajikan data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara sederhana tampa menggunakan ilmu ukur segi tiga bola, sedangkan kelompok Hisab Tahqiqy seperti Al-Khulashotul Wafiyah, Hisab Haqiqi dan Nurul Anwar menyajikan data dan sistem perhitungan dengan menggunakan kaidah-kaidan ilmu ukur segi tiba bola. Kelompok Hisab Kontemporer seperti sistem H. Sa’aduddin Jambek dengan Tata Almanak Nautika, Dian Meeus dan Ephemeris Hisab Rukyat, disamping menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola, juga mempergunakan data yang up to date.
Ketiga kelompok referensi Hisab tersebut mempunyai keistimewaannya masing-masing. Namun untuk perhitungan posisi bulan dan matahari secara detail ketiga kelompok tersebut menghasilkan data yang berbeda, terutama antara kelompok Hisab Taqriby dengan dua kelompok Hisab lainnya. Sebagai contoh menjelang awal Syawal 1412 H/1992 untuk perhitungan ketinggian bulan, perbedaan tersebut dapat mencapai nilai 4 ½ drajat. Perbedaan ini akan mempunyai konsekwensi perbedaan penetapan awal bulan, jika yang satu menyatakan Hilal sudah diatas ufuk, sementara yang lainnya menyatakan Hilal masih dibawah ufuk, seperti kejadian awal Syawal berturut-turut tahun 1412, 1413 dan 1414 H. dengan demikian, perbedaan itu, bukan hanya terjadi antara kalangan Hisab dan kalangan Rukyat, namun juga terjadi antara kalangan Hisab itu sendiri.
Para Ahli Hisab, selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem Hisab, juga berbeda-beda dalam menggunakan kriteria hasil Hisab dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Sebagian berpedoman kepada Ijtima’ Qoblal Ghurub, sebagian berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk.
Yang berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk juga berbeda-beda ada yang berpedoman pada Wujudul Hilal diatas ufuk, ada yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 atau 50 semuanya ini dapat menimbulkan penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan sistem dan referensi Hisab yang sama. Contoh kasus dalam hal ini adalah perbedaan yang terjadi pada penetapan awal Syawal 1423 H atau 2002 dan awal Dzulhijjah 1423 H / 2003. pada kedua kasus itu, antara kalangan Hisab yang berpedoman pada Wujudul Hilal antara lain Muhammadiyah dan kalangan Hisab yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 (antara lain PERSIS) terjadi perbedaan. Kalangan yang pertama berhari raya satu hari terlebih dahulu dari kalangan yang kedua, sebab tinggi Hilal di wilayah Indonesia sudah diatas ufuk walaupun belum mencapai 20.
Mungkin diantara kita ada yang menganggap bahwa Hisab tidak boleh dipakai dalam penentuan awal bulan Hijriyah, padahal sebenarnya ada Fuqoha’ yang memperbolehkannya. Untuk memperjelas hal tersebut alangkah lebih baiknya kalau kita lihat keterangan Fuqoha’ yang kami kutipkan sebagai berikut:
Sejumlah Hadis Soheh menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Hijriyah, khususnya Romadhon dan Syawal dengan salah satu dari tiga cara : Pertama melihat hilal, kedua  menyempurnakan bulan yang bersangkutan (Ikmal) dan yang ketiga : mentakdirkan adanya hilal (mis; dengan ilmu hisab), hanya saja cara yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh Fuqoha’.
Perselisihan ini dilatarbelakangi adanya ketidaksamaan interpretasi terhadap kalimat فاقدرواله pada Hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang bunyi lengkapnya:
لاتصوموا حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله
“ Janganlah kamu berpuasa sehingga melihat hilal (Romadhon). Dan jangan pula kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu melihatnya (hilal Syawal). Dan jika hilal tertutup mendung, maka taqdirkanlah”.
Satu pendapat mengatakan bahwa makna dariفاقدرواله  adalah sempurnakan bulan Sya’ban / Romadhon itu menjadi 30 hari. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah tidak boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, jumhurul salaf dan Kholaf.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa makna dari فاقدرواله adalah perkiraaan hilal itu dengan berdasarkan ilmu Hisab. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah  boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Muthorif bin Abdullah (tokoh Tabi’in), Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah dan kebanyakan ulama’ mutaakhirin (zaman sekarang).
 Argumentasi Fuqoha’ yang tidak membolehkan ilmu hisab dalam penetapan awal bulan hijriyah antara lain : Hadis Ibnu Umar diatas tidak boleh diamalkan karena hadis tersebut masih bersifat global. Lebih lanjut menurut mereka; hadis Ibnu Umar yang bersifat global harus diartikan dengan hadis yang memuat penjelasaan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang berbunyi :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
” Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya (hilal Romadhon) dan berbukalah kamu semua (berhari Raya Idul Fitri) karena terlihatnya (hilal Syawal). Jika ia tertutup bagimu, maka sempurnakanlah ia 30 hari”.
Argumentasi yang lainnya : Barangsiapa yang mengatakan bahwa makna فاقدرواله adalah  ditentukan dengan Hisab, dibantah oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang berbunyi :
إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب
“ Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung”.
Imam An-Nawawi salah satu tokoh dari madzhab Syafi’i menambahkan : Andaikan orang-orang diharuskan melakukan hisab, pasti mereka tidak akan mampu. Karena mereka tidak bisa hisab, yang bisa hanya beberapa orang yang berdomisili di negara-negara besar.
Dari sebagian argumentasi diatas, fuqoha’ tidak membolehkan pemakaian hisab dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Dan pendapat inilah yang dianut oleh NU dan pemerintah Indonesia saat ini.  
Sedangkan fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan Hijriyah dengan ilmu Hisab, berargumentasi : Hadis mengenai perintah puasa dengan cara terlihatnya hilal (ru’yah) oleh fuqoha’ yang membolehkan penggunaan hisab, dipahami bahwa adanya hilal itu dapat dilihat karena antara matahari dan bulan telah terjadi konjungsi, serta posisi hilal sudah berada diatas ufuk. Lebih dari itu adanya perintah istikmal hanya 30 hari karena pada saat matahari terbenam pada hari ke-30 tersebut pasti sudah terjadi konjungsi, serta posisi hilal pasti sudah diatas ufuk sekalipun tidak dapat dilihat. Sehingga ru’yah bil fi’li yang berlaku di zaman Rosululloh dipahami sebagai salah satu media observasi bulan untuk membuktikan keberadaan hilal.
Padahal ilmu Hisab (Qoth’i) dapat memperhitungkan keberadaan hilal yakni kapan terjadinya konjungsi dan bagaimana posisi hilal diatas ufuk, sehingga menurut fuqoha’ golongan ini berpandangan bahwa hisab tidak jauh berbeda dengan ru’yah yaitu sama-sama berfungsi sebagai media observasi (sarana). Oleh karena ru’yah bisa dijadika penetapan awal bulan maka tentunya hisab dapat juga dijadikan dasar penetapan awal bulan, dan diperkuat adanya hadis Ibnu Umar فاقدرواله yang oleh Ibnu Suraij hadis tersebut diperuntukkan untuk orang-orang yang dianugrahi ilmu falak oleh Alloh SWT, sedangkan فأكملوا العدة ditujukan pada orang-orang awam (tidak bisa ilmu Hisab).
Berbedanya khitob (sasaran seruan) lantaran perbedaan situasi dan kondisi adalah persoalan realistis dan hal tersebut banyak terjadi dalam nash-nash agama. Bahkan perbedaan khitob ini menjadi azaz bagi qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :
تغير الفتاوى بتغير الزمان والحال
“Berubahnya fatwa-fatwa karena perubahan zaman dan keadaan”.
Lebih jauh lagi Ibnu Suraij mengutip (menukil) pendapat dari Imam Syafi’i bahwa Imam Syafi’i berkata : orang-orang yang madzhabnya itu mengambil pedoman dengan bintang-bintang dan kedudukan bulan, kemudian jelas baginya menurut dalil tersebut bahwa hilal sudah bisa dilihat, tetapi tertutup awan, maka orang tersebut boleh menjalankan puasa dan hal itu sudah mencukupinya (lihat Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal 243). Sehingga Ibnu Suraij berpendapat bahwa seseorang yang mengerti ilmu hisab, kemudian dia mengetahui bahwa besok tanggal satu Romadhon, maka ia wajib berpuasa, karena ia tahu berdasasrkan dalil. Jadi, sama saja dengan mengetahui hilal dengan mata kepala.
Sedangkan hujjah (dalil) yang dipakai fuqoha’ bahwa tidak boleh memakai hisab karena kita merupakan ummat ummiyyah (tidak bisa baca dan tulis), menurut Yusuf Al-Qorodhowi kurang tepat untuk masalah ini. Sebab hadis tersebut membicarakan perihal keadaan ummat dan sifat ummi itu dilekatkan oleh Rosululloh pada bangsa Arab ketika beliau baru saja diangkat menjadi Rosul. Tetapi sifat ummiyah bukanlah perkara yang tetap dan dikehendaki oleh Rosululloh. Buktinya beliau telah berusaha keras untuk memberantas buta huruf dengan cara menyuruh para sahabat yang pandai baca dan tulis agar mengajari yang buta huruf dan hal tersebut sudah dirintis oleh beliau semenjak perang Badar. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mustahil dalam kondisi ummat yang sekarang ini terdapat orang yang pandai ilmu Hisab.
Adapun penilaian yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi, yaitu bahwa ilmu hisab hanya diketahui oleh beberapa orang yang tinggal di negara-negara besar, hal tersebut benar jika dihubungkan dengan zaman Imam An-Nawawi sendiri. Tetapi menjadi salah kalau dihubungkan dengan zaman sekarang. Ilmu falak (hisab) sekarang sudah dipelajari di berbagai perguruan tinggi yang di bantu dengan teropong bintang. Sehingga sekarang menjadi keputusan internasional bahwa kemungkinan keliru dalam menentukan detik yang dilakukan oleh dewan hisab dan ru’yah 1 banding 100000 (lihat,  Fiqhus Shiyam, halaman 26 – 27).
Kalau diperhatikan pendapat dari ulama’ mutaqoddimun, ternyata yang menjadi penyebab tidak dibolehkannya penggunaan hisab karena beralasan (illatnya) ummat Islam  adalah ummi (tidak bisa baca dan hitung), sebagaimana bunyi dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب.
Hal ini berarti menjadikan ru’yah sebagai satu-satunya cara untuk penetapan awal bulan karena illat yang sudah di nash oleh agama yaitu kita adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menghitung), yang otomatis bertentangan dengan  qoidah fiqhiyyah yang berbunyi
الحكم يدور مع العلته وجودا و عدما    
“ Hukum  itu tergantung pada illatnya, baik adanya maupun tidak adanya “.
Maksud dari qoidah ini: apabila illatnya ada; yaitu umat islam yang ummi (tidak bisa baca dan hitung) maka hukumnya pasti ada; artinya  penetapan awal bulan harus dengan ru’yah. Akan tetapi apabila illatnya tidak ada yaitu seluruh atau sebagian besar ummat islam sudah bisa membaca dan berhitung (ilmu Hisab), otomatis hukum wajib ru’yah juga tidak ada (bisa diganti dengan hisab).
Agak banyak ulama’ mutaakhirin (masa sekarang) yang memberikan fatwa : penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab (qoth’i), antara lain : Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir, Al-Allamah Asy-Syahid Rosyid Ridho, Al-Faqih Al-Kabir Asy-Syeh Mustofa Az-Zarqo’ Hafizdohulloh, Syeh Mustofa Al-Maroghi, Syeh Ali Tantowi, Doktor Yusuf Al-Qorodhowi dll.
Dalam hal ini, Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir telah menulis risalah dengan judul Awailus Syuhur Al-Arobiyah. Dalam risalah tersebut di jelaskan dengan panjang lebar berdasar dengan dalil-dalil yang kuat, ringkasannya sebagai berikut :
“Bangsa yang ummi, yang tidak kenal baca dan tulis, harus berpegang teguh kepada ru’yah. Tetapi bila situasi dan kondisi telah berubah, dimana ummat Islam sekarang sudah pandai menulis dan berhitung, tidak lagi memerlukan bantuan ghoirul muslimin dalam menetapkan awal bulan dengan hisab, mereka bisa berpegang kepada hasil hisab sebagai ganti dari ru’yah. Sebab hisab merupakan wasilah (sarana) yang lebih jeli, lebih teliti, dan lebih mudah mempersatukan pendapat kaum muslimin dalam mengawali masuknya bulan baru. Menurut beliau awal bulan bisa ditetapkan : apabila menurut hasil hisab tenggelamnya matahari lebih dulu dari hilal walaupun hanya terpaut beberapa detik saja.“ (lihat Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyah, hal 7-15). Kayaknya pendapat inilah yang di adopsi kalangan Muhammadiyah.  
Hanya saja pendapat Syeh Syakir yang terakhir ini (yang saya garis bawahi) dikritik oleh Yusuf Al-Qorodhowy, beliau berkata bahwa terlihatnya hilal memerlukan waktu, teks nya sebagai berikut :
المرجح أن يبقى بعد الغرب مدة يمكن فيها ظهوره، بحيث يمكن رؤيته باالعين المجردة، وذلك نحو  أو [20] دقيقة على ما ذكر أهل الإختصاص.
Maksud dari teks diatas :“Pendapat yang kuat : awal bulan bisa ditetapkan apabila hilal sudah wujud, dalam arti memungkinkan di lihat dengan mata; yang menurut ahli ihtishos (Astronom) : hilal baru wujud (imkanurru’yah) ketika tenggelamnya hilal 15 menit atau 20 menit setelah terbenamnya matahari.
Dari sini jelas, bahwa Yusuf Al-Qorodhowy cenderung pada hisab imkanurru’yah, yang sebelumnya pendapat ini juga pernah dilontarkan oleh : Al-Qolyubi, Ibnu Qosim Al-Ubbadi , Al-Imam Ibnul Daqiqil Id dan fuqoha’ lainnya.
Menurut hemat kami, penetapan awal bulan dengan hisab yang mensyaratkan kriteria imkanurru’yah; lebih kuat, karena perintah ru’yah dari Rosululloh صوموا لرؤيته; mengisyaratkan kepada kita bahwa hilal adalah fenomena yang tampak, dan tidak relevan jika berkenaan dengan sesuatu yang tidak tampak.
Dan kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang di katakan Yusuf Al-Qorodhowi dalam buku Ushul Feqihnya, yang intinya : Untuk memahami hadis yang baik, maka kita harus dapat membedakan antara tujuan dan sarana (wasilah).
Dalam hadis Ibnu Umar صوموا لرؤيته menunjukkan adanya tujuan dan sarana. Tujuan dari hadis tersebut kita disuruh berpuasa pada bulan Romadhon secara keseluruhan, sedangkan sarana untuk memulai berpuasa adalah dengan ru’yah bil fi’li; yang merupakan sarana yang termudah bagi ummat Islam pada zaman Rosululloh. Kalau kita mempunyai sarana lain dan jauh dari kemungkinan salah, keliru, kebohongan dan sangat mudah yaitu ilmu Hisab. Kenapa kita harus jumud atau terus berpegang pada sarana yang sebenarnya itu bukanlah tujuan dari hadis yaitu berpuasa ?.
Dari dua pendapat tersebut diatas (penetapan awal bulan dengan ru’yah dan hisab) yang sejalan dengan ilmu Astronomi adalah pendapat yang terakhir yaitu : bolehnya pemakaian hisab dalam penentuan awal bulan jika hilal sudah wujud, dalam arti ada sebagian piringan bulan yang menghadap ke bumi; yang seumpama tidak ada penghalang (misalnya mendung), hilal akan terlihat. Pertimbangannya : peredaran atau kedudukan  bulan bisa diketahui dengan keakuratan yang mendekati orde detik dan hal itu bisa dibuktikan dengan observasi. Dan bisa terjadi suatu kasus yang tidak logis yaitu : seumpama hilal telah wujud diatas ufuk dengan ketinggian 11 drajat, lalu terjadi mendung. Nah….kalau awal bulan kita undur (istikmal karena mendung) maka tidak tertutup kemungkinan bulan purnama akan terjadi pada tanggal 12. Hal ini tidak logis karena bulan purnama tidak pernah terjadi pada tanggal 12.
Dan rupanya pendapat fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab ini, digunakan oleh Muhammadiyah.
Solusi terbaik bagi kita dengan adanya fuqoha’ yang mewajibkan ru’yah dan hisab adalah menggabungkan kedua-duanya, artinya kita tetap melakukan ru’yah karena jumhurul fuqoha’ mengatakan hal tersebut fardu kifayah dan ru’yah sifatnya ta’abuddy (tidak menerima interpretasi selain ru’yah), tetapi hasil ru’yah tersebut harus dikontrol dengan hisab. Jika menurut hisab; hilal tidak mungkin untuk diru’yah, maka ru’yah tersebut wajib ditolak.   

3)      Perbedaan dikalangan ahli Rukyat
Tidak seluruh kalangan ahli Rukyat di Indonesia, kini, keadaannya sama seperti dimasa Nabi SAW, dimana laporan Rukyat dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli Rukyat mensyaratkan bahwa hasil Rukyat harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil Hisab. Jika hasil rukyat bertentangan dengan hasil Hisab maka hasil rukyat tidak dapat diterima. Akibatnya, dikalangan ahli Rukyat itu sendiri perbedaan dimulai puasa dan berhari raya dapat terjadi seperti kasus-kasus pada Idul Fitri 1412H/1992, 1413H/1993 dan 1414H/1994.
Disamping itu para ahli Rukyat masih belum sepakat bulat tentang Mathla’, sejauh mana jangkauan berlakunya hasil Rukyat suatu tempat, masih terjadi perdebatan. Ada yang menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku lokal, namun ada juga yang berpendapat bahwa Rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia (global). Perbedaan pendapat mengenai Mathla’ ini dapat mengakibatkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi Arabia dikabarkan telah berhasil Rukyat. Maka di Indonesia akan terpengaruh oleh informasi hasil Rukyat tersebut.
Dan karena pentingnya permasalahan ini maka kami akan mencoba mengutipkan pendapatnya Fuqoha’ mengenai matla’ tersebut dengan agak panjang lebar sebagai berikut:
Seperti yang telah kita ketahui Fuqoha’ berselisih pendapat mengenai seberapa luas batas geografis pemberlakuan hasil ru’yah. Sebagian fuqoha’ berpendapat bahwa hukum ru’yah itu bersifat lokal (hasil ru’yah mengikat daerah sekitarnya saja). Itulah pendapat mayoritas Syafi’iyyah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i, berpendapat bahwa ru’yah itu global artinya hasil ru’yah mengikat seluruh dunia .(lihat, Rohmatul ummah Fihtilafil Aimmah, hal 94).
Catatan: menurut keterangan lain hasil ru’yatul hilal suatu negara tidak berlaku bagi negara lain yang sangat jauh seperti Andalus (Spanyol) dan Hijaz (U.E.A.)    
Perbedaan ini; salah satunya dilatarbelakangi oleh hadis Kuraib yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
عن كريب أن امّ الفضل بعثته إلى معاويةَ بالشام، فقال : فقدمت الشام، فقضيت حاجتَها، واستهِلَّ عليّ رمضانُ وأنا باالشام، فرأيت الهلالَ ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينةَ في آخر الشهر، فسألني عبدالله بن عباسٍ، فقال : متى رأيتم الهلالَ ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة، فقال : أنت رأيتَه ؟ فقلت : نعم، ورآه الناسُ وصاموا، وصام معاويةُ، فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت، فلانزالُ نصوم حتى نكمل ثلاثين أونراه، فقلت : ألا نكتفي برؤية معاويةَ وصيامه ؟ فقال : لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
.
“Dari Kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh Ummul Fadli untuk menemui Muawiyah di Syam, Kuraib berkata : lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummul Fadli itu. Ketika bulan Romadhon tiba, aku masih berada di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan Romadhon. (ketika itu) Abdulloh bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal ; “kapan kamu melihat hilal?” aku menjawab : “kami melihat hilal pada malam Jum’at”. Ibnu Abbas bertanya lagi : “Kamu melihatnya juga ?” jawabku : “Ya, dan orang lain juga melihatnya dan mereka berpuasa, demikian pula Muawiyah”. Lalu Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami disini melihat hilal pada malam sabtu. Jadi kami tetap berpuasa sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali) “. Kemudian aku bertanya : “ Apakah tidak cukup dengan ru’yahnya Mu’awiyah dan dengan puasanya ?”. Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, sebab demikianlah perintah Rosululloh SAW kepada kami”
Satu pendapat mengatakan bahwa hadis ini tidak perlu diamalkan karena Ibnu Abbas dalam hadis Kuraib itu hanya menuturkan pemahamannya sendiri terhadap perintah Rosululloh SAW dan bukan meriwayatkan sesuatu yang beliau hafal dari Rosululloh. Sehingga hadis Kuraib yang sebenarnya bisa bertindak sebagai Mukhosis (yang mengkhususkan), tidak dapat mentakhsis hadis lainnya yang menunjukkan makna umum (ru’yah global) yaitu   
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Sehingga mereka berpendapat bahwa ru’yah itu global, sesuai dengan khithob (seruan) dalam sabda Rosululloh Shumu (berpuasalah kamu) dan Aftiru (berbukalah kamu) yang menunjunkkan makna umum di tujukan kepada seluruh kaum muslimin di segala penjuruh dunia (berlaku secara global). Keberlakuan global ini berdasarkan kaidah syara’:
العام يبقى على عمومه مالم يرد دليل التخصيص
“Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada keumumannya sampai tidak ada dalil yang menghususkannya”.
Disamping itu lafadz ru’yatuhu (dalam rangkaian liru’yatihi) adalah isim jinis yang di sambung dengan kata ganti (orang ketiga tunggal), yang artinya ru’yatul hilal yang di lakukan oleh siapapun di antara kaum muslimin.
Dan ada satu pertimbangan lagi yang sangat penting yaitu persatuan dari umat islam itu sendiri. Apabila hukum ru’yah di berlakukan secara lokal, maka hal tersebut bisa memancing perpecahan.
Dari kesekian argumen di atas, jumhurul fuqoha’ mengatakan ru’yah di suatu negara berlaku juga bagi negara-negara lain di dunia (bersifat global).
Sedangkan pendapat fuqoha’ lainnya menerima (mengamalkan) hadis Kuraib, yang otomatis mentakhsis hadis Ibnu Umar yang bersifat umum, artinya ru’yah tersebut bersifat lokal. Pertimbangan kelompok ini adalah syara’ menggantungkan kewajiban puasa dengan lahirnya bulan Romadhon, sedangkan permulaan bulan pastinya berbeda karena adanya perbedaan jauh dekatnya antara negara satu dengan yang lainnya. Disamping itu mereka mengqiyaskan perbedaan terbit-terbenamnya bulan dengan terbit-terbenamnya matahari; sebagaimana kita ketahui antara daerah satu dan lainnya berbeda.
Didalam madzhab Syafi’i, diketemukan setidaknya 5 pendapat tentang jarak ke garis batas matla’ dari lokasi ru’yatul hilal, yaitu :
1.Pemberlakuan hasil ru’yah hanya sejauh jarak dimana qoshor sholat tidak diijinkan, yaitu kira-kira 80 km.
2.      Pemberlakuan hasil ru’yah 8o bujur.
3.Pemberlakuan hasil ru’yah se-negara (wilayatul hukmi). Seperti yang dianut oleh Indonesia, sehingga di bagian manapun dari wilayah Indonesia ru’yah dilakukan, maka hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.
4.Pemberlakuan hasil ru’yah adalah sejauh 24 farsakh (133 km).
5.      Sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Sarokhsi, ukurannya bukan jarak tertentu, melainkan peluang ru’yah atau imkanurrukyah. Teksnya sebagai berikut :
إذا رآه أهل ناحية دون ناحية، فإن قربت المسافة لزمهم كلهم. وضابط القرب : أن يكون الغالب أنه إذا أبصره هؤلاء لايخفى عليهم إلالعارض، سواء في ذلك مسافة القصر أوغيرها. قال : فإن بعدت المسافة، فثلاثة أوجه [احدها] يلزم الجميع، ـ الى ان قال ـ [والثالث] إن كانت المسافة بينهما بحيث لايتصور أن يرى ولايخفى على أولئك بلاعارض لزمهم، وإن كانت بحيث يتصور أن يخفى عليهم فلا.
Maksud dari teks diatas : Hasil ru’yah berlaku juga bagi daerah (negara) yang jauh, jika daerah yang jauh tersebut sudah imkanurru’yah, tetapi jika daerah yang jauh tersebut hilal tidak mungkin di ru’yah (misalnya hilal masih di bawah ufuk), maka hasil ru’yah daerah lain tidak berlaku bagi daerah yang tidak imkanurru’yah tersebut.
Menurut hemat kami, dari kelima pendapat tersebut diatas yang sesuai dengan sudut pandang Astronomi adalah pendapat yang terakhir (pendapatnya Imam As-Sarokhsi), yaitu menjadikan visibilitas hilal atau imkanurru’yah sebagai acuan dalam penentuan garis batas matla’. Misalkan daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 8o, sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut mencapai sekitar  5o (imkanur ru’yah), maka Indonesia termasuk ikut matla’ Mesir, karena termasuk kawasan imkanurru’yah. Tetapi jika daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 5o sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut hanya sekitar 1o (tidak imkanurru’yah), maka Indonesia tidak termasuk ikut matla’ Mesir, karena tidak termasuk kawasan imkanurru’yah
Dan secara empirik pun, ternyata permukaan bumi sesudah matahari terbenam paska konjungsi disetiap akhir bulan, selalu terbagi menjadi dua, yakni kawasan yang mengalami penampakan hilal dan kawasan yang tidak mengalami penampakan hilal. Karena itu daerah-daerah di dalam kawasan yang mungkin mengalami penampakan hilal bisa memasuki bulan baru berdasarkan ru’yatul hilal, sedangkan daerah-daerah yang berada diluarnya harus memasuki bulan baru berdasarkan istikmal.
Pendapat Imam As-Sarokhsi merupakan solusi terbaik dalam menanggapi perbedaan fuqoha’ pada permasalahan berlakunya hukum ru’yah (lokal atau global).

4)      Penyebab diluar tehnis Hisab Rukyat
Khusus mengenai perbedaan penetapan Idul Adlha di Indonesia, selain penyebab-penyebab tersebut diatas, juga karena adanya pemehaman Fiqih yang berbeda, sebagian menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari Wukuf di Saudi Arabia sedangkan sebagian lain menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia berdasarkan keadaan di Indonesia.
Sejak lama perbedaan pemahaman tersebut berusaha untuk dipertemukan, namun penyeragaman pemahaman sangat sulit untuk dapat dilaksanakan. Akhirnya dilakukan usaha perumusan pedoman penetapan Idul Adha sebagai pegangan pemerintah. Untuk itu dilakukan Musyawaroh-musyawaroh pada tahuan 1977,1987 dan 1992. hasilnya tetap bahwa Idul Adha di Indonesia dilakukan berdasarkan keadaan di Indonesia, tidak mengikuti penetapan di Saudi Arabia.
Khusus mengenai proses penetapan Idul Adlha di Indonesia, ada perkembangan yang menarik untuk dikemukakan disini, jika kita perhatikan keputusan-keputusan menteri agama sejak dulu sampai sekarang, maka terlihat bahwa sejak dahulu penetapan Idul Adha dilakukan bersamaan dengan penetapan hari-hari libur nasional lainnya, dalam bentuk keputusan Menteri Agama tentang hari libur yang dikeluarkan pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, maka Idul Adlha dilakukan berdasarkan Hisab, tanpa Rukyat dan tanpa sidang Itsbat. Namun sejak tahun 2001, sejak zaman Mentri Agama Bapak K.H.M. Tolhah Hasan dalam rangka mengakomodir pendapat-pendapat yang berkembang, maka penetapan Idul Adlha pun dilakukan dalam sidang Itsbat, setelah menerima laporan hasil Hisab dan hasil Rukyat. Nampaknya memang lebih demokratis, namun ada juga yang berpendapat bahwa semakim banyak dimusyawarohkan semakin banyak pula kemungkinan adanya perbedaan.
Penyebab non tehnis lainnya-dan ini merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan- adalah sulitnya dilakukan kesepakatan tentang pedoman penetapan awal bulan Qomariyah yang dapat mengikat semua pihak. Kesepakatan telah berkali-kali diusahakan, namun selalu sulit untuk dapat diterima secara bulat oleh semua pihak. Sebetulnya, pernah ada suatu kemajuan, dimana semua pihak sepakat bahwa yang mempunyai hak Itsbat adalah pemerintah. Namun manakala keputusan pemerintah itu tidak sama dengan keputusan kelompok, maka bagi kelompok tersebut keputusan kelompoklah yang diberlakukan.

Daftar Pustaka
Ad-Dasuqi, Syamsuddin Mohammad Bin Ahmad Bin Urfah,, Hasyiyah Ad-Adasuqi, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ad-Dimasyqi, Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Al-hidayah, Surabaya, tt.
Al-Allamah Asy-Syahid Rasyid Ridho., Tafsir Al-Manar.
Al-Asqolany, Al-Hafidz Ibnu Hajar., Fathul Bari  Syarah Al-Bukhori, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Al-Bahuti, Mansur Bin Yunus Bin Idris., Kasysyaful Qina’, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Fiqhus Shiyam, Darul Wafa’, 1992.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Alfiqhu wa Ushuluhu, CD Al-Qorodhowy Alfiqh wa Ushuluhu.
Al-Qurthuby, Abu Abdulloh Mohammad bin Ahmad Al-Anshori., Al-Jami’ul Ahkamil Qur’an, CD Maktabatut Tafsir wa Ulumul Qur’an.
An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Mohammad., Al-Jami’ Li-Masaili Ushulil Fiqhi, Maktabatul Rusydi, Riyadh, 2002.
An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Soheh Muslim bi Syarah An-Nawawy, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
 An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Al-Majmu’  Syarah Al-Muhadzab, Darul Fikri, tt.
As-Sarwany, As-Syeh Abdul Hamid., Al-Ubbady, As-Syeh Ahmad Bin Qosim., Hawasyi As-Syarwany wa Ibnu Qosim ala Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Darul Fikri, Beirut Lebanon,tt.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Rowaiul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam minal Qur’an, Daru  Ihyait Turasti Al-Aroby, Beirut, Lebanon, 2001.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Shofwatut Tafasir, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
As-Shon’any, Mohammad Isma’il Al-Amir Al-Yamany., Subulus Salam Syarah Bulugul Marom, Darul Kitab Al-Aroby, 2001.
As-Subki, Imam Taqiyuddin., Fatawa As-Subky, CD Jami’ul Fiqh Al-Islamy.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdur-Rohman Bin Abi Bakar., Asy-Asybah wa An-Nazhoir, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syafi’i, Abdulloh Bin Mohammad Bin Idris Bin Abbas Bin Ustman., Al-Um, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syaukani, Mohammad Bin Ali Bin Mohammad., Nailul Author Syarah Muntaqol Akhbar, CD Al-Maktabatul Al-Fiyah lis-Sunnah An-Nabawiyyah.
Az-Zuhaily, Wahbah., Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, 2002.
Ibnu Abidin., Hasyiyah Roddul Mukhtar al Ad-Darul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ibnu Rusydi Al-Hafid., Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
Syakir, Al-Allamah Ahmad Mohammad., Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyyah, Maktabah Ibnu Taimiyyah, tt.


0 komentar:

Posting Komentar