This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 06 Desember 2011

MENEMUKAN SEBAB SEBAB PERBEDAAN PENENTUAN AWAL ADAN AKHIR ROMADHON DALAM STUDY ILMU FALAK

Oleh: Mustafa Syukur, MSI
.A. PENDAHULUAN
Diantara kita mungkin ada yang pernah ke luar negeri misalnya di Arab Saudi, disana sangat jarang sekali (hampir tidak ada) perbedaan dalam ber-Hari Raya, mereka hampir selalu bersama-sama dalam ber-Hari Raya, tidak seperti di Indonesia yang agak sering terjadi, bahkan menurut catatan; negara kita Indonesia ini memegang rekor tertinggi seringnya berbeda dalam ber-Hari Raya. Perbedaan ini tidak jarang juga menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam dan dapat mengganggu ke khusu’an serta kemantapan persatuan ummat Islam.itu disebabkan perbedaan penentuan awal dan akhir Romadhon.
Sungguh akan lebih indah lagi jika ummat Islam di Indonesia ini bisa bersama-sama dalam ber-Hari Raya. Apa penyebab adanya perbedaan awal dan akhir Romadho yang mengakibatkan  Hari Raya di Indonesia berbeda? Dan bagaimana solusinya?
Di dalam makalah ini hal tersebut akan dibahas dan kami berharap bisa menjadi solusi  yang akan mengakhiri perbedaan Hari Raya di Indonesia, Amin.      

B. PENYEBAB ADANYA PERBEDAAN AWAL DAN AKHIR ROMADHON

Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada umumnya langsung ‘Menuduh” bahwa perbedaan itu di sebabkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat, memang benar bahwa perbedaan itu dapat di timbulkan karena perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus- kasus tertentu, justru perbedaan itu di sebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang di sebabkan oleh adanya perbedaan dikalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan dikalangan ahli rukyat sendiri, atau perbedaan lain diluar teknis hisab rukyat, misal karena adanya informasi dari Saudi Arabia tentang jatuhnya hari wukuf, yang berbeda dengan keadaan di Indonesia, walaupun kalangan dan ahli hisab sepakat mengenai keadaan di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, kami ingin mengemukakan penyebab perbedaan dengan membaginya kepada penyebab yang berasal dari perbedaan antara hasil hisab dan rukyah, perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri, dan penyebab diluar teknis hisab rukyat.

1)      Perbedaan antara hisab dan rukyat.
Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia, terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab (misalnya Muhammadiyah) dan kelompok masyarakat yang berpedoman pada rukyat (misalnya NU). Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai alasan fiqh masing-masing, yang berbeda satu sama lain.
Di Indonesia, perbedaan pedoman ini tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya, bahkan ada kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab dan rukyat ini. Dari kasus-kasus yang tercatat di Direktorat pembinaan peradilan Agama, sejak tahun 1962, ada suatu kesimpulan bahwa jika ahli hisab menyatakan hilal berada di bawah ufuq maka tidak pernah ada orang yang melaporkan bahwa hilal berhasil di rukyat. Ini artinya dalam keadaan hilal dibawah ufuq, kalangan hisab dan kalangan rukyat selalu sepakat dalam memulai puasa atau berhari raya.
Sebaliknya, jika Ahli Hisab sepakat Hilal telah di ufuk, maka hampir selalu dilaporkan Hilal berhasil diRukyat. Ini artinya, hasil Hisab hampir selalu sama dengan hasil Rukyat. Kasus perbedaan penetapan awal Romadlon 1407 H atau 1987 adalah diantara sedikit kasus perbedaan yang disebabkan murni karena perbedaan Hisab dan Rukyat. Dalam kasus tersebut, ahli Hisab sepakat bahwa di seluruh wilayah Indonesia Hilal telah berada di atas ufuk, tapi tidak ada laporan yang menyatakan melihat Hilal.
Hanya saja semenjak tahun 2000, ketika Muhammadiyah memutuskan penentuan awal bulan dengan hisab Wujudul Hilal yaitu asal hilal diatas ufuk walaupun kurang dari 2 drajat (misal 0,5 drajat), sedangkan NU (pemerintah RI) tetap berpegang teguh dengan Rukyah-nya, maka perbedaan Hari Raya tersebut agak sering terjadinya. Kenapa? Karena kebiasaannya hilal bisa di rukyah itu minimal ketinggiannya 2 drajat, sehingga ketika tinggi hilal kurang dari itu, maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah yang otomatis NU (pemerintah RI) akan menempuh jalan Istikmal sedangkan Muhammadiyah tidak akan menempuh jalan tersebut karena hilal dianggap sudah Wujud. Jadi perbedaan  hari raya dapat dipastikan terjadi.

2)      Perbedaan dikalangan Ahli Hisab.

Perbedaan dikalangan ahli Hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macam sistem dan referensi Hisab, dan berbeda-bedanya kriteria hasil Hisab yang dijadikan pedoman. Saat ini terdapat lebih dari 30 sistem dan referensi Hisab yang masih dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Semuanya itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang dikenal dengan istilah Kolompok Hisab Taqribi, Hisab Tahqiqy dan Hisab Kontemporer kelompok Hisab Taqribiy seperti Kitab Sullamunnayyiroin, Al-Qowa’idul Falakiyah dan Fathur Roufil Mannan menyajikan data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara sederhana tampa menggunakan ilmu ukur segi tiga bola, sedangkan kelompok Hisab Tahqiqy seperti Al-Khulashotul Wafiyah, Hisab Haqiqi dan Nurul Anwar menyajikan data dan sistem perhitungan dengan menggunakan kaidah-kaidan ilmu ukur segi tiba bola. Kelompok Hisab Kontemporer seperti sistem H. Sa’aduddin Jambek dengan Tata Almanak Nautika, Dian Meeus dan Ephemeris Hisab Rukyat, disamping menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola, juga mempergunakan data yang up to date.
Ketiga kelompok referensi Hisab tersebut mempunyai keistimewaannya masing-masing. Namun untuk perhitungan posisi bulan dan matahari secara detail ketiga kelompok tersebut menghasilkan data yang berbeda, terutama antara kelompok Hisab Taqriby dengan dua kelompok Hisab lainnya. Sebagai contoh menjelang awal Syawal 1412 H/1992 untuk perhitungan ketinggian bulan, perbedaan tersebut dapat mencapai nilai 4 ½ drajat. Perbedaan ini akan mempunyai konsekwensi perbedaan penetapan awal bulan, jika yang satu menyatakan Hilal sudah diatas ufuk, sementara yang lainnya menyatakan Hilal masih dibawah ufuk, seperti kejadian awal Syawal berturut-turut tahun 1412, 1413 dan 1414 H. dengan demikian, perbedaan itu, bukan hanya terjadi antara kalangan Hisab dan kalangan Rukyat, namun juga terjadi antara kalangan Hisab itu sendiri.
Para Ahli Hisab, selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem Hisab, juga berbeda-beda dalam menggunakan kriteria hasil Hisab dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Sebagian berpedoman kepada Ijtima’ Qoblal Ghurub, sebagian berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk.
Yang berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk juga berbeda-beda ada yang berpedoman pada Wujudul Hilal diatas ufuk, ada yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 atau 50 semuanya ini dapat menimbulkan penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan sistem dan referensi Hisab yang sama. Contoh kasus dalam hal ini adalah perbedaan yang terjadi pada penetapan awal Syawal 1423 H atau 2002 dan awal Dzulhijjah 1423 H / 2003. pada kedua kasus itu, antara kalangan Hisab yang berpedoman pada Wujudul Hilal antara lain Muhammadiyah dan kalangan Hisab yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 (antara lain PERSIS) terjadi perbedaan. Kalangan yang pertama berhari raya satu hari terlebih dahulu dari kalangan yang kedua, sebab tinggi Hilal di wilayah Indonesia sudah diatas ufuk walaupun belum mencapai 20.
Mungkin diantara kita ada yang menganggap bahwa Hisab tidak boleh dipakai dalam penentuan awal bulan Hijriyah, padahal sebenarnya ada Fuqoha’ yang memperbolehkannya. Untuk memperjelas hal tersebut alangkah lebih baiknya kalau kita lihat keterangan Fuqoha’ yang kami kutipkan sebagai berikut:
Sejumlah Hadis Soheh menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Hijriyah, khususnya Romadhon dan Syawal dengan salah satu dari tiga cara : Pertama melihat hilal, kedua  menyempurnakan bulan yang bersangkutan (Ikmal) dan yang ketiga : mentakdirkan adanya hilal (mis; dengan ilmu hisab), hanya saja cara yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh Fuqoha’.
Perselisihan ini dilatarbelakangi adanya ketidaksamaan interpretasi terhadap kalimat فاقدرواله pada Hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang bunyi lengkapnya:
لاتصوموا حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله
“ Janganlah kamu berpuasa sehingga melihat hilal (Romadhon). Dan jangan pula kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu melihatnya (hilal Syawal). Dan jika hilal tertutup mendung, maka taqdirkanlah”.
Satu pendapat mengatakan bahwa makna dariفاقدرواله  adalah sempurnakan bulan Sya’ban / Romadhon itu menjadi 30 hari. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah tidak boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, jumhurul salaf dan Kholaf.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa makna dari فاقدرواله adalah perkiraaan hilal itu dengan berdasarkan ilmu Hisab. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah  boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Muthorif bin Abdullah (tokoh Tabi’in), Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah dan kebanyakan ulama’ mutaakhirin (zaman sekarang).
 Argumentasi Fuqoha’ yang tidak membolehkan ilmu hisab dalam penetapan awal bulan hijriyah antara lain : Hadis Ibnu Umar diatas tidak boleh diamalkan karena hadis tersebut masih bersifat global. Lebih lanjut menurut mereka; hadis Ibnu Umar yang bersifat global harus diartikan dengan hadis yang memuat penjelasaan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang berbunyi :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
” Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya (hilal Romadhon) dan berbukalah kamu semua (berhari Raya Idul Fitri) karena terlihatnya (hilal Syawal). Jika ia tertutup bagimu, maka sempurnakanlah ia 30 hari”.
Argumentasi yang lainnya : Barangsiapa yang mengatakan bahwa makna فاقدرواله adalah  ditentukan dengan Hisab, dibantah oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang berbunyi :
إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب
“ Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung”.
Imam An-Nawawi salah satu tokoh dari madzhab Syafi’i menambahkan : Andaikan orang-orang diharuskan melakukan hisab, pasti mereka tidak akan mampu. Karena mereka tidak bisa hisab, yang bisa hanya beberapa orang yang berdomisili di negara-negara besar.
Dari sebagian argumentasi diatas, fuqoha’ tidak membolehkan pemakaian hisab dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Dan pendapat inilah yang dianut oleh NU dan pemerintah Indonesia saat ini.  
Sedangkan fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan Hijriyah dengan ilmu Hisab, berargumentasi : Hadis mengenai perintah puasa dengan cara terlihatnya hilal (ru’yah) oleh fuqoha’ yang membolehkan penggunaan hisab, dipahami bahwa adanya hilal itu dapat dilihat karena antara matahari dan bulan telah terjadi konjungsi, serta posisi hilal sudah berada diatas ufuk. Lebih dari itu adanya perintah istikmal hanya 30 hari karena pada saat matahari terbenam pada hari ke-30 tersebut pasti sudah terjadi konjungsi, serta posisi hilal pasti sudah diatas ufuk sekalipun tidak dapat dilihat. Sehingga ru’yah bil fi’li yang berlaku di zaman Rosululloh dipahami sebagai salah satu media observasi bulan untuk membuktikan keberadaan hilal.
Padahal ilmu Hisab (Qoth’i) dapat memperhitungkan keberadaan hilal yakni kapan terjadinya konjungsi dan bagaimana posisi hilal diatas ufuk, sehingga menurut fuqoha’ golongan ini berpandangan bahwa hisab tidak jauh berbeda dengan ru’yah yaitu sama-sama berfungsi sebagai media observasi (sarana). Oleh karena ru’yah bisa dijadika penetapan awal bulan maka tentunya hisab dapat juga dijadikan dasar penetapan awal bulan, dan diperkuat adanya hadis Ibnu Umar فاقدرواله yang oleh Ibnu Suraij hadis tersebut diperuntukkan untuk orang-orang yang dianugrahi ilmu falak oleh Alloh SWT, sedangkan فأكملوا العدة ditujukan pada orang-orang awam (tidak bisa ilmu Hisab).
Berbedanya khitob (sasaran seruan) lantaran perbedaan situasi dan kondisi adalah persoalan realistis dan hal tersebut banyak terjadi dalam nash-nash agama. Bahkan perbedaan khitob ini menjadi azaz bagi qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :
تغير الفتاوى بتغير الزمان والحال
“Berubahnya fatwa-fatwa karena perubahan zaman dan keadaan”.
Lebih jauh lagi Ibnu Suraij mengutip (menukil) pendapat dari Imam Syafi’i bahwa Imam Syafi’i berkata : orang-orang yang madzhabnya itu mengambil pedoman dengan bintang-bintang dan kedudukan bulan, kemudian jelas baginya menurut dalil tersebut bahwa hilal sudah bisa dilihat, tetapi tertutup awan, maka orang tersebut boleh menjalankan puasa dan hal itu sudah mencukupinya (lihat Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal 243). Sehingga Ibnu Suraij berpendapat bahwa seseorang yang mengerti ilmu hisab, kemudian dia mengetahui bahwa besok tanggal satu Romadhon, maka ia wajib berpuasa, karena ia tahu berdasasrkan dalil. Jadi, sama saja dengan mengetahui hilal dengan mata kepala.
Sedangkan hujjah (dalil) yang dipakai fuqoha’ bahwa tidak boleh memakai hisab karena kita merupakan ummat ummiyyah (tidak bisa baca dan tulis), menurut Yusuf Al-Qorodhowi kurang tepat untuk masalah ini. Sebab hadis tersebut membicarakan perihal keadaan ummat dan sifat ummi itu dilekatkan oleh Rosululloh pada bangsa Arab ketika beliau baru saja diangkat menjadi Rosul. Tetapi sifat ummiyah bukanlah perkara yang tetap dan dikehendaki oleh Rosululloh. Buktinya beliau telah berusaha keras untuk memberantas buta huruf dengan cara menyuruh para sahabat yang pandai baca dan tulis agar mengajari yang buta huruf dan hal tersebut sudah dirintis oleh beliau semenjak perang Badar. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mustahil dalam kondisi ummat yang sekarang ini terdapat orang yang pandai ilmu Hisab.
Adapun penilaian yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi, yaitu bahwa ilmu hisab hanya diketahui oleh beberapa orang yang tinggal di negara-negara besar, hal tersebut benar jika dihubungkan dengan zaman Imam An-Nawawi sendiri. Tetapi menjadi salah kalau dihubungkan dengan zaman sekarang. Ilmu falak (hisab) sekarang sudah dipelajari di berbagai perguruan tinggi yang di bantu dengan teropong bintang. Sehingga sekarang menjadi keputusan internasional bahwa kemungkinan keliru dalam menentukan detik yang dilakukan oleh dewan hisab dan ru’yah 1 banding 100000 (lihat,  Fiqhus Shiyam, halaman 26 – 27).
Kalau diperhatikan pendapat dari ulama’ mutaqoddimun, ternyata yang menjadi penyebab tidak dibolehkannya penggunaan hisab karena beralasan (illatnya) ummat Islam  adalah ummi (tidak bisa baca dan hitung), sebagaimana bunyi dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب.
Hal ini berarti menjadikan ru’yah sebagai satu-satunya cara untuk penetapan awal bulan karena illat yang sudah di nash oleh agama yaitu kita adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menghitung), yang otomatis bertentangan dengan  qoidah fiqhiyyah yang berbunyi
الحكم يدور مع العلته وجودا و عدما    
“ Hukum  itu tergantung pada illatnya, baik adanya maupun tidak adanya “.
Maksud dari qoidah ini: apabila illatnya ada; yaitu umat islam yang ummi (tidak bisa baca dan hitung) maka hukumnya pasti ada; artinya  penetapan awal bulan harus dengan ru’yah. Akan tetapi apabila illatnya tidak ada yaitu seluruh atau sebagian besar ummat islam sudah bisa membaca dan berhitung (ilmu Hisab), otomatis hukum wajib ru’yah juga tidak ada (bisa diganti dengan hisab).
Agak banyak ulama’ mutaakhirin (masa sekarang) yang memberikan fatwa : penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab (qoth’i), antara lain : Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir, Al-Allamah Asy-Syahid Rosyid Ridho, Al-Faqih Al-Kabir Asy-Syeh Mustofa Az-Zarqo’ Hafizdohulloh, Syeh Mustofa Al-Maroghi, Syeh Ali Tantowi, Doktor Yusuf Al-Qorodhowi dll.
Dalam hal ini, Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir telah menulis risalah dengan judul Awailus Syuhur Al-Arobiyah. Dalam risalah tersebut di jelaskan dengan panjang lebar berdasar dengan dalil-dalil yang kuat, ringkasannya sebagai berikut :
“Bangsa yang ummi, yang tidak kenal baca dan tulis, harus berpegang teguh kepada ru’yah. Tetapi bila situasi dan kondisi telah berubah, dimana ummat Islam sekarang sudah pandai menulis dan berhitung, tidak lagi memerlukan bantuan ghoirul muslimin dalam menetapkan awal bulan dengan hisab, mereka bisa berpegang kepada hasil hisab sebagai ganti dari ru’yah. Sebab hisab merupakan wasilah (sarana) yang lebih jeli, lebih teliti, dan lebih mudah mempersatukan pendapat kaum muslimin dalam mengawali masuknya bulan baru. Menurut beliau awal bulan bisa ditetapkan : apabila menurut hasil hisab tenggelamnya matahari lebih dulu dari hilal walaupun hanya terpaut beberapa detik saja.“ (lihat Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyah, hal 7-15). Kayaknya pendapat inilah yang di adopsi kalangan Muhammadiyah.  
Hanya saja pendapat Syeh Syakir yang terakhir ini (yang saya garis bawahi) dikritik oleh Yusuf Al-Qorodhowy, beliau berkata bahwa terlihatnya hilal memerlukan waktu, teks nya sebagai berikut :
المرجح أن يبقى بعد الغرب مدة يمكن فيها ظهوره، بحيث يمكن رؤيته باالعين المجردة، وذلك نحو  أو [20] دقيقة على ما ذكر أهل الإختصاص.
Maksud dari teks diatas :“Pendapat yang kuat : awal bulan bisa ditetapkan apabila hilal sudah wujud, dalam arti memungkinkan di lihat dengan mata; yang menurut ahli ihtishos (Astronom) : hilal baru wujud (imkanurru’yah) ketika tenggelamnya hilal 15 menit atau 20 menit setelah terbenamnya matahari.
Dari sini jelas, bahwa Yusuf Al-Qorodhowy cenderung pada hisab imkanurru’yah, yang sebelumnya pendapat ini juga pernah dilontarkan oleh : Al-Qolyubi, Ibnu Qosim Al-Ubbadi , Al-Imam Ibnul Daqiqil Id dan fuqoha’ lainnya.
Menurut hemat kami, penetapan awal bulan dengan hisab yang mensyaratkan kriteria imkanurru’yah; lebih kuat, karena perintah ru’yah dari Rosululloh صوموا لرؤيته; mengisyaratkan kepada kita bahwa hilal adalah fenomena yang tampak, dan tidak relevan jika berkenaan dengan sesuatu yang tidak tampak.
Dan kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang di katakan Yusuf Al-Qorodhowi dalam buku Ushul Feqihnya, yang intinya : Untuk memahami hadis yang baik, maka kita harus dapat membedakan antara tujuan dan sarana (wasilah).
Dalam hadis Ibnu Umar صوموا لرؤيته menunjukkan adanya tujuan dan sarana. Tujuan dari hadis tersebut kita disuruh berpuasa pada bulan Romadhon secara keseluruhan, sedangkan sarana untuk memulai berpuasa adalah dengan ru’yah bil fi’li; yang merupakan sarana yang termudah bagi ummat Islam pada zaman Rosululloh. Kalau kita mempunyai sarana lain dan jauh dari kemungkinan salah, keliru, kebohongan dan sangat mudah yaitu ilmu Hisab. Kenapa kita harus jumud atau terus berpegang pada sarana yang sebenarnya itu bukanlah tujuan dari hadis yaitu berpuasa ?.
Dari dua pendapat tersebut diatas (penetapan awal bulan dengan ru’yah dan hisab) yang sejalan dengan ilmu Astronomi adalah pendapat yang terakhir yaitu : bolehnya pemakaian hisab dalam penentuan awal bulan jika hilal sudah wujud, dalam arti ada sebagian piringan bulan yang menghadap ke bumi; yang seumpama tidak ada penghalang (misalnya mendung), hilal akan terlihat. Pertimbangannya : peredaran atau kedudukan  bulan bisa diketahui dengan keakuratan yang mendekati orde detik dan hal itu bisa dibuktikan dengan observasi. Dan bisa terjadi suatu kasus yang tidak logis yaitu : seumpama hilal telah wujud diatas ufuk dengan ketinggian 11 drajat, lalu terjadi mendung. Nah….kalau awal bulan kita undur (istikmal karena mendung) maka tidak tertutup kemungkinan bulan purnama akan terjadi pada tanggal 12. Hal ini tidak logis karena bulan purnama tidak pernah terjadi pada tanggal 12.
Dan rupanya pendapat fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab ini, digunakan oleh Muhammadiyah.
Solusi terbaik bagi kita dengan adanya fuqoha’ yang mewajibkan ru’yah dan hisab adalah menggabungkan kedua-duanya, artinya kita tetap melakukan ru’yah karena jumhurul fuqoha’ mengatakan hal tersebut fardu kifayah dan ru’yah sifatnya ta’abuddy (tidak menerima interpretasi selain ru’yah), tetapi hasil ru’yah tersebut harus dikontrol dengan hisab. Jika menurut hisab; hilal tidak mungkin untuk diru’yah, maka ru’yah tersebut wajib ditolak.   

3)      Perbedaan dikalangan ahli Rukyat
Tidak seluruh kalangan ahli Rukyat di Indonesia, kini, keadaannya sama seperti dimasa Nabi SAW, dimana laporan Rukyat dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli Rukyat mensyaratkan bahwa hasil Rukyat harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil Hisab. Jika hasil rukyat bertentangan dengan hasil Hisab maka hasil rukyat tidak dapat diterima. Akibatnya, dikalangan ahli Rukyat itu sendiri perbedaan dimulai puasa dan berhari raya dapat terjadi seperti kasus-kasus pada Idul Fitri 1412H/1992, 1413H/1993 dan 1414H/1994.
Disamping itu para ahli Rukyat masih belum sepakat bulat tentang Mathla’, sejauh mana jangkauan berlakunya hasil Rukyat suatu tempat, masih terjadi perdebatan. Ada yang menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku lokal, namun ada juga yang berpendapat bahwa Rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia (global). Perbedaan pendapat mengenai Mathla’ ini dapat mengakibatkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi Arabia dikabarkan telah berhasil Rukyat. Maka di Indonesia akan terpengaruh oleh informasi hasil Rukyat tersebut.
Dan karena pentingnya permasalahan ini maka kami akan mencoba mengutipkan pendapatnya Fuqoha’ mengenai matla’ tersebut dengan agak panjang lebar sebagai berikut:
Seperti yang telah kita ketahui Fuqoha’ berselisih pendapat mengenai seberapa luas batas geografis pemberlakuan hasil ru’yah. Sebagian fuqoha’ berpendapat bahwa hukum ru’yah itu bersifat lokal (hasil ru’yah mengikat daerah sekitarnya saja). Itulah pendapat mayoritas Syafi’iyyah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i, berpendapat bahwa ru’yah itu global artinya hasil ru’yah mengikat seluruh dunia .(lihat, Rohmatul ummah Fihtilafil Aimmah, hal 94).
Catatan: menurut keterangan lain hasil ru’yatul hilal suatu negara tidak berlaku bagi negara lain yang sangat jauh seperti Andalus (Spanyol) dan Hijaz (U.E.A.)    
Perbedaan ini; salah satunya dilatarbelakangi oleh hadis Kuraib yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
عن كريب أن امّ الفضل بعثته إلى معاويةَ بالشام، فقال : فقدمت الشام، فقضيت حاجتَها، واستهِلَّ عليّ رمضانُ وأنا باالشام، فرأيت الهلالَ ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينةَ في آخر الشهر، فسألني عبدالله بن عباسٍ، فقال : متى رأيتم الهلالَ ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة، فقال : أنت رأيتَه ؟ فقلت : نعم، ورآه الناسُ وصاموا، وصام معاويةُ، فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت، فلانزالُ نصوم حتى نكمل ثلاثين أونراه، فقلت : ألا نكتفي برؤية معاويةَ وصيامه ؟ فقال : لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
.
“Dari Kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh Ummul Fadli untuk menemui Muawiyah di Syam, Kuraib berkata : lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummul Fadli itu. Ketika bulan Romadhon tiba, aku masih berada di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan Romadhon. (ketika itu) Abdulloh bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal ; “kapan kamu melihat hilal?” aku menjawab : “kami melihat hilal pada malam Jum’at”. Ibnu Abbas bertanya lagi : “Kamu melihatnya juga ?” jawabku : “Ya, dan orang lain juga melihatnya dan mereka berpuasa, demikian pula Muawiyah”. Lalu Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami disini melihat hilal pada malam sabtu. Jadi kami tetap berpuasa sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali) “. Kemudian aku bertanya : “ Apakah tidak cukup dengan ru’yahnya Mu’awiyah dan dengan puasanya ?”. Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, sebab demikianlah perintah Rosululloh SAW kepada kami”
Satu pendapat mengatakan bahwa hadis ini tidak perlu diamalkan karena Ibnu Abbas dalam hadis Kuraib itu hanya menuturkan pemahamannya sendiri terhadap perintah Rosululloh SAW dan bukan meriwayatkan sesuatu yang beliau hafal dari Rosululloh. Sehingga hadis Kuraib yang sebenarnya bisa bertindak sebagai Mukhosis (yang mengkhususkan), tidak dapat mentakhsis hadis lainnya yang menunjukkan makna umum (ru’yah global) yaitu   
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Sehingga mereka berpendapat bahwa ru’yah itu global, sesuai dengan khithob (seruan) dalam sabda Rosululloh Shumu (berpuasalah kamu) dan Aftiru (berbukalah kamu) yang menunjunkkan makna umum di tujukan kepada seluruh kaum muslimin di segala penjuruh dunia (berlaku secara global). Keberlakuan global ini berdasarkan kaidah syara’:
العام يبقى على عمومه مالم يرد دليل التخصيص
“Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada keumumannya sampai tidak ada dalil yang menghususkannya”.
Disamping itu lafadz ru’yatuhu (dalam rangkaian liru’yatihi) adalah isim jinis yang di sambung dengan kata ganti (orang ketiga tunggal), yang artinya ru’yatul hilal yang di lakukan oleh siapapun di antara kaum muslimin.
Dan ada satu pertimbangan lagi yang sangat penting yaitu persatuan dari umat islam itu sendiri. Apabila hukum ru’yah di berlakukan secara lokal, maka hal tersebut bisa memancing perpecahan.
Dari kesekian argumen di atas, jumhurul fuqoha’ mengatakan ru’yah di suatu negara berlaku juga bagi negara-negara lain di dunia (bersifat global).
Sedangkan pendapat fuqoha’ lainnya menerima (mengamalkan) hadis Kuraib, yang otomatis mentakhsis hadis Ibnu Umar yang bersifat umum, artinya ru’yah tersebut bersifat lokal. Pertimbangan kelompok ini adalah syara’ menggantungkan kewajiban puasa dengan lahirnya bulan Romadhon, sedangkan permulaan bulan pastinya berbeda karena adanya perbedaan jauh dekatnya antara negara satu dengan yang lainnya. Disamping itu mereka mengqiyaskan perbedaan terbit-terbenamnya bulan dengan terbit-terbenamnya matahari; sebagaimana kita ketahui antara daerah satu dan lainnya berbeda.
Didalam madzhab Syafi’i, diketemukan setidaknya 5 pendapat tentang jarak ke garis batas matla’ dari lokasi ru’yatul hilal, yaitu :
1.Pemberlakuan hasil ru’yah hanya sejauh jarak dimana qoshor sholat tidak diijinkan, yaitu kira-kira 80 km.
2.      Pemberlakuan hasil ru’yah 8o bujur.
3.Pemberlakuan hasil ru’yah se-negara (wilayatul hukmi). Seperti yang dianut oleh Indonesia, sehingga di bagian manapun dari wilayah Indonesia ru’yah dilakukan, maka hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.
4.Pemberlakuan hasil ru’yah adalah sejauh 24 farsakh (133 km).
5.      Sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Sarokhsi, ukurannya bukan jarak tertentu, melainkan peluang ru’yah atau imkanurrukyah. Teksnya sebagai berikut :
إذا رآه أهل ناحية دون ناحية، فإن قربت المسافة لزمهم كلهم. وضابط القرب : أن يكون الغالب أنه إذا أبصره هؤلاء لايخفى عليهم إلالعارض، سواء في ذلك مسافة القصر أوغيرها. قال : فإن بعدت المسافة، فثلاثة أوجه [احدها] يلزم الجميع، ـ الى ان قال ـ [والثالث] إن كانت المسافة بينهما بحيث لايتصور أن يرى ولايخفى على أولئك بلاعارض لزمهم، وإن كانت بحيث يتصور أن يخفى عليهم فلا.
Maksud dari teks diatas : Hasil ru’yah berlaku juga bagi daerah (negara) yang jauh, jika daerah yang jauh tersebut sudah imkanurru’yah, tetapi jika daerah yang jauh tersebut hilal tidak mungkin di ru’yah (misalnya hilal masih di bawah ufuk), maka hasil ru’yah daerah lain tidak berlaku bagi daerah yang tidak imkanurru’yah tersebut.
Menurut hemat kami, dari kelima pendapat tersebut diatas yang sesuai dengan sudut pandang Astronomi adalah pendapat yang terakhir (pendapatnya Imam As-Sarokhsi), yaitu menjadikan visibilitas hilal atau imkanurru’yah sebagai acuan dalam penentuan garis batas matla’. Misalkan daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 8o, sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut mencapai sekitar  5o (imkanur ru’yah), maka Indonesia termasuk ikut matla’ Mesir, karena termasuk kawasan imkanurru’yah. Tetapi jika daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 5o sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut hanya sekitar 1o (tidak imkanurru’yah), maka Indonesia tidak termasuk ikut matla’ Mesir, karena tidak termasuk kawasan imkanurru’yah
Dan secara empirik pun, ternyata permukaan bumi sesudah matahari terbenam paska konjungsi disetiap akhir bulan, selalu terbagi menjadi dua, yakni kawasan yang mengalami penampakan hilal dan kawasan yang tidak mengalami penampakan hilal. Karena itu daerah-daerah di dalam kawasan yang mungkin mengalami penampakan hilal bisa memasuki bulan baru berdasarkan ru’yatul hilal, sedangkan daerah-daerah yang berada diluarnya harus memasuki bulan baru berdasarkan istikmal.
Pendapat Imam As-Sarokhsi merupakan solusi terbaik dalam menanggapi perbedaan fuqoha’ pada permasalahan berlakunya hukum ru’yah (lokal atau global).

4)      Penyebab diluar tehnis Hisab Rukyat
Khusus mengenai perbedaan penetapan Idul Adlha di Indonesia, selain penyebab-penyebab tersebut diatas, juga karena adanya pemehaman Fiqih yang berbeda, sebagian menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari Wukuf di Saudi Arabia sedangkan sebagian lain menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia berdasarkan keadaan di Indonesia.
Sejak lama perbedaan pemahaman tersebut berusaha untuk dipertemukan, namun penyeragaman pemahaman sangat sulit untuk dapat dilaksanakan. Akhirnya dilakukan usaha perumusan pedoman penetapan Idul Adha sebagai pegangan pemerintah. Untuk itu dilakukan Musyawaroh-musyawaroh pada tahuan 1977,1987 dan 1992. hasilnya tetap bahwa Idul Adha di Indonesia dilakukan berdasarkan keadaan di Indonesia, tidak mengikuti penetapan di Saudi Arabia.
Khusus mengenai proses penetapan Idul Adlha di Indonesia, ada perkembangan yang menarik untuk dikemukakan disini, jika kita perhatikan keputusan-keputusan menteri agama sejak dulu sampai sekarang, maka terlihat bahwa sejak dahulu penetapan Idul Adha dilakukan bersamaan dengan penetapan hari-hari libur nasional lainnya, dalam bentuk keputusan Menteri Agama tentang hari libur yang dikeluarkan pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, maka Idul Adlha dilakukan berdasarkan Hisab, tanpa Rukyat dan tanpa sidang Itsbat. Namun sejak tahun 2001, sejak zaman Mentri Agama Bapak K.H.M. Tolhah Hasan dalam rangka mengakomodir pendapat-pendapat yang berkembang, maka penetapan Idul Adlha pun dilakukan dalam sidang Itsbat, setelah menerima laporan hasil Hisab dan hasil Rukyat. Nampaknya memang lebih demokratis, namun ada juga yang berpendapat bahwa semakim banyak dimusyawarohkan semakin banyak pula kemungkinan adanya perbedaan.
Penyebab non tehnis lainnya-dan ini merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan- adalah sulitnya dilakukan kesepakatan tentang pedoman penetapan awal bulan Qomariyah yang dapat mengikat semua pihak. Kesepakatan telah berkali-kali diusahakan, namun selalu sulit untuk dapat diterima secara bulat oleh semua pihak. Sebetulnya, pernah ada suatu kemajuan, dimana semua pihak sepakat bahwa yang mempunyai hak Itsbat adalah pemerintah. Namun manakala keputusan pemerintah itu tidak sama dengan keputusan kelompok, maka bagi kelompok tersebut keputusan kelompoklah yang diberlakukan.

Daftar Pustaka
Ad-Dasuqi, Syamsuddin Mohammad Bin Ahmad Bin Urfah,, Hasyiyah Ad-Adasuqi, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ad-Dimasyqi, Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Al-hidayah, Surabaya, tt.
Al-Allamah Asy-Syahid Rasyid Ridho., Tafsir Al-Manar.
Al-Asqolany, Al-Hafidz Ibnu Hajar., Fathul Bari  Syarah Al-Bukhori, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Al-Bahuti, Mansur Bin Yunus Bin Idris., Kasysyaful Qina’, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Fiqhus Shiyam, Darul Wafa’, 1992.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Alfiqhu wa Ushuluhu, CD Al-Qorodhowy Alfiqh wa Ushuluhu.
Al-Qurthuby, Abu Abdulloh Mohammad bin Ahmad Al-Anshori., Al-Jami’ul Ahkamil Qur’an, CD Maktabatut Tafsir wa Ulumul Qur’an.
An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Mohammad., Al-Jami’ Li-Masaili Ushulil Fiqhi, Maktabatul Rusydi, Riyadh, 2002.
An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Soheh Muslim bi Syarah An-Nawawy, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
 An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Al-Majmu’  Syarah Al-Muhadzab, Darul Fikri, tt.
As-Sarwany, As-Syeh Abdul Hamid., Al-Ubbady, As-Syeh Ahmad Bin Qosim., Hawasyi As-Syarwany wa Ibnu Qosim ala Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Darul Fikri, Beirut Lebanon,tt.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Rowaiul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam minal Qur’an, Daru  Ihyait Turasti Al-Aroby, Beirut, Lebanon, 2001.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Shofwatut Tafasir, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
As-Shon’any, Mohammad Isma’il Al-Amir Al-Yamany., Subulus Salam Syarah Bulugul Marom, Darul Kitab Al-Aroby, 2001.
As-Subki, Imam Taqiyuddin., Fatawa As-Subky, CD Jami’ul Fiqh Al-Islamy.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdur-Rohman Bin Abi Bakar., Asy-Asybah wa An-Nazhoir, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syafi’i, Abdulloh Bin Mohammad Bin Idris Bin Abbas Bin Ustman., Al-Um, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syaukani, Mohammad Bin Ali Bin Mohammad., Nailul Author Syarah Muntaqol Akhbar, CD Al-Maktabatul Al-Fiyah lis-Sunnah An-Nabawiyyah.
Az-Zuhaily, Wahbah., Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, 2002.
Ibnu Abidin., Hasyiyah Roddul Mukhtar al Ad-Darul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ibnu Rusydi Al-Hafid., Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
Syakir, Al-Allamah Ahmad Mohammad., Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyyah, Maktabah Ibnu Taimiyyah, tt.


HADITS NABI TENTANG ISYARAT FALAK DAN ILMU FALAK

 
Oleh: Zulfia, MSI
A.Latar belakang
Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, berupa perkataan,perbuatan, dan diam (taqririyah atau sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi da’i dan pendidik. Dari hadits tersebut mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadits Rasulullah Saw. Itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum hukum Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami hukum Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Maka dari itu, penulis merasa penting untuk menguraikan tentang bagaimana posisi hadits dalam pembentuk hokum islam dalam hal ini pemakalah lebih mengarah pada hukum islam yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa dan hari raya yang nantinya akan mengetahui masalah-masalah waktu-waktu shalat, arah kiblat dan hisab rukyat yang dalam hal ini masalah-masalah tersebut tidak terlepas dari ilmu falak.
       Falak berarti orbit atau lintasan dan disebut juga dengan garis edar benda-benda langit dan bumi termasuk kategori benda langit. Dalam Al-Qur’an kata falak yang berarti orbit atau garis edar ini disebutkan dalam surah Yasin dan Surah Al-Anbiya’.
Dalam surat Yasin ayat 40 dijelaskan bahwa tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, masing-masing beredar pada garis edarnya.hal ini mengandung makna bahwa semua benda langit termasuk matahari dan bulan beredar pada garis edar masing-masing dan tidak mungkin keluar dari garis edarnya itu.
Dalam surat Al-Anbiya’ ayat 33 disebutkan bahwa Allah-lah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya beredar pada garis edarnya. Masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an serta hadits-hadits Nabi yang menerangkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah,termasuk mengenai peredaran matahari dan bulan, pergantian siang dan malam, di samping benda-benda langit lainnya; dan dengan tanda-tanda itu dapat diketahui bilangan tahun dan hisab atau perhitungan waktu.
Sebagai realisasi dari ayat tersebut lahirlah ilmu falak yang dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan muslim sejak abad pertengahan yang secara spesifik membahas kedudukan matahari, bulan dan bumi serta benda-benda langit lain yang terkait dengan perhitungan arah kiblat, awal waktu shalat, dan awal bulan. Dengan demikian, ilmu falak ini bukan sekedar ilmu,melainkan untuk kepentingan praktis dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

B. Pengertian Hadits
Hadits menurut bahasa berarti “al-Jadiid”, yaitu (sesuatu yang baru;wujud sekitar masa Nabi SAW). Lawan kata al-Hadits adalah al-Qadiim, artinya sesuatu yang banyak. Al-Qarib ( yang dekat; sesuatu yang dekat dengan kehidupan Rasulullah SAW),  Hadits juga berarti khabar (berita), yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, dengan arti terakhir hadis kemudian dikenal dengan laporan seputar kehidupan Rasulullah SAW.[1] Disamping itu pengertian kata hadits, secara etimologi (lughawiyah), berarti komunikasi, kisah, percakapan religius atau sekuler, historis atau kontemporer. Sedangkan secara terminologi, para ulama baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalamnya.. Ulama hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi. Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, selain al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’. Adapun menurut istilah para fuqaha, hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib. Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadits, yakni pengertian terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin, adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya. Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz at-Tirmidzi, adalah Sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad Saw, melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in). Kebanyakan para muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah hadits, khabar dan sunnah muradif (sinonim), walaupun di sana-sini ada Ulama yang membedakan, namun perbedaan itu tidak prinsipil. Jadi, pengertian hadits berdasarkan uraian di atas, penulis sepakat dengan pengertian yang disampaikan oleh Ulama ahli ushul, sedangkan tentang istilah hadits penulis sepakat dengan mayoritas muhadditsin, yang menyebutkan antara hadits, khabar dan sunnah adalah sinonim (persamaan kata). 

C. Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Hukum Islam adalah firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain. Pengertian hukum Islam menurut Ushul fiqih ialah firman (nash) dari pembuat syari’ baik firman Allah maupun hadits Nabi Saw. Hukum Islam meliputi:
1.      Hukum taklifi Adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni: Ijab (wajib), Nadb (anjuran), Tahrim (larangan), Karahah, Ibahah (kebolehan).
2.      Hukum Wadh’I Ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah, batal, rukhsah dan ’azimah.
Dasar Hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan Islam adalah al-Qur’an, hadits dan Ijtihad. al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau derajat, al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dari hadits.  Dalil kehujjahannya Hadits Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. 

D. Hadits yang dapat dijadikan Rujukan dalam Penetapan Hukum
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi Saw. Itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Agar hadits dapat berfungsi sebagaimana tujuan diatas, maka kita harus memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Saw. Ilmu hadits telah menjelaskan bahwa hadits yang dijadikan sandaran harus berkualitas sahih atau hasan. Istilah sahih mirip dengan yudisium ”istimewa” atau ”baik sekali” dalam nilai akademik, sedangkan hasan mirip denga yudisium ”baik” atau ”cukup”. Oleh karena itu, hadis hasan yang memiliki kualitas tertinggi mendekati sahih, sedangkan yang terendah mendekati hadits dha’if (lemah).
Para ulama sepakat bahwa syarat ini harus dipenuhi oleh hadits-hadits yang dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at praktis, yang merupakan tiang ilmu fiqih dan dasar dalam menentukan halal dan haram. Namun mereka berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-’amal), zikir (doa-doa), ungkapan-ungkapan yang menggugah keimanan (raqaiq), anjuran dan ancaman (targib wa tarhib), dan lain sebagainya, yang tidak masuk dalam bab penetapan hukum syara’ (tasyri’). Diantara ulama salaf, ada yang bersikap longgar dalam meriwayatkannya dan tidak menganggap keliru dalam mengungkapkannya.
Namun, kelonggaran dalam meriwayatkan hadits-hadits seperti di atas tidaklah berlaku mutlak, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu dalam bidang apa hadits itu berbicara, juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun, banyak orang yang menyalahgunakannya sehingga ke luar dari jalur yang benar dan mencemari kesucian sumber Islam yang suci. Jadi, disini dalam menetapkan sebuah hukum Islam harus lebih teliti untuk memilih hadits yang akan dijadikan sebagai rujukan, apakah hadits itu sahih, hasan atau dha’if. Jika termasuk hadits sahih, tidak perlu diperbincangkan lagi. Jika sanadnya lemah, para ahli hadits sepakat bahwa hadits dha’if hanya boleh digunakan untuk anjuran dan ancaman (at-targib wa tarhib) seperti termuat dalam kitab al-Adzkar karya an-Nawawi, Insan al-’Uyun karya Ali bin Burhanuddin al-Halabi, al-Asrar al-Muhammadiyah karya Ibn Fahruddin ar-Rumi,[2] dan yang lainnya. 

E. Urgensi Hadits dalam Hukum Islam
Penegasan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi hukum Islam. Karena sebagian besar hukum Islam bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits atau sunnah banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, pengangkatan hakim (qadhi) dan sebagainya. Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan, keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah, hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan berbagai bekal pengetahuannya. Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi ahli ilmu falak dalam menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, seperti waktu shalat, arah kiblat dan sebagainya. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong orang melakukan kebaikan dan menjauhi larangan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata, tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits. 

F.Kontribusi Hadits Terhadap Ilmu Falak
Keguanaan mempelajari ilmu falak ini secara teoritis dimaksudkan untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga diharapkan lahir para ilmuan dan astronomi muslim, sementara secara praktis adalah untuk keperluan yang terkait dengan masalah ibadah, seperti shalat,kiblat, hisab rukyat serta gerhana.
Shalat fardu dalamAl-Qur’an sudah ditentukan waktunya sebagaimana dalam surat Al-Isra’ dinyatakan bahwa shalat didirikan sejak matahari tergelincir sampai gelap malam dan waktu shubuh dan dalam Surah Hud bahwa shalat itu didirikan pada waktu pagi dan petang.
Salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat, hal ini merupakan kesepakatan para ulama dan sebagai landasannya dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 144.
Dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Nabi bersabda: apabila kamu hendak mendirikan Shalat maka sempurnakanlah wudhu lalu menghadap qiblat dan bertakbirlah.
Demikian juga hisab awal bulan, ilmu falak sangat diperlukan untuk penentuan awal bulan, terutama awal Ramadhan, Syawal, dan Dzul Hijjah.
Dengan demikian,dengan mengetahui dan memahami ilmu falak seseorang dapat menentukan arah qiblat suatu tempat, seseorang dapat mengetahui apakah waktu shalat sudah masuk atau belum dan seseorang dapat mengetahui kapan ibadah puasa dimulai dan kapan akan berakhir.
Selanjutnya, dengan ilmu falak setiap muslim dapat memastikan kemana arah kiblat bagi suatu tempat di permukaan bumi yang jauh dari mekkah. Dengannya pula setiap muslim dapat mengetahui waktu shalat sudah tiba atau matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa. Dengannya juga perukyat dapat mengarahkan pandangannya ke posisi hilal.dengan demikian ilmu falak atau ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan bagi setiap muslim dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih khusyu’.
Kaitannya dengan hal tersebut dapat diperhatikan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
ان خيار  عباداللهالذين يراعون الشمس واقمر لذكراله
 “Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang baik adalah mereka yang selalu   memperhatikan matahari dan bulan untuk mengingat Allah” (HR.At-Tabrani).
Ali bin Abi Thalib berkata:
من اقبس علما من النجوم من حملة القران ازداد به ايمانا ويقينا
“Barangsiapa mempelajari ilmu pengetahuan tentang bintang-bintang (benda-benda langit), sedangkan ia dari orang yang sudah memahami Al-Qur’an niscaya bertambahlah iman dan keyakinannya”.
 Syekh al-Akhdlari berkata :
واعلم باءن العلم باالنجوم     علم شريف ليس بلمجذمون
لانه يفيد في  الاوقات           كالفجر والاسحاروالساعات
وهكذا يليق  بالعباد              حين قيامهم الئ الاوراد
“Ketahuilah bahwasanya ilmu nujum (ilmu falak) itu ilmu yang mulia, bukan ilmu yang tercela. Karena ilmu falak itu berguna untuk penentuan waktu-waktu fajar, sahur. Begitu pula berguna bagi hamba-hamba Allah, kapan mereka harus bangun untuk melakukan ibadah”.
Berdasarkan uraian Hadits – hadits diatas tentang anjuran untuk mempelajari ilmu falak  posisi hadits juga dikatakan sebagai pembentukan hukum Islam, disini penulis berpendapat bahwa hadits sangat urgen dalam kaitannya dengan ilmu falak. Karena sebagai sumber dan dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits sangat berperan dalam menetapkan hukum tentang penetapan waktu shalat, penentuan arah kiblat dan penentuan awal Ramadhan atau awal puasa. Seperti contoh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
 ”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”. Disini, posisi hadits adalah sebagai dasar yang dijadikan rujukan oleh jumhur Ulama untuk menetapkan awal Ramadhan atau awal puasa itu dengan metode Rukyah. Sehingga dengan contoh ini menjadi jelaslah tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, khususnya dalam menetapkan hukum yang belum pernah disinggung di dalam al-Qur’an yaitu tentang masalah rukyah. Selain rukyah, para ahli hisab juga menggunakan hadits sebagai dalil metode hisab yang mereka sepakati, yaitu ”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.” Jadi, disini penulis tidak sepakat dengan golongan-golongan yang mengikngkari sunnah, karena sudah jelas bahwa hadits sangat dibutuhkan bagi umat Islam khususnya dalam masalah perintah yang berkaitan dengan ibadah mahdlah yaitu awal puasa atau ramadhan. Meskipun nanti pada penerapan hadits itu ada penafsiran makna yang berbeda-beda. Misalnya hadits yang dijadikan dalil ahli hisab, kata faqdurulahu bagi ahli hisab dimaknai dengan kira-kirakanlah dengan perhitungan hisab itu sendiri, sedangkan untuk ahli rukyah memaknai faqdurulahu dengan menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari. Dengan demikian, jelas sekali anggapan dan pemahaman cukup hanya dengan al-Qur’an tanpa memerlukan hadits adalah sesat, batal dan tidak bisa diterima. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an. al-Qur’an menyebutkan bahwa Rasulullah adalah penjelas (mubayyin) terhadap apa yang diturunkan Allah.

G. Nash-nash yang berkaitan dengan Ilmu Falak:
a. Firman Allah dan Hadis Nabi tentang Waktu Shalat
     Ada beberapa teks nas baik yang berasal dari Alqur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Bila dalam Al-Qu’an penetapan awal waktu shalat yang lima itu disebutkan secara implicit maka di dalam hadis Nabi penetapannya disebutkan secara eksplisit. Adapun beberapa teks nash itu sebagai berikut :
 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(Q.S An-Nisa:103)

-          عن انس بن مالك رضي الله عنه قال : فرضت على النبي صلعم الصلوات ليلة اسري به خمسين ثم نقصت حتي جعلت خمسا. ثم نودي : يا محمد انه لا يبدل القول لدي. وان لك بهذها الخمس خمسين (رواه احمد و النسائ والترمذى وصححه )
“ dari Anas bin Malik ra: difardhukan shalat-shalat itu pada malam diisrakannya Nabi Muhammad SAW. Lima puluh,kemudian dikurang-kurangkannya sampai menjadi lima, lalu diseru: “ Hai Muhammad ! Sesungguhnya tidak boleh diganti ketetapan disisi-Ku itu, dan sesungguhnya bagi engkau denganyanglimaini akan memperoleh lima puluh pahala.”
-          عن طلحة بن عبيدالله رضي الله عنه قال : ان اعربيا جاء الى رسول الله صلعم ثائر الرأس فقال : يارسول الله اخبرني ما فرض الله علي من الصلوة ؟ قال : الصلوات الخمس الا ان تطوع شيئا (متفق عليه)
‘ dari Thalhah bin Ubaidillah ra: Bahwa seorang Badui telah dating kepada Rasulullah SAW. Berambut kusut, kemudian dia bertanya : Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah fardukan atasku dari pada shalat ? Rasulullah menjawab : Shalat yang lima, kevuali jika engkau berthathawwu’ . “
-          عن عبدالله بن عمر ورضي الله عنه قال : ان النبي صلعم قال : وقت الظهر اذا زالت الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر, ووقت العصر مالم تصفر الشمس, ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفتي, ووقت صلاة العشاء الى نصف اليل الأوسط, ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Amar ra : berkata : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda waktu zuhur apabila tergelincir matahari, sampai baying-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu ashar. Dan waktu ashar selama matahari belum menguning. Dan waktu magrib selama syafaq belum terbenam ( megah merah ). Dan waktu shalat isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu shubuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit”.

-          عن جابرين عبدالله رصيالله عنه قال: ان النبي صلعم جاءه جبريل عليه السلام فقال له قم فصله فصلي الظهر حتي زالت الشمس ثم جاءه  العصر فقال قم فصله فصلي العصرحين صار ظل كل شيئ مثله  ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلي المغرب حين وجبث الشمس ثم جاءه العشاء فقال: قم فصله فصلي العشاء حين غاب الشفق ثم جاعه الفجر فقال: قم فصله فصلي الفجرحين برق الفجر او قال سطع الفجر ثم جاءه من الغد للظهر فقال قم فصله فصلي اللظهر حين صار ظل كل شيئ  مثله ثم جاءه العصر فقال:  قم فصله فصلي العصر حين صار ظل كل شيئ  مثله ثم جاءه المغرب وقناواحدالم يزل عنه ثم جاءه العشاء حسن ذهب نسف اليل او قال ثلث اليل فصلي العشاء ثم جااءه حين اسفر جدا فقال قم فصله الفجر ثم قال ما بين هذين الوقتين وقت ( رواه احمد والنسائ الترمذئ بنحوه )
“ dari Jabir bin Abdullah ra : berkata: Telah dating kepada Nabi SAW. Jibril AS. Lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu shalatlah!, kemudian Nabi shalat Zuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata: bangunlah ! lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Ashar dikala baying-bayang sesuatu sama dengannya.kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu magrib, lalu berkata: bangunlah!lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat magrib, dikala matahari terbenam. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu isya lalu berkata:bangunlah! Lalu shalatlah!, kemudian nabi shalat isya di kala mega merah telah terbenam. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata: bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat fajar dikala fajar menyingsing, atau ia berkata di waktu fajar bersinar.
Kemudian ia dating pula keesokan harinya pada waktu Zuhur, kemudian ia berkata kepadanya: bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat Zuhur di kala baying-bayang sesuatu dengannya. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata: bangunlah lalu shalatlah! Kemudian nabi shalat Ashar dikala baying-bayang sesuatu dua kali sesuatu itu. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu Magrib dalam waktu yang sama, tidak tergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia dating lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah berlalu separuh malam, atau ia berkata: telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya.kemudian ia dating lagi kepadanya dikala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah!, kemudian Nabi shalat Fajar.kemudian Jibril berkata: Saat diantara dua waktu itu adalah waktu shalat.”[3]
Adapun hadits yang menerangkan waktu-waktu shalat adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan lainnya dari Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi saw:
-          انه اتاه سائل يساله عن مواقت الصلاة فلم يرد عليه شيئا، وفـى رواية اخرى قال: اشهد معنا الصلاة، قال: فاقامالفجر حين انشق الفجر: واناس لا يكاد يعرف بعضهم بعضا، ثم امره فاقام باالظهر حين زالت الشمس والقائل يقول: قد انتصف النهار وهو كان اعلم منهم، ثم امره فاقام بالظهر حين زالت الشمس، والقائل يقول: قدانتصف النهأر وهو كان اعلم منهم، ثم امرهم فاقام بالعصر والشمس مرتفعة، ثم امره فاقام بالمغرب حين وقعت الشمس، ثم امره فأقام العيشاء حين غاب الشفق.
ثم اخر الفجر من الغد، حتى انصرف منها والقائل: قد طلعت الشمس او كادت، ثم اخر العصر حتى كان قريبا من وقت العصر بالامس، ثم اخر العصر حتى العصر حتى انصرف منها والقائل يقول: قداحمرت الشمس، ثم اخر العشاء حتى كان ثلث اليل الاول، ثم اصبح، فدعا السائل فقال: الوقت بين هذين.
"Bahwa telah datang kepada beliau seseorang yang menanyakan kepada beliau tentang waktu-waktu shalat.  Maka, beliau tidak menjawabnya sedikitpun. Dan menurut suatu riwayat lain, beliau bersabda : “ikutilah shalat bersama kami. Kata Abu Musa: Maka Nabi mendirikan shalat Shubuh ketika terbit fajar, sedang orang-orang hampir tidak mengenali sesamany.  Kemudian Nabi menyuruh orang tadi memperhatikan, lalu beliau mendirikan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir.  Sedang penanya itu berkata : “Sesungguhnya telah tiba pertengahan siang.” Dan Nabi tentu lebih tahu daripada orang-orang lainnya.  Maka, kemudian Nabi menyuruh mereka memperhatikan, lalu mendirikan shalat ‘Ashar, sedang matahari masih tinggi.  Kemudian, Nabi menyuruh penanya tadi memperhatikan, lalu mendirikan shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam.  Kemudian Nabi menyuruhnya memperhatikan pula, lalu mendirikan shalat ‘Isya ketika megah merah telah tiada. Kemudian besoknya, Nabi mengakhirkan shalat shubuh, sehingga beliau usai dari padanya, sedang penanya itu berkata : “ Sesungguhnya matahari telah atau hampir terbit.” Kemudian, Nabi mengakhiri shalat Zhuhur sampai mendekati waktu ‘Ashar yang kemarin. Kemudian, beliau mengakhiri shalat ‘Ashar sampai usai daripadanya, sedang penanya itu mengatakan, “sesungguhnya matahari telah berwarna merah.” Kemudian beliau mengakhirkan shalat ‘Isya sampai saat sepertiga malam yang pertama. Kemudian beliau melakukan shalat Shubuh, maka dipanggilnya penanya tadi, lalu sabda beliau: “waktu shalat adalah diantara kedua wali tadi".
     Dari beberapa teks nas diatas dijelaskan bahwa sesungguhnya shalat merupakan kewajiban kaum Mu’min yang ditentukan waktunya ( An-Nisa : 103 . mengenai berapa kali shalatitu mesti ditunaikan dan kapan waktu pelaksanaanya, Tuhan dalam firmannya hanya memberikan isyarat-isyarat saja. Misalnya seperti yang termaktub dalam surat Thaha ayat 130 “ Dan bertsbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah”. Penjelasan mengenai kedua hal itu ada dalam Hadis Nabi SAW. Diantaranya  Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Amar ra, berkata : sesungguhnya Rasulullah SAW Bersabda: waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai baying-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum dating Ashar, waktu Ashar selama matahari belum menguning, waktu shalat Magrib selama syafaq belum terbenam ( hilang), dan waktu shalat isya sampai tengah malam yang pertengahan dan waktu shubuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. Berdasarkan hadis ini maka sudah menjadi ijma di kalangan fuqaha bahwa “ masuk waktu” merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Berdasarkan bunti teks hadis itu dapat diketahui bahwa shalat yang diwajibkan itu ada lima waktu. Yaitu Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya dan Shubuh dengan batasan waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari sehari semalam.
     Bila kita melakukan shalat dengan batasan waktu sesuai dengan bunyi teks hadis di atas maka kita akan mengalami banyak kesulitan, misalnya tiap akan melakukan shalat Ashar maka setiap itu pula kita membawa tongkat untuk di ukur tinggi baying-bayangnya, untuk magrib  kita harus mengetahui apakah matahari sudah terbenam atau belum. Demikian pula untuk Isya, shubuh Dzuhur setiap itu pula kita akan melihat awan, fajar dan matahari.padahal tidak setiap saat sinar matahari dapat dilihat di setiap tempat. Sementara itu berdasarkan observasi yang dilakukan para astronom diketahui bahwa perjalanan harian matahari relative tetap, maka terbit tergelincir dan terbenamnya dengan mudah dapat diperhitungkan termasuk kapan matahari itu akan membentuk bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan untuk setiap hari sepanjang tahun.
     Untuk kemaslahatan maka hisab sebagai satu-satunya cara dalam menentukan masuknya waktu shalat tidak diperselisihkan penggunanaannya.
b. Firman Allah dan Hadis Nabi tentang Arah Kiblat
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni shalat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang menunjukan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah : “ al-ashlu fi al-ibadah al-buthlan hatta yaquuma al-daliilu ‘ala al-amri[4].
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat dalam shalat baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah pada surat Al-Baqarah : 144, 149 dan 150, sementara hadis Nabi SAW yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap kiblat pada saat shalat adalah sebagai berikut :
Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.[5]
Untuk memperkuat firman Allah diatas pada surat Al-baqarah ayat 144 ada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usama bin Zaid:
-          ما دخل النبي صلي االله عليه وسلم  البيت دعا في نواحيه كلها. ولم يصل حتي خرج منه , فلما خرج صلي ركعتين من قبل الكعبة وقال: هذه لقبلة
Ketika Nabi SAW Masuk ke baitullah ( ka’bah), maka beliau berdo’a diseluruh penjurunya. Beliau tidak mengerjakan shalat kecuali setelah keluar daripadanya. Maka ketika telah keluar, beliau mengerjakan shalat dua rakaat seraya menghadap ka’bah, lalu beliau bersabda:” inilah kiblat”.[6]
Adapun hadis Nabi SAW yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap kiblat pada saat shalat adalah :
-          عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلعم : اذا قمت الى الصلاة فاسبغ الوضؤ ثم استقبل القبلة وكبر
“ Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda : bila hendak shalat maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian takbir”[7]
-          عن انس بن مالك رضي الله عنه قال : ان النبي صلعم كان يصلى نحو اتبيت المقدس فنزلت : قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلت ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام. فمر رجل من بنـي سلمة وهم ركوع فى صلاة الفجر وقد صلوا ركعة, فنادى الا انالقبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة
“ Dari Anas bin Malik ra. Bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang shalat menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu menengadah ke langit ( sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang memerintahkan berpaling ke baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah mesjidil haram”. Kemudian ada orang dari Bani Salamah sedang melakukan ruku’ pada shalat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru “ Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling kearah kiblat (Baitullah).[8]
Dalam surat al-Baqarah ayat 149-150 Allah berfirman dengan mengungkapkan kata فول وجهك شطر المسجد    sampai tiga kali, menurut Ibnu Abbas itu sebagai ta’kid, sementara Fakhruddin ar-Razi berpendapat ungkapan itu karena disesuaikan dengan keadaan, ungkapan yang pertama ditujukan pada orang-orang yang menyaksikan ka’bah, ungkapan kedua ditunjukkan untuk orang-orang yang di luar mesjid al-Haram sedangkan ungkapan yang ketiga ditujukan untuk orang-orang dari negeri-negeri yang jauh.[9]
Bila pada masa Nabi Muhammad saw. Kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu tidak banyak menimbulkan masalah karena umat islam masih relative sedikit dan kebanyakan tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya dengan keadaan pasca Nabi SAW. Saat ini, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja (Syathrah atau jihah).
Para ulama sepakat bahwa bagi orang-orang yang melihat ka’bah wajib menghadap ‘ain ka’bah dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama, jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap jihah ka’bah. Kedua, Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk mengenai ‘ain ka’bah yakni wajib menghadap ka’bah sebagaimana yang diwajibkan pada orang-orang yang menyaksikan ‘ain ka’bah[10].
Berkaitan dengan kewajiban menghadap kiblat yang terilhami dari perintah agama, maka ilmu pengetahuan berupaya untuk menyelaraskan apa yang dimaui oleh nash itu dengan melihat fenomena alam dalam hal ini adalah keadaan bumi yang relative bulat. Implikasinya adalah kemanapun muka kita dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Persoalannya apakah yang dimaksudkan dengan arah itu ? menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu “menuju” dan “menghadap ke”.
Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini, maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan arah dalam pengertian jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekkah.[11] Yang dapat diukur melalui lingkaran besar. Maka, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, setelah menafsirkan “kiblat” pada ayat 144 surat al-Baqarah dengan “arah kiblat”.kaum muslimin harus mengetahui posisi Baitul Haram dengan cara mempelajari ilmu Bumi dan Ilmu Falak[12]. Dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ilmu falak atau astronomi maka menentukan arah kiblat bagi suatu tempat di bumi bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

c. Firman Allah dan Hadis Nabi tentang Hisab dan Rukyat.
     Secara garis besar ada dua metode dalam menentukan awal bulan Qamariyah khususnya pada bulan-bulan yang ada kaitannya dengan ibadah seperti Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu metode rukyat dan metode hisab. Metode rukyat inilah yang pertama kali digunakan oleh umat islam sejak masa Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangannya sekarang rukyat, selain dilakukan dengan mata telanjang juga dilakukan dengan terpotong. Untuk menunjang keberhasilan rukyat maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan-perhitungan terhadap ketinggian hilal dan posisi hilal terhadap matahari dengan berdasarkan pada data-data astronomi modern. Dengan demikian, akurasi hasil rukyat bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
     Rukyat ini dilakukan pada saat matahari terbenam tanggal 29 Sya’ban untuk menentukan 1 Ramadhan, tanggal 29 Ramadhan untuk menentukan 1 Syawwal dan tanggal 29 Dzulqaidah untuk menentukan 1 Dzulhijjah. Bila pada malam tanggal 29 pada bulan-bulan tersebut rukyat berhasil -hilal dapat dilihat-  maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal baru bulan berikutnya. Akan tetapi, apabila rukyat tidak berhasil maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung atau dikenal dengan istilah istikmal.
     Adapun dasar digunakannya rukyat sebagai metode dalam penentuan awal bulan Qamariyah adalah Surat al-Baqarah ayat 189:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.[13]
Dari firman Allah tersebut dapat diketahui bahwa bulan sabit (hilal) sebagai tanda waktu bagi pelaksanaan ibadah, seperti penentuan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat 185:
Ayat tersebut menjelaskan bahwa cara melaksanakan puasa adalah dengan mengetahui dirinya menyaksikan hilal atau rukyatul hilal karena syahida dalam ayat itu bermakna melihat atau menyaksikan. Muhammad Ali As-Sayis[14] menjelaskan dalam tafsirnya bahwa term syahida itu mempunyai dua makna yaitu hadir di bulan Ramadhan dan menyaksikan bulan dengan akalnya dan pengetahuannya. Hadir di sini dimaknai sebagai mengetahui hadirnya bulan Ramadhan yakni dengan jalan rukyat.
       Penggunaan metode rukyat selain didasarkan pada nash Al-Qur’an, juga didasarkan pada Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, berikut:
-          صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
“ Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan Syahban tiga puluh” ( H.R Bukhari )
-          اذا رايتموا الهلال فصوموا واذا رايتموا فافطروا فان غم عليكم فاقدروا له (رواه مسلم)
Bila kamu melihat hilal, maka berpuasalah, dan bila kamu melihat hilal maka berbukalah. Bila hilal itu tertutup awan maka kira-kirakanlah ia “. ( H.R Muslim ).
            Berdasarkan hadis-hadis di atas, penetapan awal-awal bulan Qamariyah khususnya awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah adalah dengan jalan rukyatul hilal yaitu melihat secara langsung hilal sesaat setelah matahari terbenam pada hari ke 29 atau dengan jalan istikmal yakni menggenapkan bilangan bulan itu menjadi 30 hari manakala rukyat yang dilakukan itu tidak berhasil.
            Sementara itu, digunakannya metode hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah yang digunakan sebagian umat Islam bukan didasarkan pada pengetahuan akal semata dengan melepaskan diri dari nash. Akan tetapi, mereka juga menggunakan nash baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad SAW.
Pada Surat Yunus ayat 5 :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak, dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.[15]

 Surat Al-Isra ayat 12:
 Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu Telah kami terangkan dengan jelas.
Dalam kitab-kitab tafsir[16] disebutkan bahwa ayat tersebut menerangkan tentang susunan dan hokum yang berlaku di ruang angkasa yang juga menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT dalam mengatur alam semesta dengan harmonis. Dengan ayat ini pula manusia dapat memahami manfaat dari sinar matahari dan cahaya bulan, malam untuk beristirahat dan siang untuk mencari penghidupan ( bekerja ) dan melakukan perjalanan. Juga ditetapkan pada masing-masing benda langit itu garis edar masing-masing sehinggan memudahkan manusia dalam menghitung dan mengetahui bilangan tahun,bulan, hari dan seterusnya yang pada akhirmya manusia dapat membuat perencanaan-perencanaan bagi diri, keluarga dan masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan hamba Allah SWT.
            Selanjutnya, dengan ayat ini manusia berdasarkan pada adanya peredaran bulan dan matahari yang tetap dan harmonis dapat mengetahui perhitungan tahun, bulan dan hari. Manusia juga dapat melakukan perhitungan terhadap pelaksanaan haji sehingga kewajiban-kewajiban agama itu dapat dilaksanakan tepat waktu.
Hadis Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut:
-          صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
“Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan Syahban tiga puluh” ( H.R Bukhari )
            Baik surat al-Baqarah ayat 185 maupun hadis di atas jelas menetapkan bahwa mengawali berpuasa dan berhari raya hendaklah dengan rukyat. Mereka memahami rukyat dalam arti melihat dengan ilmu atau akal ( rukyat bil ilmi ), pemahaman ini diperkuat oleh hadis Nabi berikut ini :