This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 05 Desember 2011

MENILAI KUALITAS HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF (ANALISIS CIRI DAN CONTOH HADITSNYA)


A.     PENDAHULUAN
Hadits, diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah al-Qur’an, yang dalam tataran aplikasinya dijadikan hujjah keagamaan dan kehidupan. Secara struktural hadits Nabi saw merupakan sumber ajaran islam setelah al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problema umat manusia di dalam al-Qur’an, maka kita harus dan wajib kembali pada hadits. Oleh karena itu, hadits memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam al-Qur’an.
Ditinjau dari sejarah periwayatannya, hadits nabi berbeda dengan al-Qur’an. Jika al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadits nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Oleh karena itu, al-Qur’an dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai qath’i al-wurud, sehingga tidak diperlukan penelitian tentang keasliannya. Sementara hadits nabi sebagian berkedudukan sebagai qath’i al-wurud, dan sebagian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan sebagai zhanni al-wurud.[1] Maka dari itu diperlukan penelitian untuk mengetahui  apakah periwayatannya dapat dipertanggungjawabkan berasala dari nabi atau tidak.
Untnuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dipertanggungjawabkan keasliannya berasal dari nabi, diperlukan penenlitian sanad dan matan hadits yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut akan diketahui tingkat akurasi dan keaslian suatu hadits, apakah berstatus maqbul (dapat diterima sebagai dalil) atau berstatus mardud (ditolak sebagai dalil).

B.        HADITS SHAHIH, HASAN, DHA’IF (KLASIFIKASI, CONTOH DAN ANALISIS)
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits dapat dibagi menjadi dua, pertama hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dha’if. Menurut Ulama hadits sejak zaman Turmudzi dan sesudahnya, pembagian hadits secara garis besar ada tiga macam, yakni: hadits shahih, hasan dan dha’if.

1.    HADITS SHAHIH
a.    Pengertian Hadits Shahih
Menurut bahasa, shahih berarti sehat, selamat dari aib, benar atau betul. Meurt istilah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya, dieiwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan catat. Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama.
الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً
Artinya; "Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan maupun cacat.[2]
Sedangkan Menurut  para ulama mutaakhirin, bahwa hadits shahih adalah:
ما نقاله عدل تام الضبط متصل السند عير معلل ولا شاذ
Artinya: “Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ke-dhabitan-nya, antara sanad-sanadnya bertalian atau bersambung, tidak mengandung ‘illah, dan tidak ada kejanggalan (syadz) di dalamnya.[3]
أما الحديث الصحيح فهوالحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العادل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا
Artinya: “Hadis shahih adalah yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai akhir sanad-sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat).
Menurut Imam al-Nawawi, yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
Artinya; "Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat.[4]
Dari beberapa definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur yakni: 1. Bersambung sanadnya, 2. Diriwayatkan oleh perawi yang adil, 3. Diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, 4. Terhindar dari syadz, 5. Terhindar dari ‘Illat. Adapaun syarat-syarat diperinci sebagai berikut:

b.    Syarat-Syarat Hadits Shahih
Para ahli hadits awal sampai anad ketiga hijriyah tidak secara eksplisit mendefinisikan hadits-hadits yang dapat dianggap shahih. Merka hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh. Maka dari itu, untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteriakriteria sebagai berikut:
1)      Rawinya Bersifat Adil
Arti adil di sini ialah memiliki sifat-sifat: Istiqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, tidak fasiq (tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar), dan memelihara muru’ahnya (memelihara keturunan dirinya).[5]
Adapun inti dari sifat adil adalah berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara. Orang-orang yang selalu berpedoman kepada adab-abad sayara’, baik terhadap perintah-perintah yang harus dilakukan, maupun larangan yang harus ditinggalkan. Menurut Ibnu Sam’any, keadilan seorang perawi harus memenuhi empat syarat; selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
2)      Sempurna Ingatan (Dhabith)
Yang dimaksud dengan Dhabith ialah orang yang kuat ingatannya, ia memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Artinya bahwa ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya. Seseorang dikatan Dhabith apabila ia tidak pelupa, hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, bila ia memberikan hadits, dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan, bila diriwayatkan dari kitabnya, ia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.[6]
3)      Sanad Hadits itu Harus Bersambung
Sanad hadits itu sejak dari mukharrijnya samapai kepada Nabi tidak ada yang terputus. Artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberi hadits.
4)      Hadits Itu Tidak Ber’illat
Maksudnya, hadits tidak mengandung penyakit yang membuat samar suatu hadits sehingga dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits  munqathi’ (yang gugur salah seorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘illat hadits yaitu adanya suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.
5)      Tidak Janggal (Syudzudz)
Artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dhabitan rawi atau sanadnya yang lain.

c.    Contoh Hadits Shahih
       Contoh, sebuah hadits shahih dalam Shahih Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ
 عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)
Hadits diatas dihukumi sebagai hadits shahih karena:
1.      Sanadnya tersambung, sebab masing-masing periwayat yang meriwayatkan telah mendengar haditsnya dari gurunya.
2.    Para periwayat hadits diatas semuanya adil dan dlabith, yaitu: Abdullah bin Yusuf: orangnya tsiqah (terpercaya) dan mutqin (cermat) ßàMalik bin Anas: Imam sekaligus hafidz ßàIbnu Syihab Az-Zuhri: orangnya faqih, hafidz, disepakati tentang ketinggian kedudukan dan kecermatannya ßàMuhammad bin Jabir: tsiqah ßàJabir bin Muth’im: sahabat.
3.      Tidak ada Syad, karena tidak bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat
4.      Tidak ada illat (cacat) dalam hadits tersebut.

d.      Klasifikasi Hadits Shahih
1)   Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syu-dzudz dan tidak ada ‘Illat yang tercela.[7]
Contoh Hdits Shahih li-Dzatihi:
قال رسول الله ص م المسلم من سلم السلمون من لسا نه ويده والمهاجر من هجر
ما نهرالله[8] متفق عليه
Artinya: “Rasulullah bersabda: “yang dimaksud dengan orang islam (muslim) ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya; dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah.”
Jika dilihat dari segi perawinya, hadits di atas termasuk hadits masyhur. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut: Adam bin Ilyas ßà Syu’bah ßà Ismail dan Ibnu Safar ßà as-Sya’by ßà Abdullah bin Amr bin Ash.[9]
Perawi dan sanad bukhari ini, semuanya memenuhi lima syarat hadits shahih sebagaimana telah dikemukakan di atas. Karenanya, maka hadits tersebut, termasuk hadits shahih li-dzatihi. Adapun kemasyhuran hadits tersebut, tidaklah menjadi ukuran akan keshahihannya.
Contoh Hdits Shahih li-Dzatihi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نا فع عن عبدالله ان رسول الله
 ص م قال إذا كانوا ثلا ثة فلا يتناجى اثنان دون الثالث[10]
Artinya: (kata Bukhari) “Telah menceritakan kepada kami “Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah saw  bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.
Hadits di atas memiliki sanad yang bersambung dari seorang rawi kepada Nabi saw. Bukhari ßà‘Abdullah ßàMalik ßàNafi’ ßà‘Abdullah (Ibnu Umar)ßà Rasulallah saw.
Perawi mulai pertama sampai ke 5, semuanya bersifat adil, kepercayaan dan dhabit dengan sempurna. Adapun Rasulallah saw tentu tidak perlu kita kaji tentang sifat beliau. Tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih kuat, dan tidak ada ‘Illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela. Mempunyai syarat-syarat sebagaimana tertera yang ada dalam syarat-syarat shahih, maka dari itu, hadits di atas termasuk dalam katagori hadits yang shahih.

2)   Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
 يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر
 ذالك القصورالواقع فيه
Artinya: “Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
Misalnya ada dua buah hadits yang semakna dan sama-sama berkualitas hasan hasan li-dzatihi, kemudian ada ayat yang sesuai dengan hadits tersebut, maka kualitas hadits itu meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Demikian juga, bila ada hadits hasan li-dzatihi yang sesuai dengan hadits yang berkualitas shahih li-dzatihi, maka dilihat dari jalur hadits yang tadinya berkualitas hasan tersebut, maka jadilah ia sebagai hadits shahih li-ghairihi. Sedangkan yang semula berkualitas shahih li-ghairihi, tetap kualitasnya sebagai asalnya.[11]
Contoh Hadits Shahih li-Ghoirihi
Contoh hadits shahih li-ghoirihi adalah hadits Bukhary dari Ubay bin al-‘Abbas bin Sahal dari ayahnya (‘Abbas) dari neneknya (Sahal), katanya:
كان لنبى صلى الله عليه وسلم فى حا ئطنا فرس يقا ل له الحيف
Artinya: “Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami yang bernama al-Luhaif”
Ubay bin al-‘Abbas oleh Ahmad dianggap kurang baik hafalannya. Oleh karena itu, hadits tersebut derajatnya hasan li-dzatihi. Tetapi oleh karena hadits Ubay tersebut mempunyai mutabi’ yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka naiklah derajatnya dari hasan li-dzatihi menjadi shahih li-dzatihi.[12]
لولا ان اشق علي امتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Artinya: “sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersikat gigi (siwak) setiap menjelang shalat.”
        Salah seorang rawi dari snad hadits ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr bin al-Qamah. Dia termasuk orang yang dapat dipercaya, akan tetapi hafalannya masih diperselisihkan oleh ulama kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawinya yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah. Karenannya, kualitas hadits tersebut hasan li-dzatihi. Kemudian, ada sanad yang lain yang memuat hadits tersebut. Maka dengan demikian, hadits tersebut meningkat derajatnya menjadi hadits shahih li-ghairihi.[13]
Contoh Hadits Shahih li-Ghoirih:
حدثنا عمربن علي قال حدثنا أبوقتيبه قال حدثنا عبدالرحمن ابن عبدالله بن دينار
عن أبيه قال سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب[14] ....
Artinya: “(Bukhari berkata): telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar dari bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru syi’ir Abi Thalib....
Sanad pada hadits di atas bersambung dari Bukhari ßà ‘Amr bin ‘Ali ßàAbu Qutaibah ßà‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar ßà Bapaknya (yaitu ‘Abdullah bin Dinar) ßà Ibnu ‘Umar. Dan perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan sempurna hafalannya, hanya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar yang derajatnya kurang sedikit dari yang lainnya, tetapi tidak lemah. Maka martabat sanad yang seperti inilah yang dinamakan hadits li-dzatihi.
Dalam riwayat lain menurut Imam ibnu Majah Sanad hadits di atas bersambung mulai dari: Ibnu Majah ßà Ahmad bin al-Azhar ßà Abnun-Nadlr ßà Abu ‘Aqil ßà ‘Umar bin Hamzah ßà Salim ßàBapaknya (yaitu Ibnu Umar). Ada martabat sanad pada no 2 dan 5 martabat perawinya kurang dapat dipercaya, tetapi tidak sampai lemah.
Ringkasnya, baik versi Bukhari maupun Imam Ibnu Majah keduanya menunjukkan bahwa saling menguatkan

2.        HADITS HASAN
a.    Pengertian Hadits Hasan
Yang dimaksud dengan hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang yang adil tetapi kurang sedikit dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat. Sehingga pengertian hadits hasan oleh para ulama mutahaddisin didefinisikan sebagai berikut:
مالايكون في اسناده من يتهم بالكدب ولا يكون شاذا ويروى من غير وجه نحوه فى المعنى
Artinya: “ialah hadits yang pada snadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka sesungguhnya hadits hasan itu tidak ada perbedaannya dengan hadits shahih, terkecuali hanya dibidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan yang shahih. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih sama.[15]
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga memiliki lima kriteria. Akan tetapi, pada kriteria ke-dhabitan perawinya kurang sempurna. Dengan demikian, maka definisi hadits hasan, adalah hadits yang riwayat perawinya adil, kurang dhabit, sanad-sanadnya bersambung, tidak mengandung ‘Illah dan tidak syadz.[16]
Untuk membedakan hadits shahih dengan hadits hasan, jumhur muhaddisin memberikan penegertian sebagai berikut:
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
Artinya: ”hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.”
Berdasarkan definisi di atas, nampak jelas perbedaan yang tegas antara hadits shahih dan hadits dha’if dengan hadits hasan. Perbedaan hadits hasan itu terletak pada syarat kedhabitan rawinya, yakni pada hadits hasan kedhabitannya lebih rendah (tidak begitu baik ingatannya).
Contoh Hadits Hasan
حق على المسلمين أن يغتسلوا يوم الجمعة واليمس أحدهم من طيب أهله فإن لم
يجد فلماء له طيب
Jika dianalisis hadits di atas yahya Isma’il bin Ibrahim at-Taimy, Yazid bin Abi Ziyad, Abdur rahman bin Abi Laila dan al-Barra bin ‘Azib, maka hadits tersebut adalah hadits Dha’if. Karena Isma’il bin Ibrahim at-Taimy itu didha’ifkan oleh para ahli hadits.

LIMA KISAH ISRAILIYAT DALAM AL-QUR’AN


A.     PENDAHULUAN
Israiliyat[1] merupakaan cerita yang berkaitan erat dengan Tafsir bil-Ma’tsur (Tafsir yang berdasarkan Hadits dan Riwayat). Keberadannya disela-sela penafsiran al-Qur’an bisa menimbulkan perusakan ajaran Islam tanpa disadari oleh umat islam itu sendiri, khususnya Israiliyat yang merusak aqidah.
Israiliyat sebenarnya merupakan kisah yang bersumber dari literatur Ahli Kitab, yang kebanyakan bersumber dari orang Yahudi, atau orang Islam yang dahulunya pernah memeluk agama Yahudi. Sebenarnya para shahabat yang masuk Islam itu tidak menyampaikan cerita bohong. Sebab selama mereka memeluk agama Yahudi, kisah-kisah itulah yang mereka punya. Ketika ada ayat al-Qur’an menyinggung kisah yang sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya.
Meskipun ada kebohongan, tidak serta-merta bersumber dari para shahabat, melainkan kebohongan tersebut sudah ada sebelum agama mereka. Dalam kitab-kitab tafsir tidak terlepas dari Israiliyat. Bahakan Muhammad Rasyid Ridha, yang menyusun Tafsir al-Manar, yang dikenal sabagai mufassir yang sangat menentang keberadaan Israiliyat. Namaun menurut al-Dazahabi, ternyata dalam tafsir al-Manar terdapat sebagian riwayat yang bersumber dari Israiliyat.
Sebagian mufassir ada yang jujur dalam membicarakan masalah Israiliyat. Di antaranya adalah Ibnu Katsir. Bilau menyebutkan Israiliyat untuk dapat diketahui masyarakat, hal tersebut bertujuan agar masyarakat tahu keberadaan Israiliyat yang tidak harus dipercayai. Sehingga masyarakat tidak terpengaruh dengan tafsiran yang berkenaan Israiliyat.
Adapun kitab-kitab yang banyak memuat riwayat-riwayat Israiliyat adalah Tafsir al-Thabari oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari; Tafsir Ibnu Katsir oleh Ibnu Katsir al-Dimasyqi; Tafsir al-Khazin oleh Alaudin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil al-Syaihi.

B.      CONTOH ISRAILIYYAT DALAM AL-QUR’AN
1.    KISAH PERTAMA:  KISAH SEORANG PRIA YANG MELEWATI SEBUAH NEGERI
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 259
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آَيَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Atau Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Dalam versi israiliyat ayat di atas dikisahkan bahwa, pria yang melewati sebuah negeri itu adalah Uzair, sedangkan tempat tersebut adalah Baitul Maqdis setelah dihancurkan oleh Bakhtanshir yang mengusir bangsa Yahudi dari wilayah tersebut ke daerah Babilonia.
As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitab ad-Durrul Mantsur dari ibnu Abbas, Ka’ab al-Ahbar, al-Hasan al- Bashri dan Wahb bin Munabbih mereka berkata, “ Uzair adaalah seorang hamba yang shaleh. Suatu hari, ia memeriksa ladangnya, kemudian sampailah ia pada tempat reruntuhan dan puing-puing bangunan baitul maqdis. Tepat pada tengah hari, ia merasakan terik yang amat sangat, kemudian ia berteduh memasuki reruntuhan itu seraya mengendarai keledainya. Lalu ia turun dari keledainya sambil membawa sekantung buah tin dan anggur, kemudian berteduhlah ia dibawah naungan reruntuhan itu.
Sambil berbaring terlentang, isa memandangi atap rumah reruntuhan itu dan memperhatikan segala yang ada di sana. Atap itu masih tegap di atas tiang-tiangnya, sedangkan para penghuninya telah binasa. Kemudian matanya bertumbuk pada tulang belulang yang usang. Ia bergumam. “bagaimana Allah dapat menghidupkan kembali tulang-tulang itu sesudah dimusnahkan?” padahal, ia tidak sedikitpun meragukan bahwa Allah Maha Kuasa menghidupkan kembali tulang-belulang itu, dan perkataan itu hanya karena takjub. Lalu Allah mengutus malaikat maut untuk mencabut ruhnya dan Allah mewafatkannya selama seratus tahun.
Setelah berlalu seratus tahun-selama itu terjadilah berbagai hal dan peristiwa di kalangan Bani Israel. Allah mengutus kepadanya seorang malaikat. Diciptakan-Nya hatinya agar berfikir juga kedua matanya agar dapat melihat. Lalu ia mulai berfikir dan memahamai bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati. Kemudian mulailah Allah menyusun penciptaannya sementara ia menyaksikan semua proses penyusunan kembali penciptaan tersebut. Lalu Allah melapisi tulang-belulangnya dengan daging dan kulit, kemudian ditiupkan kepadanya roh. Semua proses kejadian tersebut ia saksikan dan ia pahami.
Kemudian ia bangun dan terduduk. Malaikatpun bertanya kepadanya, “berapa lamanya engkau diam di sini?” dia menjawab, “aku tinggal di sini sehari.” Jawaban itu terlontar karena sebelum diwafatkan, dia tertidur pada waktu tengah hari ketika matahari begitu menyengat dan dibangkitkan pada waktu sore hari ketika matahari belum tenggelam, “atau setengah hari karena belum aku lalui hari ini sepenuhnya.”
Malaikat itu mengatakan kepadanya, “tetapi engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu!” yaitu roti kering dan sari buah yang telah dibuatnya dalam mangkuk, keduanya belum berubah dari keadaan semula. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya, “Lam yatasannah”  yang berarti tidak berubah.
Melihat itu semua seolah-olah hatinya tidak yakin. Lalu malaikatpun berkata kepadanya, ”kamu tidak percaya pada apa yang aku katakan? Lihatlah keledaimu! “maka ia memandang keledainya yang sudah hancur berantakan tulang-belulangnya dan hanya tinggal fosil-fosilnya. Kemudian malaikat itu memanggil tulang-belulang keledai tersebut, lalu merekapun menjawab dan datang dari segala penjuru. Malaikat pun menyusunnya kembali sementara  Uzair menyaksikannya. Kemudian tulang-belulang itu dibalut dengan urat-urat nadi dan syaraf lalu dibungkusnya dengan daging. Kemudian ia menumbuhkan padanya kulit dan rambut lalu meniupkan roh kepadanya. Dengan serta merta binatang itu berdiri menegakkan kepala dan kedua telinganya, mengangkat ke langit sambil meringkik.
Lalu ia menaiki keledainya dan bertolak menuju tempat asalnya. Setibanya di sana, kaumnya tidak mengenalinya dan ia pun tidak mengenali kaumnya. Ia juga tidak mengnali rumah-rumah tempat asalnya. Maka barulah ia dengan penuh perasaan gamang dan bimbang. Sampai akhirnya ia tiba di rumahnya dan bertemu dengan seorang wanita tua buta dan lumpuh. Wanita itu telah berusia seratus dua puluh tahun. Wanita itu dulunya seorang budak. Ketika Uzair pergi meninggalkan kaumnya seratus tahu yang lalu, budak itu masih berusia dua puluh tahun, ia mengnali dan memahami Uzair dengan baik.
Lalu Uzair pun menghampiri dan menyapanya, “hai wanita tua apakah ini temapt tinggal Uzair?”
Wanita itu menjawab, “ya!” lalu ia menagis dan berkata,  “tak seorang pun kulihat sejak sekian lama menyebut Uzair. Semua orang telah melupakannya!”
Uzair berkata, “sungguh sayalah Uzair!” wanita itu berpekik maha Suci Allah! Kami telah kehilangan Uzair seratus tahu lamanya. Namanya tidak pernah lagi disebut-sebut!”
Wanita itu berkata, “Uzair adalah seorang yang selalu dikabulkan do’anya. Ia terbiasa mendokan orang yang sakit dan cacat, supaya disembuhkan dan normal kembali. Maka berdo’alah kamu kepada Allah agar Ia mengembalikan kembali penglihatannku, dan aku dapat melihatmu. Jika engkau memang benar-benar Uzair, aku pasti mengenalimu.”
Maka Uzair pun berdo’a kepada Tuhannya, kemudian mengusap mata wanita itu dengan telapak tangannya. Lalu wanita itu mengedip-ngedipkan dan dapat melihat. Uzair pun memegangi tangan wanita itu dan membimbingnya sambil berkata, “bangunlah dengan izin Allah!” maka Allah menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Wanita itpun dapat berdiri normal, seakan-akan ia terbebas dari belenggu.
Kemudian wanita itu memperhatikan Uzair dan berkata setengah terpekik, “aku menjadi saksi bahwa engkau benar-benar Uzair!” Lalu bergegaslah wanita itu ketempat berkumpulnya Bani Isarail. Ketika itu mereka sedang mengadakan pertemuan. Salah seorang dari mereka adalah putera Uzair. Ia kini berusia seratus delapan belas tahun. Disekelilingnya adalah cucu-cucu Uzair yang telah tua pula usianya.
Wanita itu berkata kepada mereka dengan suara lantang, “ini adalah Uzair! Ia telah datang kepada kalian!” namun mereka mendustakannya. Wanita itu berkata lagi “aku ini budak akalian! Si fulanah! Uzair telah berdo’a kepada Tuhannya untukku, lalu Tuhan berkenan mengembalikan penglihatannku dan memulihkan kakiku. Ia mengaku bahwa Allah telah mewafatkannya selama seratus tahun, kemudian dihidupkan kemabali.
Maka bangkitlah semua orang yang hadir dalam pertemuan itu, lalu menhampirin Uzair. Putranya memandanginya seraya berkata, “ayahku memiliki tanda hitam di antara kedua pundaknya. “Lalu Uzair menyingkap pakaian yang menutupi pundaknya, nayatalah bahwa ia memang Uzair.
Lalu bani israel berkata, tak seorangpun di antara kalian yang hafal kitab Taurat selain Uzair, padahal kitab itu telah dibakar oleh Bactanashir. Tidak tersisa sedikit pun kecuali apa yang engkau perintahkan orang-orang untuk menghafalnya, maka tulislah kemabali Taurat untuk kami!”
Konon, dulu ayah Uzair Surucha, telah mengubur kitab Taurat ketika terjadi pernyerbuan Bactanashir di tempat yang tidak diketahui seorang pun kecuali Uzair. Maka bertolaklah Uzair ketempat tersebut, menggalinya dan mengeluarkan kitab Taurat itu. Kitab Taurat tersebut halamannya telah usang dan rusak, tulisannya pun telah rusak dan pudar.
Kemudian ia pun duduk di bawah naungan pohon, sedang bani israil berada di sekelilingnya, lalu diperbaharuinya kitab Taurat tersebut untuk mereka. Pada saat itu turunlah duan buah pijar benda langit sampai memasuki rongga mulutnya. seketika ia ingat kembali isi kitab Taurat. Maka ia dapat menuliskannya kembali kitab Taurat untuk bani israil.
Karena itulah kaum yahudi mengatakan, “Uzair putra Allah!” sebagai ungkapan ketakjuban mereka setelah melihat keajaiban jatuhnya dua buah benda pijar langit tadi, juga diperbaharuinya kembali kitab Taurat dan kembalinya Uzair kepada mereka, untuk mengurusi persoalan bani israil. Konon, Uzair memperbaharui kembali kitab tersebut di daerah yang bernama as-Sawad, di biara Hizkil. Sementara itu, negeri tempat ia wafat bernama Sabir Abad.
Israiliyyat dalam kisah ini menurut Imam Jabir ath-Thabari, kita sama sekali tidak mengetahui nama laki-laki tersebut. Bisa jadi namanya Uzair atau Urmiya, namun kita sama sekali tidak perlu mengetahui nama itu, karena maksud ayat tersebut bukanlah memberikan definisi tentang apa yang diciptakan Allah dalam kisah tersebut, melainkan memberikan pemahaman kondisi orang-orang yang mengingkari kekuasaan Allah swt untuk menghidupkan kemabali ciptaan yang telah mati, mengembalikan mereka kepada bentuk semula setelah binasa, dan hanya ditangan Allah lah hidup matinya manusia. Baik dari kalangan Quraisy maupun bangsa Arab yang telah mendustakannya, juga memberikan penegasan argumentasi tentang hal itu terhadap orang-orang yang tinggal di antara dua temapt hijrah Rasul saw. Mulai dari daerah Buhudi bani Isarail.
Seandainya turunnya ayat tentang kisah tersebut bertujuan memberikan kabar tentang nama laki-lakin tersebut, tentu akan tercantum nash yang jelas di dalamnya, yang tidak menimbulkan keraguan. Namun, pada kenyataannya, ayat tersebut hanya bermaksud mengkritik ungkapan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Karena itulah Allah menyebutkan kisah ini dalam al-Qur’an.

2.    KISAH KEDUA: KISAH ORANG YANG TERPUTUS DARI AYAT-AYAT ALLAH
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’rof ayat: 175-177
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ
Artinya: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.

Ayat tersebut menceritakan tentang seorang laki-laki yang hidup di zaman dahulu, yaitu pada masa nabi Musa hidup seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil, ia dikenal dengan nama panggilan Bal'am ibnu Ba'ura yang tinggal di Baitul Maqdis. Dia adalah seorang laki-laki dari kalangan penduduk Al-Balqa, yang mengetahui tentang Ismul Akbar.
Di dalam sebagian hadis disebutkan bahwa dia termasuk orang yang lisannya beriman, tetapi hatinya tidak beriman alias munafik, karena sesungguhnya dia mempunyai banyak syair yang mengandung makna ketuhanan, kata-kata bijak, dan fasih, tetapi Allah  tidak melapangkan dadanya untuk masuk Islam.
Nabi Musa berangkat dengan pasukan kaum Bani Israil menuju negeri tempat Ba’lam berada, atau negeri Syam. Lalu penduduk negeri tersebut merasa sangat takut dan gentar terhadap Musa. Maka mereka mendatangi Ba’lam dan mengatakan kepadanya, "Do’akanlah kepada Allah untuk kehancuran nabi Musa dan bala tentaranya." Ba’lam menjawab, "Tunggulah sampai aku meminta saran dari Tuhanku, atau aku diberi izin oleh-Nya." Ba’lam meminta saran dari Tuhannya dalam do’anya yang memohon untuk kehancuran Musa dan pasukannya. Maka dijawab, "Janganlah kamu mendoakan buat kehancuran mereka, karena sesungguhnya mereka adalah hambahamba-Ku, dan di antara mereka terdapat nabi mereka." Maka Ba’lam melapor kepada kaumnya, "Sesungguhnya aku telah meminta saran kepada Tuhanku dalam do’aku yang memohon untuk kehancuran mereka, tetapi aku dilarang melakukannya. Kaumnya berkata, "Sekiranya Tuhanmu tidak suka engkau mendoakan untuk kehancuran mereka, niscaya Dia akan melarangmu pula sebagaimana Dia melarangmu pada pertama kalinya. "Bal'am terpaksa berdoa untuk kebinasaan mereka. Tetapi apabila ia mendoakan untuk kehancuran mereka (Musa dan pasukannya), maka yang terucapkan oleh lisannya justru mendoakan untuk kehancuran kaumnya. Dan apabila ia mendoakan untuk kemenangan kaumnya, justru lisannya mendo’akan untuk kemenangan Musa dan pasukannya atau hal yang semacam itu, seperti apa yang dikehendaki oleh Allah.
Maka kaumnya berkata, "Kami tidak melihatmu berdo’a melainkan hanya untuk kehancuran kami." Bal'am menjawab, "Tiada yang terucapkan oleh lisanku melainkan hanya itu. Sekiranya aku tetap mendo’akan untuk kehancurannya, niscaya aku tidak diperkenankan. Tetapi aku akan menunjukkan kepada kalian suatu perkara yang mudah-mudahan dapat menghancurkan mereka. Sesungguhnya Allah murka terhadap perbuatan zina, dan sesungguhnya jika mereka terjerumus ke dalam perbuatan zina, niscaya mereka akan binasa; dan aku berharap semoga Allah membinasakan mereka melalui jalan ini."
Bal'am melanjutkan ucapannya, "Karena itu, keluarkanlah kaum wanita kalian untuk menyambut mereka. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang sedang musafir, mudah-mudahan saja mereka mau berzina sehingga binasalah mereka." Kemudian mereka melakukan hal itu dan mengeluarkan kaum wanita mereka menyambut pasukan Nabi Musa. Tersebutlah bahwa raja mereka mempunyai seorang anak perempuan, perawi menyebutkan perihal kebesaran tubuhnya yang kenyataannya hanya Allah yang mengetahuinya. Lalu ayahnya atau Bal'am berpesan kepadanya, "Janganlah engkau serahkan dirimu selain kepada Musa." Akhirnya pasukan Bani Israil terjerumus ke dalam perbuatan zina. Kemudian datanglah kepada wanita tadi seorang pemimpin dari salah satu kabilah Bani Israil yang menginginkan dirinya. Maka wanita itu berkata, "Saya tidak mau menyerahkan diri saya selain kepada Musa."
Ba’lam mengendarai keledainya hingga sampai di suatu tempat yang dikenal dengan nama al-Ma'luli. Lalu Bal'am memukuli keledainya, tetapi keledainya itu tidak mau maju, bahkan hanya berdiri saja di tempat. Lalu keledai itu berkata kepadanya, "Mengapa engkau terus memukuliku? Tidakkah engkau melihat apa yang ada di hadapanmu ini?" Tiba-tiba setan menampakkan diri di hadapan Bal'am. Lalu Bal'am turun dan bersujud kepada setan itu.
Menurut suatu pendapat, bahwa Musa ketika turun di negeri Kan'an—bagian dari wilayah Syam—maka kaum Bal’am datang menghadap kepada Bal’am dan mengatakan kepadanya, "Musa ibnu Imran telah datang bersama dengan pasukan Bani Israil. Dia datang untuk mengusir kita dari negeri kita dan akan membunuh kita, lalu membiarkan tanah ini dikuasai oleh Bani Israil. Dan sesungguhnya kami adalah kaummu yang dalam waktu yang dekat tidak akan mempunyai tempat tinggal lagi, sedangkan engkau adalah seorang lelaki yang doanya diperkenankan Tuhan. Maka keluarlah engkau dan berdo’alah untuk kehancuran mereka." Ba’lam menjawab, "Celakalah kalian! Nabi Allah ditemani oleh para malaikat dan orang-orang mukmin, maka mana mungkin saya pergi mendo’akan untuk kehancuran mereka, sedangkan saya mengetahui Allah tidak akan menyukai hal itu?" Mereka mengatakan kepada Ba’lam, "Kami tidak akan memiliki tempat tinggal lagi." Mereka terus-menerus meminta dengan memohon belas kasihan dan berendah diri kepada Ba’lam untuk membujuknya.
Akhirnya Ba’lam terbujuk, lalu Ba’lam menaiki keledai kendaraannya menuju ke arah sebuah bukit sehingga ia dapat melihat perkemahan pasukan kaum Bani Israil, yaitu Bukit Hasban. Setelah berjalan tidak begitu jauh, keledainya mogok, tidak mau jalan. Maka Ba’lam turun dari keledainya dan memukulinya hingga keledainya mau bangkit dan berjalan, lalu Ba’lam menaikinya. Tetapi setelah berjalan tidak jauh, keledainya itu mogok lagi, dan Ba’lam memukulinya kembali, lalu menjewer telinganya. Maka secara aneh keledainya dapat berbicara —memprotes tindakannya— seraya mengatakan, "Celakalah kamu. hai Bal’am, ke manakah kamu akan pergi. Tidakkah engkau melihat para malaikat berada di hadapanku menghalanghalangi jalanku? Apakah engkau akan pergi untuk mendoakan buat kehancuran Nabi Allah dan kaum mukminin?" Bal'am tidak menggubris protesnya dan terus memukulinya, maka Allah memberikan jalan kepada keledai itu setelah Bal'am memukulinya. Lalu keledai itu berjalan membawa Bal'am hingga sampailah di atas puncak Bukit Hasban, di atas perkemahan pasukan Nabi Musa dan kaum Bani Israil. Setelah ia sampai di tempat itu, maka ia berdo’a untuk kehancuran mereka. Tidak sekali-kali Bal'am mendo’akan keburukan untuk Musa dan pasukannya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga berbalik mendo’akan keburukan bagi kaumnya. Dan tidak sekali-kali Bal'am mendoakan kebaikan buat kaumnya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga mendoakan kebaikan buat Bani Israil.
Maka kaumnya berkata kepadanya, "Tahukah engkau, hai Bal'am, apakah yang telah kamu lakukan? Sesungguhnya yang kamu do’akan hanyalah untuk kemenangan mereka dan kekalahan kami." Bal'am menjawab, "Ini adalah suatu hal yang tidak saya kuasai, hal ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah." Maka ketika itu lidah Bal'am menjulur keluar sampai sebatas dadanya, lalu ia berkata kepada kaumnya, "Kini telah lenyaplah dariku dunia dan akhiratku, dan sekarang tiada jalan lain bagiku kecuali harus melancarkan tipu muslihat dan kilah yang jahat. Maka aku akan melancarkan tipu muslihat buat kepentingan kalian.
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut teks Ibnu Ishaq, dari Salim, dari Abun Nadr, lidah Bal'am terjulur sampai dadanya. Lalu dia diserupakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, yakni jikadihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah 'Bal'am menjadi seperti anjing dalam hal kesesatannya dan keberlangsungannya
di dalam kesesatan serta tidak adanya kemauan memanfaatkan doanya untuk keimanan. Perihalnya diumpamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya tanpa ada perubahan. Demikian pula keadaan Bal'am, dia tidak memanfaatkan pelajaran dan doanya buat keimanan; perihalnya sama dengan orang yang tidak memilikinya.

3.    KISAH KETIGA: KISAH PENDUDUK SEBUAH KOTA
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Yaasiin ayat: 13-29
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19) وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20) اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21) وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ (23) إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (24) إِنِّي آَمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ (25) قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ (26) بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ (27) وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِينَ (28) إِنْ كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (29) يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (30) أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ (31) وَإِنْ كُلٌّ لَمَّا جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ (32) وَآَيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ (33) وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ (34) لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ (35) سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ (36) وَآَيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ (37)
Artinya: Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, Yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka.
 (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, Maka ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus kepadamu".
Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami dan Allah yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka".
Mereka berkata: "Tuhan Kami mengetahui bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang yang diutus kepada kamu".
Dan kewajiban Kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas".
Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami".
Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".
Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain nya jika (Allah) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?
Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; Maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.
Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke syurga". ia berkata: "Alangkah baiknya Sekiranya kamumku mengetahui.
Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku Termasuk orang-orang yang dimuliakan".
Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah Dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.
Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; Maka tiba-tiba mereka semuanya mati.

Diceritakan menurut riwayat israiliyat, kota itu bernama Antokiyah yang dulunya merupakan bagian dari negeri Romawi dan dipimpin oleh seorang raja yang dzalim penyembah patung bernama Anthikus. Nabi Isa menginginkan agar penduduknya beriman kepada Allah. Beliau mengutus dua orang dari golongan Hawari yang akhirnya didustakan oleh penduduk itu. Setelah itu, diutus kembali Hawari yang ketiga.
Mereka berkata, “nabi Isa telah mengutus dua utusan ke Antokiyah kemudian keduanya bertemu dengan seorang kakek yang sedang menggembalakan domba-dombanya. Kakek ini bernama Habin an-Najjar. Keduanya mengajak si kakek untuk beriman kepada Allah dan menerangkan bahwa mukjijat keduanya adalah menyembuhkan penyakit. Diceritakan bahwa si kakek mempunyai anak yang sakit gila. Kemudian kedua utusan tadi mengusap anak itu dan ternyata sembuh maka berimanlah kakek itu.
Setelah kejadian itu, tersebarlah keahlian mereka berdua di seluruh kota. Keduanya banyak menyembuhkan berbagai penyakit. Ketika raja kafir penyembah berhala mendengar berita tentang keduanya, ia marah dan memenjarakan keduanya.
Setelah nabi Isa tahu apa yang terjadi pada dua utusan itu, beliau mengutus utusan yang ketiga yang bernama Syam’un. Karena dia  tahu apa yang terjadi pada kedua temannya maka dia mencari tipu muslihat supaya sampai pada raja hingga berhasil dan menyembunyikan keimanan serta agamanya. Kemudian, dia dapat hidup dengan raja dan menjadi teman dekatnya.
Pada suatu hari berkatalah dia kepada raja, “aku mendengar bahwa engkau telah memenjarakan dua orang yang mengajakmu beriman kepada Allah, bolehkan aku bertanya perihal keduanya? Raja berkata, “kemarahan telah menghalangi antara aku dan pertanyaan tentang keduanya.” Kemudian dia berkata, “bagaimana kalau merka kupanggil sekarang?” keduanya pun dipanggil. Kemudian Syam’un berkata, “apa yang menjadi bukti dari agama kalian berdua?” keduanya berkata, “kami menyembuhkan orang yang buta” kemudian mereka mendatangkan seorang laki-laki yang buta matanya, seakan-akan tak ada tempat bagi matanya karena menyatu dengan pelipisnya. Berdo’alah kedua utusan ini pada  Allah. Tidak lama kemudian terbukalah kedua mata anak itu dan bisa melihat.
Terkejutlah raja dengan apa yang baru dilihatnya. Ia berkata, “ada seorang anak yang telah tujuh hari mati dan belum dikubur karena menunggu kedatangan bapaknya. Apakah kalian berdua dapat menghidupkannya? Keduanya menjawab, “ya! Kemudian keduanya berdo’a kepada Allah secara terang-terangan sementara Syam’un berdo’a dengan cara sembunyi-sembunyi. Maka Allah menghidupkan mayat itu kemudian ia berdiri dan berkata pada manusia. Aku telah mati sejak tujuh hari yang lalu dalam keadaan musyrik maka aku dimasukkan ke dalam tujuh lembah neraka. Maka berhati-hatilah kalian dengan kemusyrikan kalian dan berimanlah kalian kepada Allah. Kemudian dibukalah pintu-pintu langit dan aku melihat seorang pemuda tampan memberi syafaat kepada ketiga orang ini yaitu Syam’un dan kedua temannya hingga Allah menghidupkanku dan aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Isa adalah Nabi Allah dan menyampaikan kalimat-Nya. Sesungguhnya mereka adalah utusan-utusan Allah.”
Mereka berkata, “Syam’un juga bersama mereka?” Dia berkata, “betul, bahkan dialah yang paling utama di antara mereka!” Maka Syam’un memberitahukan mereka bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Almasih untuk mengajak mereka beriman pada Allah. Maka raja itu beriman bersama sebagian besar kaumnya sementara sebagian yang lain tetap dalam kekafiran. Dalam versi lain dikatakan bahwa raja tidak beriman, bahkan dia bertambah kufur dan menentang kemudian menindas dan menyiksa mereka serta ingin membunuh dan menghukum mereka.
Kemudian datanglah dari ujung kota seorang laki-laki dengan bergesa-gesa. Dia itu adalah Habib bin Mari, yaitu Habib an-Najjar yang dulu dilewati oleh kedua utusan pertama, serta anaknya yang gila yang telah disembuhkan oleh merka. Kemudian dia berkata pada raja dan tentara-tentaranya, mengajak mereka beriman kepada Allah dan utusan-utusannya sambil mengumumkan keimanannya.
Maka marahlah raja padanya dan memerintahkan kepada tentaranya supaya mereka membunuh laki-laki itu. Kemudian mereka pun menangkap dan membunuhnya. Dikatakan bahwa mereka menginjak-injaknya sehingga keluarlah isi perutnya melalui dubur hingga mati. Dikatakan pula bahwa mereka merajamnya denganbatu. Sementara itu ia berkata, “Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Kemudian mereka membunuhnya dan membunuh tiga utusan itu. Diceritakan bahwa ketika ingin membunuh Habib an-Najjar, Allah mengangkatnya ke langit kemudian ke surga. Adapun penduduk kota itu, telah datang kepada mereka Jibril dengan jeritan suatu yang menghancurkan mereka semua.
Inilah perincian kisah menurut riwayat israiliyat. Tidak ada satupun yang dinukil dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, kisah ini merupakan perkataan penuh prasangka, kebohongan, dan dugaan saja. Sedangkan seluruh kisah orang-orang terdahulu itu harus ada hadits shahih dari Rasulullah saw.

4.      KISAH KEEMPAT: KISAH LUQMAN
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Luqman ayat: 12-19
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, ad-Durrul Mantsur, menceritakan bahwa luqman adalah adalah seorang hamba sahaya berkebangsaan Habsyi Najr. Ia bekerja sebagai tukang kayu, bertubuh kecil, berhidung mancung, pandai bersilat lidah, berkaki lebar, dan Allah memberikan hikmah kepadanya, tetapi bukan kenabian.
Ketika Allah swt menyodorkan pilihan kepada luqman antara hikmah dan kenabian, ia memilih hikamah daripada kenabian. Kemudian Jibril datang kepadanya ketika ia sedang tidur lalu menyerahkan kepadanya hikmah dan akhirnya ia dapat berkata-kata dengan hikmah itu. Sewaktu ia ditanya kenapa memilih hikmah daripada kenabian, padahal Tuhannya memberikan pilihan kepadanya, ia menjawab, “seandainya diberikan kepadaku kewajiban dan perintah untuk memikul tugas kenabian, pasti tidak ada sesuatu yang kuharapkan darinya melainkan kesuksesan dan aku pasti akan berusaha untuk dapat menunaikannya dengan baik. Akan tetapi, Allah memberikan kepadaku pilihan maka aku takut menjadi orang yang paling lemah dalam menunaikan kenabian itu, sehingga hikmah lebih kusenangi dari kenabian.
Adapun sikap kita terhadap riwayat di atas adalah tawaquf, menangguhkannya, tidak menceritakan dan menghubungkannya pada luqman, juga tidak mengakui hal tersebut benar-benar padanya karena semua itu tidak datang dari hadits-hadits yang benar shahih dari Rasulullah saw. Kita tidak menolak mentah-mentah cerita tersebut. Tetapi kita juga tidak membenarkannya, karena ada kemungkinan cerita itu memang benar-benar terjadi.
Inilah sikap yang paling tepat, tawaquf, tidak meniadakannya dan tidak menetapkannya, tidak mengakuinya, dan tidak menolaknya, terutama hal-hal yang tidak ada faedah keilmuannya dan tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat ataupun amalan yang diterima oleh Allah swt.

5.      KISAH KELIMA: KEBERHASILAN SYAITAN DALAM MENYESATKAN ANAK ADAM
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat: 27-32
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24) قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (25) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (26) وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آَدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27) لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ (28) إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ (29) فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (30) فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31) مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (32)
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

            Diceritakan ketika Allah menurunkan Adam dan Isterinya, Hawa, ke bumi, dianugrahkan kepada keduanya anak yang banyak. Pada setiap kehamil;an, hawa mengandung anak kembar laki-laki dan perempuan dan dilahirkan dari keduanya empat puluh anak, 20 laki-laki dan 20 perempuan.
            Adam dianugrahi anak setelah diturunkan ke bumi anak laki-laki dan perempuan dalam satu kelahiran, dinamakan yang laki-laki Qabil dan yang perempuan diberinama Iqlima. Lalu setelah dua tahun dia dianugrahi kembali anak laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki diberi nama Habil dan yang perempuan Labuda.
            Adam memerintahkan agar Qabil menikah dengan Labuda. Akan tetapi, Qabil menolak. Ia hanya mau menikah dengan saudarinya, Iqlima, karena parasnya lebih cantik daripada Labuda. Karena adanya perselisihan, Adam berkata kepada keduanya, “berkurbanlah! Siapa diantara kamu yang diterima kurbannya maka dialah yang berhak atas Iqlima”
            Qabil adalah seorang petani yang mempunyai sebidang sawah, sedangkan Habil adalah seorang gembala yang mempunyai hewan ternak. Habil memilih domba yang gemuk, yang terbaik diantara hewan ternaknya sedangkan Qabil memilih seikat padi yang bagus sebagai kurban. Lalu turunlah api memakan kurban Habil dan membiarkan kurban Qabil. Domba Habil hidup senang di surga sampai digantikan oleh ismail as. Qabil sangat marah karena Allah menolak kurbannya. Ia merasa iri serta dengki kepada saudaranya lalu berkata, “sungguh aku akan membunuhmu.” Habil berkata kepadanya, “mengapa?” Qabil berkata, “Karena Alllah menerima kurbanmu dan tidak menerima kurbanku, lalu kau menikahi saudariku yang cantik dan aku menikahi saudarimu yang jelek.”
            Lalu Qabil datang untuk membunuh Habil, tetapi habil menghindar darinya dan lari ke puncak gunung. Pada suatu hari, Qabil mendatanginya ketika ia sedang tidur, lalu diangkatnya batu beasar untuk membunuhnya, padahal ia tidak mengetahui bagaimana cara membunuhnya. Setanpun mencontohkan kepadanya dengan mengambil burung dihadapannya lalu ia letakkan kepalanya di atas batu kemudian ia pecahkan kepalanya dengan batu yang lain.
            Ketika Habil terbunuh, bumi berguncang selama tujuh hari. Makanan berubah rasa, buah-buahan menjadi masam, air menjadi pahit, tanahpun menjadi debu. Pada waktu itu Adam yang sedang berada di Mekkah merasa aneh atas apa yang terjadi. Ketika ia pergi ke India untuk mencari kabar berita, tahulah ia bahwa Qabil telah membunuh Habil.
             Qabil tidak tahu apa yang akan ia perbuat dengan mayat saudaranya, lalu Allah memanggilnya, “Qabil, di mana saudaramu Habil?” Qabil berkata, “saya tidak tahu. Saya bukan penjaganya.” Allah berkata kepadanya, “sesungguhnya darah saudaramu telah memanggilku dari dalam tanah, mengapa kau bunuh saudaramu?” Qbail pun menjawab, “maka dimanakah darahnya jika aku telah membunuhnya?” pada waktu itu, tanah telah meminum (menyerap darahnya, mka Allah mengharamkan kepada bumi pada hari itu untuk meminum darah setelah itu salamanya).
            Qabil tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap jasad saudaranya, maka ia memanggulnya, selam satu tahun penuh sampai mengeluarkan bau busuk. Hewan-hewan buas dan burung-burung pun menanti dimana ia akan membuangnya, agar mereka dapat memakannya. Lalu Allah mengutus dua burung gagak yang saling membunuh. Salah satunya berhasil membunuh yang lain. Kemudian gagak myang membunuh memnggali lubang di tanah dengan paruh dan kakinya kemudian ia letakkan mayat gagak yang telah mati di dalamnya, lalu ia timbun kembali. Qabil memperhatikannya, lalu bangkit dan menggali lubang untuk saudaranya lalu menguburnya.
            Setelah kematian Habil, Adam hidup dalam kesedihan dan tidak tertawa selama 100 tahun, lalu malaikat datang kepadanya dan berkata, “Allah memberikan kepadamu umur yang panjang dan mengangkat derajatmu serta menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak laki-laki, maka Adampun tersenyum.
            Sedangkan Qabil, dikatakan kepadanya, “Pergilah, “maka ia pun pergi dalam keadaan terusir dan ketakutan, lalu ia pegang tangan saudarinya, Iqlima, dan pergi dengannya ke Aden Yaman. Kemudian syetan mendatanginya dan berkata kepadanya, “sesungguhnya api memakan kurban saudaramu karena saudaramu karena dia menghambakan diri kepada api dan menyembahnya,” maka Qabil membangun rumah untuk api dan menyembahnya.
           Qabil mempunyai seorang anak yang buta. Suatu ketika, ia sedang bersama anaknya. Ia berkata kepadanya, “ini bapakmu, Qabil, lalu ia melemparinya dengan apa yang ada ditangannya dan membunuhnya.”
            Allah mengikat tangan Qabil, sampai kakinya dan menghadapkannya ke matahari, berputar sebagaimana berputarnya matahari, agar merasakan panasnya. Di musim panas, ia dipagari dan dimusim dingin, ia dipagari salju sampai hari kiamat.       Israiliyat dalam kisah ini sebagaimana yang dikatakan Sayyid Quthb bahwa, Al-Qur’an tidak menyebutkan waktu, tempat, maupun nama-nama kisah. Meskipun ada sebagian hadits yang mengemukakan tentang Qabil dan Habil bahwa mereka adalah anak Adam, dan perincian tentang masalah diantara mereka serta perselisihan di antara mereka, namun tidak memuat nama, waktu, dan tempat sepert yang disebutkan dalam kisah tersebut.

C.   DAFTAR PUSTAKA
Loues Ma’luf , al-Munjid fi al-A’lam, Bairut: Dar al-Masyriq, 1998
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, Kairo: Maktabah Wahbah, 1990
Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Ma’a Qashashis-Saabiqiina fil-Qur’a, Damaskus: Darul Qalam, 1996.
Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor, Kisah-Kisah Shahih dalam Al-Qur’an dan Sunnah diterjemahkan oleh: Tim Pustaka ELBA.
Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), Jilid. 3


[1] Israiliyat berasal dari bahasa Arab, yaitu " قصة ", bentuk jamaknya adalah " قصص " dengan qaf dibaca kasrah. Kisah dalam bahasa Arab adalah berita-berita yang diriwayatkan dan diceritakan. Al-Qur'an telah menamakan berita-berita umat terdahulu yang disampaikan kepada kita dengan sebutan kisah.  
Secara etimologi kata Israiliyat إسرائیلیات merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyah إسرائیلیة yang dinisbahkan pada Israil إسرائیل yang dalam bahasa Ibrani, kata Isra berarti hamba atau pilihan, dan berarti Allah. Israil ini tidak lain adalah julukan Nabi Ya’qub bin Ishaq, bapak dari keturunan-keturunan dari 12 anak. Kepadanya dinisbahkan pada Yahudi, lalu dikatakan Bani Israil.
Secara terminologis, Israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadis di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang dibawa oleh orang-orang Yahudi.
Menurut al-Dzahabi, secara terminologi Israilayat adalah kisah-kisah yang pada asalnya diriwayatkan orang Yahudi. Namun para ulama’ tafsir dan hadits menggunakanya juga lebih luas daripada kisah-kisah Yahudi. Maksudnya, setiap sesuatu yang masuk ke dalam tafsir dan hadits yang sumber periwayatannya kembali pada sumber orang Yahudi, Nasrani dan yang lain Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah, 1990), hal. 13. Lihat pula Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor, Kisah-Kisah Shahih dalam Al-Qur’an dan Sunnah diterjemahkan oleh: Tim Pustaka ELBA. Lihat pula Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), Jilid. 3, hal. 237. Bandingkan dengan Loues Ma’luf , al-Munjid fi al-A’lam (Bairut: Dar al-Masyriq, 1998), hal. 44. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, hal. 13.