Selasa, 06 Desember 2011

TAKLIF DAN MUKALLAF


Oleh: Nugroho Eko Atmanto, MSI

I.         PENDAHULUAN
Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai Mahkum ‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara dikarenakan  ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga  dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah) secara hukum.
Allah SWT. meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat. Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diinginkan. Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.

II.      PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TAKLIF DAN MUKALLAF
Sebelum membahas mengenai taklif, maka perlu diketahui bahwa pembahasan taklif adalah menyangkut hukum. Maka perlu diketahui pengertian hukum secara istilah agama menurut ulama ushul yaitu:

خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
Khitab (titah Allah) yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan.
“Khitab Allah” dalam definisi itu adalah kalam atau titah Allah yang melekat pada dirinya, bersifat lazali, atau tidak ada awalnya.
“Yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf” dalam definisi ini disebut fasal dengan fungsi mengeluarkan dari definisi hukum syara’ segala firman Allah yang tidak menyangkut tindak mukallaf seperti firman Allah tentang penciptaan alam dan tentang kebesaran serta rahmat Allah untuk hamba-Nya.
“Tuntutan” yang dimaksud dalam definisi di atas adalah kehendak Allah yang menyangkut orang mukallaf, baik kehendak untuk dilakukan oleh mukallaf yang dinamakan “suruhan”, maupun kehendak Allah untuk ditinggalkan yang dinamakan “larangan”
Sedangkan yang dimaksud “takhyir” adalah Allah memberikan kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sebenarnya untuk bentuk ini tidak tepat dimasukkan ke dalam kelompok kehendak Allah karena tidak ada yang dikehendaki Allah dari manusia baik untuk berbuat sesuatu atau menjauhi sesuatu.
Taklif secara bahasa berarti mengharuskan atau membebankan sesuatu yang memberatkan kehendak alami manusia, atau memerintahkan sesuatu dan mengharuskan. Sedangkan mukallaf adalah orang yang mendapat taklif. Istilah taklif dan mukallaf kemudian tampak menonjol dalam kajian ushul fiqh dan fiqh. Para ulama ushul membahas siapa yang menjadi obyek hukum (mahkum ‘alaih) atau siapa yang mendapat beban hukum. Mahkum alaih inilah yang mereka istilahkan sebagai mukallaf.
Pengertian mahkum alaih adalah sebagai berikut:

محكوم عليه هو الشخص التي تعلق خطا ب الله تعا لى بفعله ويسمى بالمكلف
Mahkum ‘alaih adalah seseorang/individu yang digantungkan khithab Allah atas perbuatannya. Disebut juga dengan mukallaf.
Taklif (beban) berasal dari Allah yang dibebankan kepada hamba-Nya dalam bentuk perbuatan. Adanya taklif adalah sebagai bentuk ujian dari Allah kepada mereka agar jelas siapa diantara hamba-Nya yang ta'at maka akan mendapat surga dan mana diantara hamba-Nya yang bermaksiat maka akan mendapatkan neraka. Allah berfirman dalam Q.S. Yunus ayat 14:
Kemudian kami jadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi setelah mereka supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.
Taklif atau beban ini terealisasikan dengan perbuatan manusia,maka perbuatan itu disebut dengan mahkum fihi, baik beban itu berupa hal yang wajib, haram, mustahab (sunah), makruh ataupun mubah. Sebagaimana perkataan para ulama: لا تكليف إلا بفعل "Tidak ada taklif (beban) kecuali dengan perbuatan".
Contoh dari hal ini adalah firman Allah :
يأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akadmu.
Kewajiban yang diambil dari khitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum wajib.

B.     DASAR PEMBEBANAN TAKLIF
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar timbulnya pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang yang sedang tidur, mabuk, dan lupa tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.:

رفع اللم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق
Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib).
Dalam hadits lain dikatakan:
رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, bersalah, dan dalam keadaan terpaksa” (H.R. Ibnu Majah dan al-Thabrani)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak sah taklif apabila, Pertama: Orang gila dan kanak-kanak karena golongan ini tidak berakal dan tidak mampu memahami sama sekali dalil taklif dan bagi kanak-kanak pula mereka tidak cukup umur dan juga tidak mampu memahami dan melaksanakan perintah dengan sempurna. Kedua: Orang tidur ketika tidurnya, orang lupa ketika lupanya, dan orang mabuk ketika mabuknya, karena mereka tidak mampu memahami dalil taklif dalam keadaan tersebut.
Berangkat dari hal itu maka mukallaf (orang yang dibebani hukum syar’i haruslah orang yang baligh (laki-laki ataupun wanita) dan berakal dengan matang (sempurna). Karena akal adalah sesuatu yang tersembunyi maka fuqoha menetapkan bahwa yang dimaksud dengan matang di sini adalah bila telah bermimpi.
Dalam hukum tertentu, orang yang tidak mukallaf memang tidak terkena taklif, terutama hukum yang bersifat pribadi. Misalnya salat dan puasa. Dalam hal ini anak kecil ataupun orang yang hilang akalnya tidak wajib melaksanakannya. Tetapi dalam hukum tertentu, keadaan orang yang tidak mukallaf tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum, terutama hukum yang berhubungan dengan orang lain. Contohnya, anak kecil yang mempunyai harta sampai satu nisab, maka ia wajib zakat meskipun pelaksanaannya diwakilkan kepada walinya.
Sedangkan mengenai hal orang gila dan anak-anak, dalam hal tertentu dikenai taklif dikarenakan terbukti sebagai manusia, kemanusiaan inilah yang memberi hak disamping tanggung jawab karena mereka mempunyai hak memiliki harta dan selama ada hak untuk memiliki harta maka ada pula beban atas kepemilikan tersebut.
Mahkum alaih berarti orang mukallaf (orang yamg layak dibebani hukum taklif), ada beberapa syarat seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklif (syarat taklif atas subjek  hukum), menurut Amir Syrifuddin (1997) adalah sebagai berikut :
1.      Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.  Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal; karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami.
Akal itu berkembang secara bertahap. Kesempurnaan akal itu tumbuh sejak kecil dan akan sampai batas kesempurnaannya pada masa tertentu. Pertumbuhan akal merupakan hal yang abstrak dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaannya. Sebagai tanda atau batas yang konkrit adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.
Pada dasarnya orang yang telah dewasa dan berakal akan mampu memahami titah Allah yang menyebabkan ia telah dapat memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Paham itu dapat dicapainya secara langsung dengan memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Quran atau Hadits Nabi yang berkaitan dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat maupun tersirat. Disamping itu ia pun dapat dianggap telah memahami taklif itu bila khitab Allah sudah disampaikan kepadanya dengan cara apapun. Dengan demikian umat Islam di seluruh muka bumi ini yang telah memenuhi persyaratan baligh dan brakal telah dianggap mengetahui hukum Allah. Karena itu kepadanya telah berlaku taklif.
2.      Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh disebut ahlun li al-taklif atau disebut ahliyah. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum (ahliyah al wujub)dan kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyah al ada’).

C.   AHLIYAH
Kemampuan (ahliyyah) ialah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya seseorang itu berupaya untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain dan mampu untuk mlaksanakannya. Ulama ushul fiqh membagi ahliyah ini menjadi dua macam, (Amir Syarifudin:1997) yaitu:
1.      Ahliyyat al-Wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar kelayakkannya ialah karena ia seorang manusia. Ahliyah al-Wujub dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a.       Ahliyah al wujub naqish atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya di antara dua kecakapan yang harus selalu ada padanya. Contoh kecakapan untuk menerima hak tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan. Bayi atau janin telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak berlaku setelah lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa karena ia belum bernama namusia. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
-          Hak keturunan ayahnya.
-          Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
-          Wasiat yang ditujukan kepadanya.
-          Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap untuk menerima hak adalah orang mati tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan kematiannya ia tidak menerima hak apa-apa lagi, karena hak hanyalah untuk manusia hidup. Tetapi ia dikenakan kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya selama masih hidup.
b.      Ahliyah al wujub kamilah  atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh ahliyah al wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak untuk menerima warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta lainnya yang pelaksanaannya bisa dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Demikian pula orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak menerima harta warisan, ia juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi nishab.
2.       Ahliyyat al-Ada’, yaitu kemampuan untuk menjalankan hukum atas dirinya dan hak untuk orang lain. Kemampuan ini tidak hanya kerana ia sebagai manusia, tetapi kerana ia mumayyiz.
Ahliyah al ada’ atau kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya dalam ucapan maupun perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dalam bentuk ucapan misalnya, ia melakukan akad atau transaksi, maka telah dianggap sah. Demikian pula bila ia melakukan tindakan pidana akan dikenai sanksi hukum atas pelanggaran yang dilakukannya.
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al ada’ terdiri dari tiga tingkat, dimana setiap tingkat dikaitkan kepada bats usia seorang manusia. Ketiga tingkat tersebut adalah :
a.       “adim al ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai tamyiz sekitar 7 tahun.
Dalam batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan dengan sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum dituntut untuk melakukan hukum. Ia tidak wajib mengerjakan salat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Disamping itu ucapan anak-anak dalam umur ini juga tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain tidak mempunyai akibat hukum dan tidak sah. Semua pelanggaran atau kejahatan tidak dapat dituntut.
b.      Ahliyah al ada’ naqishah, atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz sampai batas dewasa, karena dianggap akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini ucapan dan perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu:
-          Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, misalnya menerima pemberian dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
-          Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi haknya, misalnya pemberian yang dilakukannya dalam bentuk hibah, sadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Semua perkataan dan perbuatan dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal.
-          Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian, misalnya jualbeli, sewa-menyewa, upah mengupah. Tindakan dalam hal ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesalahannya tergantung kepada persetujuan yang diebrikan oleh walinya.
Perbuatan orang yang dalam batas usia ini (mumayiz) dalam hal ibadah adalah sah karena ia memiliki kecakapan dalam melakukannya, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa. Sedangkan tindak pidana kejahatan yang dilakukannya dituntut dan dikenai sanksi hukuman berupa ganti rugi dalam bentuk harta yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya. Tindak pidana kejahatan yang dilakukannya tidak dikenai hukuman badan (fisik). Tidak berlaku padanya qishash dalam pembunuhan, rajam pada perzinahan, atau potong tangan pada pencurian.
c.       Ahliyah al ada’ kamilah, atau cakap berbuat hukum secara sempurna yaitu untuk manusia yang telah mencapai dewasa (baligh). Usia dewasa ditandai dengan mimpi basah pada laki-laki dan haid pada wanita. Keahlian itu dianggap berhubungan dengan sifat dewasa karena dewasa itu adalah dugaan terdapatnya akal yang sempurna. Maka dari itu orang yang telah baligh baik karena lantaran usia atau karena tanda-tanda maka dia bias dianggap berakal dan ahli dalam melaksanakannya dengan keahlian yang sempurna, selama tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan atas cacat atau kurang akalnya. Dalam kondisi seperti ini, ia sudah sah dalam bertindak hukum, dapat dibebani hukum dan kewajiban, bertanggungjawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain, dan bertanggung jawab di hadapan Allah.

0 komentar:

Posting Komentar