Selasa, 06 Desember 2011

MADZHAB, TAQLID DAN TALFIQ


Faried Wadjie, M. Si, M. Hum
A.  Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim paling banyak di dunia. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang banyak dan persentase penduduk yang beragama Islam pun tinggi. Kondisi ini yang kemudian berpeluang terjadinya banyak pemahaman terhadap praktik keagamaan di Indonesia. Kelompok tertentu dipandang mampu untuk memahami hukum yang dibebankan kepadanya yang bersumber dari Alquran dan Hadits. Terlepas dari bagaimana mereka mendapatkan pemahaman itu, baik secara langsung mengkaji dua sumber itu atau melalui imam-imam madzhab tertentu yang sudah terakui keilmuannya. Namun di sisi lain ada sekelompok masyarakat yang tidak berpedoman terhadap dalil yang jelas ketika mengamalkan sesuatu. Mereka cukup mendengar dari orang yang mereka anggap mumpuni di bidang hukum (sebut saja Kiayi) mengenai hukum tertentu yang kemudian diamalkan tanpa memikirkan dari mana sang mufti (pemberi fatwa) tadi memperolehnya. Dan yang lebih ironis lagi adalah mereka yang jauh dari nilai-nilai agama dalam perilakunya walaupun notabene mereka Islam. Hal ini mungkin karena mereka buta akan Islam atau ada faktor lainnya.
Menanggapi hal itu dirasa perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan pentingnya menjalankan ajaran agama secara keseluruhan dan penuh dengan kesadaran. Semua itu dilakukan demi sebuah pengabdian dan rasa syukur manusia akan karunia tuhannya. Dan untuk mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang dibebankan kepadanya (mukallaf) manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu diharapkan mampu memahami perintah dan larangan yang harus dilaksanakan dan dijauhi serta termotivasi untuk memraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah letak urgensi thalab al-‘ilmi (menuntut ilmu) bagi seorang muslim demi mempertahankan eksistensinya sebagai orang yang taat beragama dan peduli terhadap dirinya. Karena mengetahui kewajiban hingga pada akhirnya ia wajib menjalankannya adalah kewajiban bagi setiap mukallaf.
Dalam praktiknya, taqlid buta (mengikuti pendapat seseorang tanpa usaha untuk mengetahui dalilnya) masih sangat berpotensi di Indonesia. Alasannya adalah, yang pertama, mengikuti fatwa dari mufti itu lebih mudah dan praktis dibanding harus menggali hukum secara lansung yang dirasa berat dan menyita banyak waktu. Sehingga mayoritas umat Islam di Indonesia memilih taqlid pada salah satu pendapat tertentu daripada harus berijtihad. Alasan yang kedua, kecakapan untuk mengistinbathkan hukum dari sumbernya itu merupakan sesuatu yang tidak mudah dan memang orang-orang tertentu saja yang sanggup melaksanakannya. Dan justru jika semua orang dipaksakan untuk berijtihad akan dikawatirkan hasil dari ijtihadnya jauh dari nilai kebenaran dan cenderung asal-asalan. Taqlid mungkin masih mempunyai nilai positif namun yang dikhawatirkan adalah mencampurkan beberapa pendapat ulama’ dalam suatu permasalahan yang berimplikasi ketidakabsahan amal itu menurut pandangan masing-masing ulama’. Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengadakan pembahasan seputar Madzhab, Taqlid dan Talfiq.

B.   Pembahasan
1.  Madzhab
Madzhab (dalam bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Istilah mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli yaitu Dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya: tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah dan sabiil, yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian mazhab menurut bahasa.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[1]
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.[2] Sedangkan dikalangan umat Islam sendiri, secara sederhana Madzhab dapat diartikanSejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.”
Dalam Agama Islam, sebenarnya terdapat banyak sekali Madzhab diantaranya : Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Syi’ah, Ja’fari, Ismailiyah, Zaidiyah, Khawarij[3] dan lain sebaginya, namun yang terkenal hanyalah empat Madzhab besar  yang sering disebut “Madzaahibul Arba’ah” yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Sekilas Tentang Empat Madzhab
a.  Madzhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan Urf.
Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
a.       Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
b.      Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
c.       Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
d.      Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.
Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan) Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
b.  Madzhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok(dasar) yaitu:
·         Nashshul Kitab
·         Dzaahirul Kitab (umum)
·         Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
·         Mafhum muwafaqah
·         Tanbihul Kitab, terhadap illat
·         Nash-nash Sunnah
·         Dzahirus Sunnah
·         Dalilus Sunnah
·         Mafhum Sunnah
·         Tanbihus Sunnah
·         Ijma’
·         Qiyas
·         Amalu Ahlil Madinah
·         Qaul Shahabi
·         Istihsan
·         Muraa’atul Khilaaf
·         Saddud Dzaraa’i.

Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1.      Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
2.      Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
3.      Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
4.      Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
5.      Asbagh bin Farj al-Umawi.
6.      Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
7.      Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1.      Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2.      Isa bin Dinar al-Andalusi.
3.      Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4.      Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5.      Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6.      Asad bin Furat.
7.      Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1.      Abdul Walid al-Baji
2.      Abdul Hasan Al-Lakhami
3.      Ibnu Rusyd Al-Kabir
4.      Ibnu Rusyd Al-Hafiz
5.      Ibnu ‘Arabi
6.      Ibnul Qasim bin Jizzi

Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait. Madzhab Maliki diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.

c.  Madzhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.

Dasar-dasar Mazhab Syafi’i
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum sysra’ adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah Mutawatirah.
3.      Al-Ijma’.
4.      Khabar Ahad.
5.      Al-Qiyas.
6.      Al-Istishab.
Sahabat-sahabat beliau yang berasal dari Irak antara lain:
1.      Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman al-Kalabi al-Bagdadi.
2.      Ahmad bin Hanbal yang menjadi Imam Mazhab keeempat.
3.      Hasan bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani al-Bagdadi.
4.      Abu Ali Al-Husain bin Ali Al-Karabisi.
5.      Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz al-Bagdadi.
Adapun sahabat beliau dari Mesir:
1.      Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Misri.
2.      Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani al-Misri.
3.      Rabi’ bin Abdul Jabbar al-Muradi.
4.      Harmalah bin Tahya bin Abdullah Attayibi
5.      Yunus bin Abdul A’la Asshodafi al-Misri.
6.      Abu Bakar Muhammad bin Ahmad.

Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia, Turki, Syria, Iran, Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia Somalia, Yaman, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.

d.  Madzhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
1.      Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
2.      Fatwa sebagian Sahabat.
3.      Pendapat sebagian Sahabat.
4.      Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5.      Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.

Pengembang-pengembang Mazhabnya
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.      Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2.      Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
3.      Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, di antaranya:
1.      Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2.      Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3.      Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4.      Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.

Daerah yang Menganut Mazhab Hambali.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak. [4]

2.  Taqlid
Taqlid dari segi bahasa berasal dari kata qiladah [kalung/ tali Kekang][5]
وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة
“Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang.”
Atau juga  yaitu yuqallidu ghairahu biha (mengikuti pendapat orang lain).
Dan dari segi istilah “اتباع من ليس قوله حجة berarti mengikuti pendapat orang lain (qail) dan tidak mengetahui hujjahnya atau dalilnya (Hakim, tanpa tahun). Atau dengan pengertian lain taqlid berarti mengambil pendapat orang lain untuk diamalkan tanpa mengetahui dalilnya.[6] Misalnya mengambil pendapat Imam Syafi’i yaitu menyapu sebagian kepala dalam berwudhu tanpa mengetahui dalil pendukungnya itu. Mengikuti pendapat Abu Hanifah yaitu tidak membaca al-Fatihah bagi makmum ketika sholat, tanpa mengetaui dalil yang mendasari pendapat itu (Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
taqlid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama menetapkan bahwa orang yang melakukan taqlid tidak dinamakan orang yang berilmu (‘alim).[7] Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini dalam kitab Jami’ Bayan Al Ilmi (2/37 dan 117), Ibnu Qoyim dalam kitab A’laamul Muwaqqi’in (3/293) dan Suyuthi maupun para peneliti yang lain.
Definisi Taqlid hampir mirip dengan ittiba yaitu sama-sama mengikuti pendapat, perbedaannya adalah ittiba’ (mengikuti) Nabi sholallohu alaihi wa sallam, mengikuti ahlul ijma’, dan mengikuti shahabat jika kita katakan bahwa perkataan shahabat tersebut adalah hujjah, maka mengikuti salah satu dari hal tersebut tidaklah dinamakan taqlid, karena hal ini merupakan ittiba’ kepada hujjah. Akan tetapi terkadang disebut sebagai taqlid dari sisi majaz dan perluasan bahasa.
Ittiba kepada Nabi Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya.
Menurut Asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin rahimahullahu ta’ala, Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
1.    seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal) dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Alloh ta’ala :
 فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
 “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro’(kehati-hatian)nya, jika hal ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.
2.    terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).
Maka jika ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya) kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” [QS. at-Taghobun : 16]
Jenis-jenis taqlid :
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya.
Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharaman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘alim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Allah terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
            Problematikta Taqlid
Dikalangan Para Ulama, terjadi perselisihan tentang taqlid, dalam hal ini terdapat tiga kelompok ada sebagian yang membolehkan taqlid namun ada juga yang menganggap taqlid itu haram,, dan sebagian lagi disesuaikan dengan kapasitasnya.
Golongan yang membolehkan taqlid maupun ittiba’, dan mengharamkan ijtihad diantaranya Syaikh ash-Shawi al-Maliki,
Adapun Taqlid yang dibolehkan adalah  taqlid seorang muslim terhadap orang yang lebih berilmu darinya pada saat tidak ditemukan nash baik dari Allah maupun RasulNya ataupun disaat seseorang tidak mampu memahami keduanya. Karena dalam kondisi seperti ini seseorang berada dalam situasi darurat, sementara kondisi darurat menghalalkan perkara yang terlarang, Kalau bukan karena hal itu, maka agama akan menjadi hawa nafsu yang diperturutkan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar tentang kebolehan seorang awam bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya :"Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang ‘alim pun terpaksa harus taqlid dalam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dia mendapatkan ucapan orang yang lebih ‘alim dari dirinya. Maka keadaan itu dia pun terpaksa taqlid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam beberapa permasalahan."
Oleh karena itu sebagian ulama menyebutkan : Sesungguhnya taqlid itu hanya diperkenankan bagi orang yang berada dalam kondisi darurat. Adapun orang yang sengaja meninggalkan dalil yang bersumber dari al Qur’an, Hadits, serta perkataan para sahabat sementara ia mampu untuk menggali hal hal tersebut dari pada melaukan taqlid, maka ia sama dengan orang yang memakan bangkai pada saat ia masih mampu untuk mendapatkan daging hewan yang disembelih secara syar’i. Sebab kaidah dasar dalam masalah ini adalah pendapat seseorang tidak boleh diterima tanpa dalil kecuali dalam kondisi darurat.” (lihat kitab I’laamul Muwaqqi’in).
Golongan yang mengharamkan Taqlid berpendapat dari definisinya bahwa taqlid bukanlah merupakan ilmu sedangkan Agama Islam diasaskan di atas keyakinan. Dan keyakinan mestilah berasaskan ilmu. Keyakinan yang terbina bukan atas dasar ilmu bisa membawa kepada kepalsuan dan kesesatan. Dan ilmu yang meyakinkan tanpa diragukan sedikitpun, lebih-lebih lagi jika menyangkut prihal akidah dan cara kita ibadah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. Hanya Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) manusia yang mempunyai otoritas bagi umat akhir zaman ini untuk menentukan bagaimana cara kita bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Jika seseorang meyakini bahwa ada hidayah (petunjuk) yang lain dan lebih baik daripada hidayah Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) maka rusaklah akidah orang tersebut. Bukan saja akidahnya rusak, bahkan amalannya juga akan ditolak dan tidak diterima oleh Allah.
Yang menjadi permasalahan dalam Taqlid adalah pengkultusan orang-orang yang bertaqlid kepada ulama mazhab atau kyainya secara berlebihan sehingga apapun yang pendapat ulama tersebut dianggap benar tanpa mengetahui sumber hukumnya, Kecenderungan yang keliru ini telah menguasai hati kebanyakan para pelaku taqlid terutama pada akhir akhir ini, dimana telah menjadi suatu hal yang lumrah sikap mereka yang menolak hadits hadits-hadits shahih karena bersikukuh dengan madzhab. Jika dikatakan kepada salah seorang dari mereka “ Permasalahan yang anda sebutkan ini menyelisishi sunnah”, maka dengan sigap ia akan mengatakan “ apakah anda lebih tahu tentang Sunnah daripada ulama madzhab ?? Tidak boleh mengamalkan suatu hadits selain seorang mujtahid” itulah jawaban yang mereka berikan, tak ada perbedaan tentang hal ini antara orang awam dengan ulama mereka.
Di saat mereka memberi kepadamu jawaban yang tidak mungkin diucapkan oleh seorang yang mengetahui kedudukan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka tidak tahu atau pura pura tidak tahu bahwa hadits yang tidak diamalkan oleh madzhabnya itu telah diterima oleh madzhab lain atau imam lain yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan madzhabnya ataupun imamnya. Maka orang yang mengamalkan hadits itu hakekatnya telah mengamalkan hadits yang dimaksud sekaligus mengikuti madzhab yang menerima hadits itu sementara orang yang menyelisihinya hanyalah mengamalkan apa yang ada dalam madzhab semata.
Jika dikatakan, bahwa ketetapan hukum dalam madzhab pasti memiliki dalil, hanya saja dalil itu tidak kita ketahui. Maka Albani mengatakan:
Jika persoalan seperti yang dikatakan, maka apa dasar yang membolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan dalil yang telah diketahuinya berupa Hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu memilih mengamalkan dalil yang belum ia ketahui. Seandainya pada akhirnya kita mengetahui dalilnya, tapi hanya berupa qiyas, atau didasarkan pada keumuman nash maupun keuniversalan syariat, tetap saja tidak bisa mengungguli hadits, sebab tidak ada ijtihad bila ada nash, dan bila telah ada atsar (hadits) tidak berlaku lagi semua analogi.”[8]
Taqlid seperti ini, yakni menolak suatu hadits hanya untuk memenangkan madzhab atau yang sepertinya, adalah taqlid yang diharamkan oleh para da’i penyeru Sunnah. Dalam Hadits Nabi :
..مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ..
“Barangsiapa yang melakukan amalan tidak sebagaimana yang kami perintahkan maka (amalan itu) tertolak (mardud). (HR Imam Muslim)
Golongan yang ketiga yaitu melihat kapasitas manusia sebagai landasan pandangannya: menurut imam Hasan al-Banna bagi yang telah memiliki kompetensi untuk ber-ijtihad, maka ijtihad disyari’atkan baginya; bagi yang belum mampu ber-ijtihad, maka taqlid maupun ittiba’ disyariatkan bagi mereka.
Pendapat 4 Imam Madzhab Mengenai Taklid
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika pendapatku menyalahi (bertentangan) dengan kitab Allah dan Hadits maka tinggalkanlah pendapatku.”
"Apabila hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku" (Perkataan beliau ini dapat dilihat pada kitab Al-Hasyiyah karya Ibnu Abidin Juz 1/63, juga dalam risalah Rasmul Mufti Juz 1/4.)
"Tidaklah dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataanku, selagi ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya." (Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-intiqa’u fi Fadha-ilist Tsalatsatil ‘A-immatil Fuqaha’i p.145, dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/309 dan Ibnu Abidin dalam Al-Hasyiyah).
Dalam riwayat lain dikatakan : "Adalah haram bagi orang yang tidak megetahui alasanku untuk berfatwa dengan perkataanku.". Atau riwayat lain lagi : "Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari."
Beliau berkata kepada Abu Yusuf : "Kasihan engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf) jangan engkau tulis setiap apa yang dari padaku. Karena kadangkala aku memang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini, dan kadang kala aku berpendapat lain pada esok lusa, bahkan aku meninggalkannya pada esok lusa." (Al-Mizan 1/6. Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sering menetapkan sesuatu hukum dengan qiyas kepada suatu ketentuan yang belum ditemukannya pada Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Para pengikut hanafi penghafal hadits yang sering melakukan perjalan jauh dari negeri-negeri dan pelabuhan-pelabuhan setelah berhasil mendapatkan hadits, niscaya Imam Hanafi mengambilnya dari mereka dan membuang qiyas yang pernah ia fatwakan.)
"Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah atau khabar Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku." (Al-Fulani dalam Al-Iqazh p.50 yang diasalkan oleh Imam Muhammad ).
 Imam Malik berkata, “Semua kita menolak dan ditolak pendapatnya kecuali pemilik kuburan ini yaitu Nabi Muhammad SAW.”
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap perkataanku yang menyimpang dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah." (Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/32, dan Ibnu Hizam dalam Ushulul Ahkam, 6/149 dan demikian pula Al-Fulani, p.72)
"Tidak ada seorang pun setelah Nabi saw kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi saw."( Ibnul Hadi dalam Irsyadus Salik, 227/1, Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/91, dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam, 6/145 dan 179 dari perkataan Al-Hakam bin Uthaibah dan Mujahid. Taqiyuddin mengeluarkan dalam Al-Fatawa 1/48)
Sejalan dengan pernyataan ini Imam asy-Syafi’i pun berkata, “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa mengetahui hujjahnya bagaikan pencari kayu bakar di malam hari dengan membawa seikat kayu dan ada seekor ular yang mematuknya sedangkan ia tidak mengetahuinya.” tuturnya.
Setiap pendapatku yang menyalahi hadits Nabi saw. maka hadits Nabi saw itulah yang wajib diikuti, dan janganlah kalian taqlid kepadaku." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Atsakir 15/10/1)
"Apabila kalian dapati di dalam kitabku, pendapat-pendapat menyalahi Sunnah Rasulullah saw., peganglah Sunnnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku." Dalam riwayat lain beliau berkata : "Ikutilah Sunnah Rasulullah saw. dan janganlah kalian menoleh kepada pendapat siapapun". (Riwayat al-Harawi, Abu Nu’aim fil Hilyah / lihat Shifat Shalat Nabi hal.28 Lil-Albani)
"Setiap masalah yang sudah shahih haditsnya dari Rasulullah menurut para ulama hadits, tetapi pendapatku menyalahi hadits yang shahih, maka aku ruju’ dari pendapatku dan aku ikut hadits Nabi saw yang shahih baik ketika aku masih hidup maupun sesudah wafatku." (Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/363).
"Kaum muslimin sudah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal meninggalkannya karena taqlid kepada pendapat seseorang." (Ibnul Qayyim 2/361 dan Al-Fulani p.68)
"Apabila hadits itu shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Asy-sya’rani, 10/57, Al-Fulani, p.100)
Begitu juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, “Janganlah kalian ikuti pendapatku, Malik, Tsaury dan Auza’y tapi ambillah dari sumber (mana) mereka mengambil.” (Hakim, tanpa tahun).
"Janganlah kalian taqlid padaku dan jangan pula kalian taqlid kepada Imam Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Ibnul Fulani, 113, dan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-I’lam 2/302).
"Pendapat Auza’i, pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/149).
"Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah maka sungguh ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzy p.182).
Dari pernyataan 4 Imam madzhab di atas bahwa sebenarnya mereka pun menginginkan umat ini untuk meneliti pendapat yang mereka fatwakan dan berusaha menelusuri dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka. Artinya tidak serta merta menerima pendapat mereka tanpa usaha untuk mengkritisi pendapat itu. Di sini letak kelemahan umat islam yang terkadang fanatik pada salah satu madzhab tanpa dibarengi dengan usaha untuk meneliti pendapat madzhabnya. Walaupan dari segi keilmuan dan kemampuan mengistinbatkan hukum mereka jauh lebih layak dibanding manusia pada umumnya. Akan lebih baik dan bijak jika kita tetap melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang muncul dengan tidak menafikan pendapat (ijtihad) mereka.[9]

            Firman Allah dalam Al-qur’an tentang Taqlid
Q.S. Al-maidah 104-105 :
104. apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.
105. Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
            Q.S Al-Isra : 36
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
            Q.S. Al-Anbiya : 52-54
52. (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
53. mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya".
54. Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata".
Q.S. Azukhruf : 43-44
22. bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".
23. dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".
24. (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) Sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya."
Ibnul Qoyyim menyebutkan 3 pendapat tentang boleh atau tidaknya fatwa dengan taqlid:
·         Yang pertama: tidak boleh berfatwa dengan taqlid karena taqlid bukanlah ilmu, dan berfatwa tanpa ilmu adalah haram. Ini merupakan pendapat kebanyakan al-Ash`haab (yakni ‘ulama Hanabilah) dan kebanyakan (jumhur) Syafi’iyyah. 
·         Yang kedua : bahwa hal tersebut boleh dalam masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dan seseorang tidak boleh taqlid dalam masalah yang ia berfatwa dengannya kepada orang lain.
·         Yang ketiga : bahwa hal tersebut boleh ketika ada hajat (keperluan) dan tidak adanya seorang ‘aalim mujtahid, pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar dan pendapat ini dilakukan.

3.  Talfiq
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.[10]
Talfiq adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berbagai madzhab. Ulama’ Ushul Fiqh mendefinisikan Talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tata cara yang sama sekali tidak dikemukakan oleh mujtahid manapun (Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
Dalam masalah ini disyaratkan dua hal yaitu mengikuti pendapat dengan cara taklid dan adanya penggabungan beberapa pendapat dalam satu permasalahan. Dan terkait dengan permaslahan talfiq ini, ulama fiqh juga membahas persoalan mengambil amalan atau pendapat dari berbagai madzhab yang paling mudah dan ringan. Dalam istilah seperti ini disebut dengan tabarru’ur rukhash.
Talfiq menurut Fuqahaa dan Ushuluyin maknanya: menghimpunkan beberapa pendapat daripada mazhab-mazhab yang berbeda tentang sesuatu ibadah dan mengamalkannya bersama-sama.
Talfiq ada dua jenis:
1. Talfiq yang tercela
2. Talfiq yang terpuji.

(1)   Talfiq yang tercela yaitu jika kita hanya mengikuti pandangan seseorang atau suatu mazhab hanya berasaskan taqlid secara membuta tuli tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Dan Talfiq jenis ini adalah dilarang dalam Islam dan bercanggah dengan wasiat imam-imam mazhab di atas.
(2)   Talfiq yang terpuji jika kita mengikuti pandangan seseorang atau suatu mazhab dengan berasaskan dalil dan hujjah-hujjah tertentu. Talfiq jenis ini diperbolehkan karena kita memang disuruh supaya mengikuti mana pandangan yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan perkataan (Al-Quran dan Al-Hadis) lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Az-Zumar :17-18)

Beberapa Alasan dibolehkannya Talfiq.
Sebagai contoh, seseorang bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Asy-Syafi''i dalam mengusap sebagian kepala ketika wudhu, kemudian ia bertaqlid juga kepada Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya menyentuh wanita jika tidak bersyahwat. Kemudian ia shalat dengan wudlu tersebut. Bagaimana hukumnya?
Dalam hal ini umumnya para ulama sepakat membolehkan, karena alasan yang tidak mungkin ditolak. Apalagi di zaman sekarang ini.
Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam Al-Quran atau pun As-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. (dalam hal ini tentu saja taqlid yang didasari ilmu, bukan taqlid buta).
Di kalangan para shahabat nabi SAW terdapat para sahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak sahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
 Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan.
Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
Alasan Ketiga
Alasan ini semakin menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh dilakukan. Karena yang membolehkannya justru nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung. Maka kalau nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan?
Nabi SAW lewat Aisyah disebutkan:
Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. (Fathu al-Bari, X, 524).
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar''i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi SAW selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.
Alasan Keempat
Melakukan talfiq adalah hal yang termudah saat ini, ketimbang harus selalu berpegang kepada satu mazhab saja. Mengingat hari ini tidak ada guru atau ustadz yang mengajar fiqih di bawah satu mazhab saja dalam segala sesuatunya.
Kitab-kitab fiqih syafi''i di Indonesia memang banyak beredar, namun dari semua kitab itu, nyaris tidak ada satu pun yang menjawab semua masalah lewat pendapat Asy-Syafi'i. Ada begitu banyak masalah yang tidak dibahas di dalam kitab-kitak kuning itu dan tetap butuh jawaban.
Maka para kiayi sepuh yang biasanya selalu merujuk kepada kitab mazhab Syafi'i, terpaksa harus membuka kitab lainnya. Dan saat itu, beliau telah melakukan talfiq.
Bahkan hasil-hasil sidang Lajnah Bahtsul Matsail di kalangan Nahdlatul Ulama pun, yang konon sangat syafi'i, tidak lepas dari merujuk kepada kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i. Silahkan baca buku Solusi Problema Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999) halaman xliv.
Oleh karena itu maka sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa kita diperintahkan untuk memilih sesuatu yang termudah, maka saat ini yang lebih mudah justru melakukan talfiq.
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. (Fathu al-Bari, I, 93)
Para imam Fiqih yang empat mendukung talfiq. ‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. (Fatawa Syaikh ‘Alaisy, I, 78)
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II, 1181)

C.   Tambahan (Fatwa Syaikh Mahmud Syaltut tentang Taqlid dan Talfiq)[11]
1) Agama islam tidak memerintahkan umatnya untuk mengikuti mazhab tertentu. Setiap muslim boleh mengikuti mazhab apapun yang benar riwayatnya dan mempunyai kitab fikih khusus. Setiap muslim yang mengikuti mazhab tertentu dapat merujuk ke mazhab lain (mazhab apapun).dan tidak ada masalah.
2) Mazhab Ja’fari yang dikenal sebagai mazhab Syi’ah Dua Belas Imam adalah mazhab yang secara syariat boleh diikuti seperti mazhab-mazhab Ahli Sunah lainnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat islam memahami hal ini dan meninggalkan fanatisme buta terhadap mazhabnya, karena agama dan syariat Allah tidak mengikuti mazhab tertentu dan tidak pula terpaku pada mazhab tertentu, akan tetapi semua pemimpin mazhab adalah mujtahid dan ijtihad mereka sah di mata Allah Swt. Setiap muslim yang bukan mujtahid dapat merujuk kepada mazhab yang mereka pilih. Ia boleh mengikuti hukum-hukum fikih dari mazhab yang dipilih itu dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah.

D.  Penutup
Islam agama yakin dan ilmu dan hujjah, bukan agama sangkaan atau warisan neneka moyang atau taqlid buta. Keyakinan yang tidak dibina di atas hujjah adalah keyakinan palsu.
Kita wajib hormati pandangan para Imam Mazhab. Ijtihad mereka akan mendapat ganjaran Allah walaupun salah. Hanya saja kita dilarang mematuhi pandangan mereka jika nyata-nyata berlawanan dengan ketetapan Allah dan RasulNya.
Talfiq (mengamalkan pandangan beberapa mazhab) diperbolehkan sekiranya berdasarkan dalil yang kokoh. Sedangkan Talfiq hanya atas dasar taqlid adalah dilarang dan tercela.
  
E.     Daftar Pustaka
1.      Hadits Muslim
2.      Putusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1999)
3.      Fathul Bari,X
4.      Www. Ustsarwat.com
5.      Ensiklopedi Hukum Islam, 2001
7.      An-Nawawi, Al-Majmu Asy-Sya’rani,10/57
8.      Ibnul Qayyim Aj Jauzy, I’lamul Muwaqqi’in,2/263
9.      Ibnul Hizam, Ushulul Ahkam,6
10.  Maqalaat Al Albani, edisi indonesia Risalah Ilmiah Albani , hal 43-45 , penerjemah Abu Musyrifah dan Ummu Afifah, Penerbit Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan pertama April 2002
11.  Imam Asy-Syatibi, Al- Muwafaqaat.
12.  Kamus Al-Munawwir
14.  www. Wikipedia.com
15.  Wahbah Zuhaili, Ushul al-fiqh al-islamiy,II
16.  www.MediaMuslim.info. Sumber rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar


[1]  www.MediaMuslim.info. Sumber rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar
[2] Ibid
[3] Lihat Wikipedia.com
[5]  Kamus (Munawwir, 1997)
[6] Pendapat Sheikh Shaamee Hanafi
[7] Lihat Al Muwafaqat oleh Imam Syatibi (4/293).
[8] disalin dari Maqalaat Al Albani, edisi indonesia Risalah Ilmiah Albani , hal 43-45 , penerjemah Abu Musyrifah dan Ummu Afifah, Penerbit Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan pertama April 2002
[9] http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/14/seputar-taqlid-dan-talfiq/

[10] http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1180348272

[11] Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Univ Al-Azhar 1958 juga seorang tokoh besar dan pendiri “Dar Al-Taqrib bayna Al-Madzahib Al-Islamiyah” Mesir. Lembaga ini adalah sebuah institusi yang berusaha mewujudkan pendekatan dan persaudaraan serta menghilangkan perpecahan dan perselisihan yang ada antara Ahli Sunah dan Syi’ah. Yayasan ini juga memiliki misi memperkuat hubungan antara mazhab-mazhab islam; sebuah pusat pergerakan yang pada akhirnya menjadi dasar pikiran berdirinya “Majma-e Jahoni-e Taghrib-e Mazaheb-e Islami” (Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam) di Iran.

1 komentar: