Selasa, 06 Desember 2011

FENOMENA HISAB DAN RUKYAT



Oleh: Ila Nurmila, MSI


I.          PENDAHULUAN
Persoalan hisab dan rukyat telah menyita energi umat Islam demikian besarnya, sehingga ukhuwah kadang terganggu justru pada saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Sekian lama kita terpaku dan terbelenggu pada masalah, bukan pada solusi. Seolah persoalannya hanya sekedar perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi)  dan rukyat (pengamatan hilal) yang mustahil untuk dipersatukan, sama mustahilnya untuk menyatukan madzhab yang berbeda-beda. Perdebatan dalil-dalil  yang dianggap paling kuat antara pendukung hisab dan rukyat telah berlangsung ratusan tahun, namun hasilnya makin memperdalam jurang pemisah.
Makalah ini akan mencoba membahas dua masalah tersebut di atas, untuk lebih memfokuskan pada pembahasan, maka masalah yang akan dibahas adalah:
1.    Konsep hisab dan rukyat
2.    Sejarah hisab dan rukyat
3.    Kelebihan dan kekurangan antara hisab dan rukyat
4.    Konsepsi titik temu hisab rukyat di Indonesia

II.         PEMBAHASAN
II.1.  KONSEP HISAB
II.1.1. Pengertian
Hisab[1] menurut bahasa berarti hitungan, perhitungan,[2] arithmetic (ilmu hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran).[3]
Sementara menurut istilah, hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu.[4]

II.1.2. Dasar Hukum
Dasar digunakannya hisab sebagai metode dalam penentuan awal bulan kamariyah adalah Q.S. al-Baqarah,2:185 dan 189, Q.S. Yunus, 17:5, Q.S. al-Isra, 10:2, Q.S. An-Nahl, 16:16, Q.S. at-Taubat, 9:36, Q.S. al-Hijr, 15:16, Q.S. al-Anbiya, 21:33, Q.S. al-An’am, 6:96 dan 97, Q.S. ar-Rahman, 55:5, Q.S. Yasin, 36:39 dan 40. Adapun dalam hadits adalah:

لاتصوموا حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له.
Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas kalian maka takdirkanlah. (HR. Muslim dari Ibnu Umar)[5]

وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال: (سمعت رسول الله ص.م. يقول: اذا رايتموه فصوموا واذا رايتموه فافطروا, فان غم عليكم فاقدروا له). (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah Saw. bersabda: Bila kamu telah melihat tanggal satu bulan Ramadhan, maka puasalah, dan bila kamu melihat tanggal satu Syawal, maka berhari rayalah. Tetapi bila terlihat mendung, maka perkirakanlah (sesuai dengan hari perhitunggan). (Hadits disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).[6]


ولمسلم: (فان اغمى عليكم فاقدروا له ثلاثين) وللبخارى: (فاكملوا العدة ثلاثين)
          Pada riwayat Imam Muslim disebutkan: Maka jika mendung terhadapmu, perkirakanlah sampai hari ke 30. Pada Imam Bukhari: Maka sempurnakanlah sampai hitungan 30 hari.[7]

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Berpuasalah kamu semua karena terlihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kamu semua karena terlihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).[8]

أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل على رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في اخره الشهر فسألني عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيت فقلت نعم وراه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه فقال لا هكدا أمرنا رسول الله ص.م.
Bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus Kuraib menghadap Muawiyah di Syam, lalu Kurib berkata: Setelah saya sampai Syam, saya selesaikan urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal Ramadhan ketika saya di Syam. Saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan). Lalu Abdullah bin Abbas memanggilku lalu membicarakan hilal. Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat hilal?. Saya menjawab: Kami melihatnya pada malam Jum’at. Kamu melihatnya?, Aku menjawab: Ya, dan banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa, Muawiyah juga berpuasa. Abdullah bin Abbas berkata: Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, kita senantiasa (mulai) berpuasa hingga menyempurnakan (Sya’ban) 30 hari atau melihat hilal. Kemudian saya (Kuraib) berkata: Tidak cukupkah dengan rukyat mereka dan puasanya Muawiyah?. Jawab Abdullah: Tidak, demikian inilah perintah Rasul. (HR. Muslim dari Kuraib).[9]


وعن ابن عباس رضيى الله عنهما: (ان اعرابيا جاء الى النبي ص.م.  فقال: انى رايت الهلال, فقال: اتشهد ان لا اله الا الله؟ قال نعم, قال: اتشهد ان محمدا رسول الله؟ قال نعم, قال: فاذن فى الناس يا بلال ان يصوموا غدا) رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة وابن حبان, ورجح النسائى ارساله.
Dari Ibnu Abbas, r.a.,: Bahwasannya seorang A’rabi datang menghadap Rasulallah Saw. dan berkata: aku telah melihat tanggal satu Ramadhan. Maka Rasulallah Saw. bertanya: Apakah kamu bersaksi (dengan sepenuh hati) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?, Jawab orang itu: Ya. Lalu beliau bertanya lagi: Apakah kamu juga bersaksi (dengan sepenuh hati), bahwa Muhammad itu Rasul Allah?, Jawab orang tadi: Ya. Kemudian beliau bersabda: Hai Bilal, umumkan kepada orang-orang supaya mereka berpuasa besok pagi. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Lima). Imam Ibnu Hibban dan Imam Nasa’i merajihkan kerisalahannya.[10]

لاتقدموا الشهر حتى تروا الهلال قبله أو تكملوا العدة ثم صوموا حتى تراه الهلال أو تكملوا العدة قبله
Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal sebelumnya atau menyempurnakan bilangan (Sya’ban), kemudian berpuasalah kalian setelah melihat hilal atau menyempurnakan bilangan (bulan) sebelumnya. (HR. Ibn Majah dan Huzdaifah bin al-Yamani).[11]

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حال بينكم وبينه سحاب فأكملوا العدة ولا تستقبلوا الشهر استقبالا.
Berpuasalah kalian karena terlihatnya hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian karena terlihatnya hilal (Syawal). Jika awan menghalangi antara kalian dan hilal mereka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban). Sekali-kali janganlah mendahului bulan Ramadhan. (HR. Ibn Majah dari Ibn Abbas).

كان رسول الله ص.م. يتحفظ من شعبان مالا يتحفظ من غيره ثم يصوم لرؤيتة رمضان فإن غم عليه عد ثلاثين يوما ثم صام.
Rasulallah Saw. sangat berhati-hati tentang bulan Sya’ban tidak seperti bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau berpuasa karena terlihatnya hilal. Apabila tertutup atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’ban) 30 hari, lalu beliau berpuasa. (HR. Ibn Majah dari A’isyah).[12]

II.1.3. Macam-Macam Hisab
Secara umum hisab sebagai metode perhitungan awal bulan kamariyah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.    Hisab Urfi
Hisab urfi terkadang dinamakan dengan hisab adadi atau hisab alamah, adalah metode perhitungan untuk penentuan awal bulan dengan berpatokan tidak kepada gerak hakiki (sebenarnya) dari benda langit bulan. Akan tetapi perhitungan itu didasarkan kepada rata-rata gerak bulan dengan mendistribusikan jumlah hari ke dalam bulan secara berselang-selang antara bulan bernomor urut ganjil dan bulan bernomor urut genap dengan kaidah-kaidah tertentu. Dengan kata lain hisab urfi adalah metode perhitungan bulan kamariyah dengan menjumlahkan seluruh hari sejak tanggal 1 Muharam 1 H hingga saat tanggal yang dihitung.[13]
b.    Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah metode penentuan awal bulan kamariyah yang dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariyah mengacu pada kedudukan atau perjalanan bulan benda langit tersebut. Hanya saja untuk menentukan pada saat mana dari perjalanan bulan itu dapat dinyatakan sebagai awal bulan baru terdapat beberapa kriteria dalam hisab hakiki untuk menentukannya. Atas dasar itu terdapat beberapa macam hisab hakiki sesuai dengan kriteria yang diterapkan masing-masing untuk menentukan awal bulan kamariyah. Berbagai kriteria dimaksud adalah: Ijtimak sebelum fajar (al-ijtima’ qabla al-fajr), ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (moonset after sunset) pada suatu negeri, imkan rukyat (visibilitas hilal), hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal.[14]   

II.2.  KONSEP RUKYAT
II.2.1. Pengertian
Rukyat[15] menurut bahasa berasal dari kata ra’a, yara, ra’yan, wa ru’yatan yang bermakna melihat, mengerti, menyangka, menduga dan mengira,[16] to see, to behold (melihat), perceive (merasa), notice, observe (memperhatikan/melihat) dan discern (melihat).[17] Dalam khazanah fiqh, kata rukyat lazim disertai dengan kata hilal[18] sehingga menjadi rukyatul hilal[19] yang berarti melihat hilal (bulan baru). Rukyatul hilal ini berkaitan erat dengan masalah ibadah terutama ibadah puasa.
Rukyat menurut istilah adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan Qamariyah. Kalau hilal berhasil dirukyat maka sejak matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru, kalau tidak terlihat maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang berjalan dengan digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.[20]
Rukyat dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawwal, dan juga awal bulan Dzulhijah. Dua bulan yang pertama berkaitan dengan ibadah puasa dan ketiga terakhir berkaitan dengan ibadah haji. Keberhasilan rukyat hilal sangat bergantung pada kondisi ufuk  di sebelah Barat tempat peninjau, posisi hilal dan kejelian mata.[21] 

II.2.2. Dasar Hukum
Landasan normatif rukayat sama dengan hisab, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dikemukakan dikemukakan dalam dasar hukum hisab. Dalam perkembangan sekarang, selain dilakukan dengan mata telanjang juga dilakukan dengan teropong. Untuk menunjang keberhasilan rukyat maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan-perhitungan terhadap ketinggian hilal dan posisi hilal terhadap matahari dengan berdasarkan pada data-data astronomi modern. Dengan demikian akurasi hasil rukyat bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

II.3.  FENOMENA HISAB DAN RUKYAT
II.3.1. SEJARAH HISAB DAN RUKYAT
Secara historis, rukyat lebih dulu ada dan berkembang dibandingkan dengan hisab. Rukyat adalah satu-satunya cara dalam menentukan awal bulan kamariyah sejak masa sebelum Islam.
Nabi Muhammad Saw. di utus pada masyarakat Makah, yang pada saat itu sudah berkembang menjadi sentral perdagangan. Pada situasi demikian Nabi ditantang untuk dakwah walau pada akhirnya harus pindah ke Madinah karena adanya pemboikotan dari sebagian penduduk Makah yang tidak suka terhadapnya. Di Madinah diterima oleh sesama muslim, disana terciptalah suasana yang damai hingga Nabi menggagas perjanjian yang dikenal dengan piagam madinah. Tetapi disini juga masih ada sebagian masyarakat non muslim yang tidak suka terhadap kehadiran Nabi.
Pada saat itu penanggalan sudah dikenal oleh penduduk Madinah jauh sebelum Nabi datang, yang dikenal penanggalan Yahudi dengan sistem penanggalan syamsiyah dengan menekankan pada keajegan perubahan musim tanpa memperhatikan perubahan hariannya dan penanggalan warisan nenek moyang dengan sistem penanggalan kamariyah. Penanggalan kamariyah digunakan oleh masyarakat Madinah yang mayoritas bermata pencaharian bercocok tanam. Untuk menentukan awal bulan dengan melihat fase-fase perubahan bulan itu sendiri dalam tiap bulannya. Akan tetapi dengan penanggalan ini mereka mengalami kesulitan untuk menentukan musim yang sangat mereka perlukan. Maka digabungkanlah penanggalan kamariyah itu dengan penanggalan samsiyah. Akibatnya dalam setiap tiga tahun  kamariyah akan ada bulan ke 13. Bulan ke 13 itu mereka gunakan untuk melakukan upacara ritual dan pesta pora yang menyesatkan.[22]
Kedatangan Nabi dengan seperangkat ajarannya, berupaya meluruskan tradisi itu, yaitu melakukan perubahan terhadap penanggalan yang berlaku di Arab (Madinah) yakni dengan menghapus adanya bulan ke 13. Selanjutnya pada tahun kedua Hijriyah Nabi diperintahkan untuk berpuasa seperti yang tersurat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 183 dan 185. Maka, Nabi menjelaskan pada masyarakatnya bahwa umur bulan kamariyah itu  terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Selanjutnya mengenai teknis bagaimana pergantian antar bulan itu terjadi maka Nabi menerangkan dengan sabdanya:

صومو الروْيته وافطروا لروْيته فان غمى عليكم فاكملوا العدد (رواه مسلم).
صومو الروْيته وافطروا لروْيته فان غمى عليكم فاكملوا العدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري) .

 Cara untuk mengetahui pergantian bulan pada saat itu adalah dengan rukyatul hilal. Sebagai implementasi terhadap perintah Nabi, para sahabat berusaha melihat hilal sesaat setelah matahari terbenam pada Jum’at malam Sabtu tanggal 29 Sya’ban tahun ke 2 H. Akan tetapi, rukyat tidak berhasil. Berita ini kemudian disampaikan kepada Nabi, kemudian beliau menetapkan bulan Sya’ban tahun itu berumur 30 hari. Selanjutnya pada hari Ahad petang tanggal 29 Ramadhan tahun itu pula para sahabat berusaha untuk melihat hilal dan mereka berhasil. Berita ini disampaikan kepada Nabi, terus beliau memerintahkan kepada sahabat untuk mengakhiri puasa pada malam itu juga.[23]
Nabi mensyari’atkan penentuan bulan baru dengan rukyatul hilal karena cara inilah yang dianggap paling sesuai, paling mudah dan tidak menyulitkan serta sudah familiar bagi umat Islam saat itu. Terlebih lagi pada hadits sebelumnya Nabi menjelaskan bahwa umat pada massa itu dalam keadaan ummi yakni tidak bisa menulis dan mengghitung. Berkenaan dengan hal ini, Yusuf Qardhawi[24] mengatakan bahwa penggunaan metode rukyat merupakan rahmat dari Allah karena Allah tidak memerintahkan untuk melakukannya dengan jalan hisab yang tidak dikenal pada saat itu.
Penggunaan metode rukyat pada saat itu dapat diterima oleh umat Islam. Sampai sekarang metode ini masih dipakai. Sementara itu, penggunaan metode hisab sebagai alternatif dalam menetapkan tanggal baru bulan kamariyah khususnya yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan ibadah bila dilihat dari sejarahnya bukanlah termasuk hal yang baru sebagaimana telah disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid. Ia menjelaskan bahwa penggunaan hisab sebagai penentu dalam menetapkan awal bulan sudah dilakukan oleh sebagian ulama salaf, diantaranya dipelopori oleh Matorif bin al-Syahr.[25]
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754 M-755 M) adalah orang yang pertama kali memperhatikan ilmu hisab. Dia memerintahkan kepada Muhammad al-Fazari untuk menerjemahkan kitab Sindihind, sebuah kitab ilmu falak metode Hindu, yang pada awalnya dikenalkan oleh seorang cendikiawan Hindu yang bernama Manka. Selain itu Abu Yahya bin Bathriq juga menerjemahkan kitab ilmu falak yang berbahasa Yunani yaitu Quadripartitum karangan Ptolomeus seorang ahli falak Yunani yang hidup pada abad pertengahan ke dua. Demikian juga Umar ibnu Farukhan yang menerjemahkan beberapa kitab tentang hisab dari bahasa Persia. Pada masa Khalifah Al-Makmun (815 M-833 M) Muhammad bin Musa al-Khawarizmi berhasil membuat table gerak benda-benda langit berdasar pada metode yang terdapat pada kitab Sindihind. Dua abad kemudian table itu diperbaiki oleh Abu Qasim Maslamah al-Majridi.[26]
Sementara itu dikalangan Syi’i penetapan awal bulan berdasarkan perhitungan astronomis terhadap bulan baru telah dilaksanakan pada masa pemerintahan Fathimiyah oleh jenderal Jauhar setelah selesai mendirikan kota Kairo pada tahun 359 H/969 M. Pada waktu itu carra seperti ini dianggap bid’ah atau inovasi yang menyesatkan oleh kalangan Sunni.[27]
Di Indonesia, sejak masa penjajahan umat Islam sudah biasa menggunakan penanggalan Hijriyah. Pemerintah Belanda membiarkan keberlakuan penanggalan itu dan menyerahkan pengaturannya kepada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang ada terutama pengaturan terhadap hari-hari yang ada hubungannya dengan peribadatan. Setelah merdeka pengaturan itu kemudian diserahkan ke Departemen Agama (sekarang Kemenag). Wewenang ini tercantum dalam PP tahun 1946 No. 2/Um.7 Um.9/Um, dan dipertegas dengan Kepres No. 25/1967 No. 148/1968 dan 10 tahun 1971.[28]

II.3.2.  KELEBIHAN   DAN KEKURANGAN   ANTARA  HISAB
 DAN RUKYAT
Sebagaimana dinyatakan H.A. Mukti Ali dalam musyawarah hisab dan rukyat tahun 1977 M/1397 H bahwa hisab yang benar akan bisa dibuktikan dengan rukyat yang benar karena yang menjadi objek keduanya sama, yaitu hilal.[29] Artinya secara epistemologis kedua-duanya dapat dibenarkan dan dapat dipertanggung jawabkan. Namun demikian hisab dan rukyat sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan hisab yaitu dapat menentukan posisi bulan tanpa terhadang oleh mendung, kabut dan sebagainya. Dengan hisab dapat diketahui kapan terjadinya ijtimak (conjunction), apakah bulan itu sudah di atas ufuk atau belum, dengan hisab pula dapat dibuat Kalender Hijriah tahunan secara jelas dan pasti, sedangkan kelemahan hisab yaitu masih terdapat bermacam-macam sistem perhitungan, yang hasilnya akan berbeda-beda. Contoh metode Sullamun Nayyirain akan berbeda dengan Hisab Hakiki, Spherical Trigonometry, dan Hisab Mawaqit.[30]
Sementara itu kelebihan rukyat (observation), pertama, observasi merupakan metode ilmiah yang akurat. Hal itu terbukti dengan berkembangnya ilmu falak (astronomi) pada zaman keemasan Islam. Para ahli terdahulu mengalami pengamatan secara serius dan berkelanjutan, yang akhirnya menghasilkan zij-zij (tabel-tabel astronomi) yang terkenal dan hingga kini masih menjadi rujukan, seperti Zij al-Jadid karya Ibnu Shatir (1306 M/706 H) dan Zil Jadidi Sultani karya Ulugh Beg (1394-1449 M/797-853 H). Kedua, Galileo Galilei (1564-1642 M/972-1052 H) adalah perintis ke jalan pengetahuan modern. Ia menggunakan observasi untuk membuktikan suatu kebenaran.[31]
Kelemahan rukyat, pertama , hilal pada tanggal satu sangat tipis sehingga sangat sulit dilihat oleh orang biasa (mata telanjang), apalagi tinggi hilal kurang dari dua derajat. Selain itu ketika matahari terbenam (sunset) di ufuk sebelah Barat masih memancarkan sinar berupa mega merah (asy-syafaq al-ahmar). Mega inilah yang menyulitkan melihat bulan sendiri dalam kondisi bulan mati (newmoon). Kecerahan atau kuat cahaya hilal fase pertama tidak sampai 1 % dibanding cahaya bulan purnama (full moon). Cahaya hilal sangat lemah dibandingkan dengan cahaya matahari maupun cahaya senja, sehingga teramat sulit untuk dapat mengamati hilal yang kekuatan cahayanya kurang dari itu. Kedua, kendala cuaca. Di udara terdapat banyak partikel yang dapat menghambat pandangan mata terhadap hilal, seperti kabut, hujan, debu, dan asap. Gangguan-gangguan ini mempunyai dampak terhadap pandangan pada hilal, termasuk mengurangi cahaya, mengaburkan citra dan mengaburkan cahaya hilal. Dengan demikian kondisi cuaca adalah faktor yang dominan mempengaruhi keberhasilan rukyatul hilal. Ketiga, kualitas perukyat.[32] Keempat, kalau menggunakan istikmal, mungkin saja bulan sudah ada. Artinya kalau memenuhi perintah teks hadits, yaitu misalnya tidak berhasil melihat hilal , maka hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Padahal menurut perhitungan ilmu falak (astronomi) pada tanggal 30 itu hilal sudah berada di atas ufuk (horizon), berarti penanggalan bulan baru sudah bisa dimulai.[33] 
II.3.3. KONSEPSI TITIK TEMU HISAB RUKYAT DI INDONESIA
PBNU telah membuat “Pedoman Rukyah dan Hisab” (1994) yang merujuk pada berbagai hadits dan pendapat ulama yang intinya tetap akan menggunakan rukyatul hilal atau istikmal dalam penentuan awal bulan kamariyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. Namun, hasil rukyat dapat ditolak bila tidak didukung oleh ilmu pengetahuan atauu hisab yang akurat. Sampai saat ini batasan yang digunakan adalah ketinggian hilal minimum 2 derajat, bila kurang dari itu hasil rukyat dapat ditolak. Prinsip yang digunakan adalah wilayatul hukmi, yaitu ulil amri (pemerintah) dapat menetapkan rukyatul hilal di suatu tempat di Indonesia berlaku untuk seluruh wilayah. Itsbat (penetapan) awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah yang dilakukan oleh pemerintah dapat diikuti selama didasari oleh hasil rukyat.[34]
PP Muhammadiyah menetapkan awal bulan kamariyah dengan hisab wujudul hilal melalui metode hisab yang akurat. Hilal dianggap wujud bila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan. Walaupun hisab dan rukyat diakui memiliki kedudukan yang sama, metode hisab dipilih karena dianggap lebih mendekati kebenaran dan lebih praktis. Muhammadiyah sebenarnya pernah menggunakan metode hisab ijtima’ qabla ghurub (ijtima’ sebelum maghrib) dan hisab imkanurrukyat (hilal yang mungkin dilihat, tidak sekedar wujud) dalam memaknai hilal. Tetapi karena kriteria imkanurrukyat yang memberikan kepastian belum ditentukan dan kesepakatan yang ada sering tidak diikuti, maka Muhammadiyah kembali ke hisab wujudul hilal. Prinsip wilayatul hukmi juga digunakan, yaitu bila hilal di sebagian Indonesia telah wujud maka, seluruh Indonesia dinanggap telah masuk bulan baru.[35]
Pola pemikiran hisab dan rukyat telah sedemikian kokoh dengan dukungan dalil-dalil fiqh yang memperkuatnya. Penganut metode rukyat sulit untuk menerima hisab sebagai penggantinya. Selanjutnya penganut metode hisab juga sulit menerima rukyat sebagai penentu karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis. Namun kenyataan bahwa Muhammadiyah dan Persis berganti-ganti kriteria menunjukan bahwa iijtihad terus berjalan untuk memaknai hilal. Sementara itu NU pun telah berijtihad dalam memaknai hilal yang sesungguhnya dengan mengijinkan hisab mengontrol hasil rukyat yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Ini peluang titik temu antara metode hisab dan metode rukyat, yaitu mencari kriteria baru yang berlaku  bagi hisab maupun rukyat dalam memaknai hilal yang sesuai dengan syari’at dan prinsip-prinsip ilmiah astronomis. Tidak ada satu pun dalil dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang secara tegas bisa diambil sebagai kriteria kuantitatif (tidak ada isyarat langsung seperti waktu-waktu shalat yang relatif mudah diinpretasikan secara kuantitatif astronomis). Maka menurut Thomas Djamaluddin,[36] satu-satunya cara adalah menggunakan ijtihad ilmiah astronomis.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi’li, bil ain, bil ‘ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bi fi’li/bil ‘ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek tentang terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan mmasuknya awal bulan.[37]   

III.        PENUTUP
Hisab dan rukyat adalah dua hal yang sangat penting bagi kita dalam pelaksanaan ibadah yang diajarkan Islam berkaitan dengan hasil penggunaan pemikiran matetamis dan teori probabilitas yang di dukung oleh akurasi data dan sikap umat Islam dalam penentuan saat pelaksanaan ibadah. Rukyat yang dilaksanakan dengan pedoman dan data ilmiah berfungsi menguji kebenaran hisab dan berguna untuk melakukan koreksi. Kemampuan memadukan sistem hisab dan rukyat dapat menembus benteng ketegangan dan kekakuan pandangan antara para ahli hisab disatu pihak, dan para ahli rukyat di lain pihak.
Tugas kita adalah menigkatkan kualitas hisab dalam rangka membantu pelaksanaan rukyat, serta meningkatkan cara pelaksanaan rukyat untuk dipersembahkan terhadap persatuan umat sebagai fakta ilmiah atas keberhasilan rukyat itu sendiri, sehingga orang tidak lagi ragu-ragu terhadap hasil rukyat atau tidak lagi mepertentangkan hisab dengan rukyat. Akan tetapi justru orang akan yakin bahwa hisab dan rukyat adalah dua hal yang saling membantu saling mengisi kekurangan dan menutupi kelemahan masing-masing.
Untuk menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah maka pemerintah harus selalu berusaha untuk mempertemukan para ahli hisab dan rukyat dengan mengadakan musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang mungkin menimbulkan pertentangan di dalam menentukan hari-hari besar Islam agar dapat disatukan, tidak untuk memperluas perbedaan, tapi justru untuk mencari titik temu atau menetralisir pertentangan, sekurang-kurangnya sepakat untuk berbeda pendapat dengan tetap saling menghormati.

IV.       DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2007.

_____________. Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Aladip, Moh. Machfuddin. Terjemah Bulughul Maram, CV. Toha Putra, Semarang, 1985.

Amhar, Fahmi. Seputar Hisab dan Rukyat 1427 H, Suara Islam, Minggu I-II Oktober 2006.

Aulawi, A. Wasit. Laporan Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat Tahun 1977, Ditbinbapera, Jakarta, 1977.

Al-Qur’an dan Terjemah.

Djamaluddin, Thomas. Menggagas Fiqh Astronomi, Kaki Langit, Bandung, 2005.

Depag. Almanak Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1981.

Hamidy, Muamal. Menuju Kesatuan Hari Raya, Cet I, Bina Ilmu, Surabaya, 1995.

Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004.

______________. Penentuan Awal Bulan  Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah pada Zaman Rasulallah dalam Pandangan Sosiologis, Makalah disampaikan dalam Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat BHR Depag RI di YPI Ciawi Bogor, 26-28 Mei 2003.

Maskufa. Ilmu Falaq, Gaung Persada, Jakarta, 2009.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, PP Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pedoman Hisab Muhammadiyah, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2009.

Purwanto, dan Dawanas D.N. Tinjauan Sekitar Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, Makalah Seminar Ilmu Falak yang diselenggarakan oleh B.P. Planetarium, Jakarta, tanggal 17 Januari 1994.

Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta, 2004.

Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Shiyam, Dar al-Wafa, 1991.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid fi Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Fikr, Beirut, tth.

Supriatna, Encup. Hisab Rukyat dan Aplikasinya, Buku Satu, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Salam, Abd. Tradisi Fiqh Nahdlatul Ulama (NU): Analisis terhadap Konstruksi Elite NU Jawa Timur tentang Penentuan Awal Bulan Islam, Ringkasan Disertasi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008.

Setyanto, Hendro. Membaca Langit, Al Ghuraba, Jakarta, 2008.
































[1]  Kata hisab merupakan masdar dari kha-sa-ba yang berarti menghitung, sedangkan rukyat merupakan masdar dari kata ro-a yang berarti melihat. Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al Ghuraba, Jakarta, 2008, Hal. 16.
Dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah, Kata “hisab” berasal dari kata Arab al-hisab yang secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan. Cetakan Kedua, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009, Hal. 1
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, PP Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984, Hal. 282 . Lihat  Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, Buku Satu, Reflika Aditama, Bandung, 2007, Hal. 1
[3]  Maskufa, Ilmu Falaq, Gaung Persada, Jakarta, 2009, Hal. 147
[4]  Maskufa, Ibid, Hal. 148.
 Lihat juga dalam  Pedoman Hisab Muhammadiyah, Op. Cit, Hal. 2
[5]  Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004, Hal. 148-149
[6]  Moh. Machfuddin Aladip, Terjemah Bulughul Maram, CV. Toha Putra, Semarang, 1985, Hal. 312.
[7]  Ibid
[8]  Muhyiddin Khazin, Op. Cit. Hal. 149
[9]  Ibid, Hal. 150
[10] Moh. Machfuddin Aladip. Op. Cit. Hal. 313-314
[11]  Muhyyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 151
[12]  Ibid, Hal. 152
[13]  Pedoman Hisab Muhammadiyah, Op. Cit, Hal. 18
[14]  Ibid, Hal. 21-23
[15] Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengutip pendapat Ibnu Sayyidah yang menyebutkan bahwa, rukyat secara literal berarti melihat dengan mata atau hati (an-nadzru bi al-‘ain wa al-qalb). Pendapat lain menyebutkan bahwa, rukyat tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi juga berarti melihat dengan ilmu (rasio) melalui hasil perhitungan ilmu hisab. Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, 2007, Hal. 65
[16]  Ahmad  Warson Munawwir, Op. Cit, Hal. 494-495
[17]  Maskufa, Op. Cit, Hal. 149
[18]  Konsep hilal menurut Wahbah al-Zuhayli,   سمي هلالا لظهوره بعد خفا نه(dinamakan hilal karena ia “tampak” sesudah menghilang. Dari sini muncul perkataan  الاهلال بالحج(menampakan haji) karena terdengarnya suara talbiyah. Al-Tafsir al-Munir, Juz 2, Dar al-Fikr al-Mu’asir, Beirut, 1991, 1989, Hal. 169.
Adapun menurut Ibnu Taimiyah, diambil dari  الظهور (tampak, muncul) dan رفع الصوت (mengeraskan suara). Karena itu jika tidak tampak dari bumi, walaupun sudah terbit di langit, ia tidak dihukumi, secara lahir maupun secara batin, sebagai hilal. Abd. Salam, Tradisi Fiqh Nahdlatul Ulama (NU): Analisis terhadap Konstruksi Elite NU Jawa Timur tentang Penentuan Awal Bulan Islam, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, 2008, Hal. 34. Dalam wacana hisab astronomi, hilal awal bulan lazim didefinisikan dengan bulan sabit yang dapat dilihat pertama kali, atau bulan sabit pertama yang tampak setelah bulan baru (ijtimak). Hal. 37
Ijtima’ disebut juga iqtiran artinya bersama atau berkumpul, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi. Dalam istilah astronomi dikenal dengan nama konjungsi atau new moon. Muhyiddin Khazin,Op. Cit, Hal. 139
Atau pengertian  Ijtimak adalah pertemuan (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptika yang sama. Sedangkan ekliptika adalah lingkaran peredaran semu tahunan matahari akibat pergerakan bumi di sekelilingnya. Fahmi Amhar, Seputar Hisab dan Rukyat 1427 H, Suara Islam, Minggu I-II Oktober 2006, Hal. 15
[19] Rukyat atau lengkapnya rukyatul hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit  di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Lihat Muhyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 173
[20]  Depag, Almanak Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1981,  Hal. 15
[21]  Maskufa, Op. Cit, Hal. 149
[22]  Muhyiddin Khazin, Loc. Cit, Penentuan Awal Bulan  Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah pada Zaman Rasulullah dalam Pandangan Sosiologis, Makalah disampaikan dalam Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat BHR Depag RI di YPI Ciawi Bogor, 26-28 Mei 2003, Hal. 6
[23]  Muhyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 9
[24]  Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Shiyam, Dar al-Wafa, 1991, Hal. 23
[25]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Fikr, Beirut, tth, Hal. 207-208
[26]  Maskufa, Op. Cit. Hal. 160-161
[27]  Ibid
[28]  Ibid
[29]  Baca A. Wasit  Aulawi. Laporan Muusyawarah Nasional Hisab dan Rukyat Tahun 1977, Ditbinbapera, Jakarta, 1977, Hal. 1-5
Lihat juga Muamal Hamidy, Menuju Kesatuan Hari Raya, Cet I, Bina Ilmu, Surabaya, 1995, Hal. 56
Perhatikan pula D.N. Dawanas dan Purwanto, Tinjauan Sekitar Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, Makalah Seminar Ilmu Falak yang diselenggarakan oleh B.P. Planetarium, Jakarta, tanggal 17 Januari 1994.
[30] Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2007, Hal. 129
[31]  Ibid, Hal. 129-130
[32]  Ibid, Hal. 130-131
[33]  Ibid, Hal. 132
[34]  Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi, Kaki Langit, Bandung, 2005, Hal. 100
[35]  Ibid, Hal. 100-101
[36]  Ibid, Hal. 101-102
[37]  Ibid, Hal.102

1 komentar:

  1. pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam

    BalasHapus