Senin, 05 Desember 2011

EQUATION OF TIME, WAKTU PERTENGAHAN (MEAN TIME), UNIVERSAL TIME (GREENWICH MEAN TIME) DAN LOCAL MEAN TIME



A.   Pendahuluan
Pada prinsipnya perintah untuk mengetahui waktu seperti waktu terbitnya matahari, waktu tergelincirnya matahari, waktu terbenamnya matahari, waktu ijtima’ dan lain-lain itu tidak ada hukumnya. Namun apabila dikaitkan dengan aspek ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka hukumnya menjadi wajib karena pelaksanaan ibadah tersebut tidak akan dapat terlaksana dengan sempurna manakala tidak mengetahui waktunya masing-masing. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang mengatakan bahwa مالايتم الواجب الابه فهوواجب  artinya, sesuatu yang wajib tidak akan sempurna kecuali dengannya, sesuatu itu hukumnya adalah wajib pula” maksudnya adalah suatu perbuatan yang diwajibkan oleh syara’ tidak akan menjadi sempurna adanya, kecuali dengan perbuatan itu disertai atau dilengkapi dengan perbuatan yang lain, maka perbuatan untuk menyempurnakan perbuatan yang diwajibkan itu harus ditunaikan atau lebih sempitnya adalah “segala sesuatu yang menjadi perantara ibadah wajib hukumnya menjadi wajib.”[1]
Dalam al-Qur’an[2], surat an-Nisa ayat 103 dijelaskan bahwa:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa: 103).
Ayat tersebut di atas mengindikasikan bahwa kewajiban menjalankan ibadah shalat atas orang muslim disertai kewajiban mengetahui waktu. Ini berarti belajar tentang waktu di bumi ini hukumnya adalah wajib. Itulah pesan yang di bawa oleh ayat tersebut.
Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits tidak dijelaskan secara tegas dan gamblang mengenai batasan-batasan waktu, hanya dikemukakan bahwa waktu itu penting, sebagai bagian dari kehidupan manusia dalam beribadah kepada Allah swt.
Dari pemikiran itu, pengetahuan tentang seluk beluk waktu menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tergerak hati untuk menjelaskan tentang waktu terkait dengan equation of time, mean time, universal time/green wich mean time dan local mean time, karena semua itu sangat terkait dengan aspek ibadah yang meliputi penentuan waktu shalat, puasa, zakat dan haji.

B.  Dampak Rotasi dan Revolusi Bumi terhadap Sistem Waktu
Sebelum masuk dalam pembahasan equation of time, mean time, universal time/greenwich mean time dan local mean time, terlebih dahulu perlu dipahami tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan waktu di muka bumi, yakni rotasi bumi dan revolusi bumi.[3]
Gerak Rotasi bumi adalah: perputaran bumi pada porosnya yang dari arah barat ke timur dengan kecepatan rata-rata 108.000 km perjam. Satu kali putaran penuh sekitar 24 jam, sehingga gerak ini dinamakan gerak harian atau gerak harian benda langit.[4] Gerak rotasi bumi mengakibatkan terjadinya perbedaan waktu dan pergantian siang-malam di bumi.
Karena bumi bentuknya bulat dan berputar pada porosnya, maka bumi yang berhadapan dan membelakangi matahari akan silih berganti. Peredaran semu harian matahari, akibat dari bumi berputar pada porosnya mengakibatkan setengah belahan bumi mengalami terang atau siang, dan setengah belahan yang lainnya mengalami gelap atau malam.[5]
Adanya perbedaan siang dan malam secara beraturan akibat rotasi di bumi mengakibatkan perbedaan waktu di daerah-daerah di bumi. Daerah yang terlebih dahulu menghadap ke arah matahari waktunya lebih dahulu dari daerah sebelah baratnya.  Misalnya, apabila Semarang masuk waktu maghrib maka pada saat itu Lampung belum tiba waktu maghrib, karena Lampung tempatnya lebih Barat daripada Semarang. Demikian juga ketika Lampung sedang terbit matahari maka di Semarang terbit matahari sudah berlalu.
Gerak Revolusi bumi adalah: peredaran bumi mengelilingi matahari dari arah barat ke timur dengan kecepatan sekitar 30 km perdetik. Satu kali putaran penuh (3600) memerlukan waktu 365,2425 hari, sehingga gerak bumi ini disebut gerak tahunan.[6]
Bumi berputar pada sumbunya dalam waktu 24 jam untuk sekali putar. Selain itu, bumi juga mengedari matahari dalam waktu satu tahun atau kira-kira 365, 24 hari untuk sekali edar. Lingkaran bumi sekeliling matahari tidak berupa lingkaran, melainkan berupa elips dengan matahri berada di salah satu titik fokusnya. Oleh karena itu, kecepatan edar bumi mengelilingi matahari dan juga jarak bumi-matahari tidak tepat sepanjang tahun. Kira-kira pada tanggal 22 Desember, jarak bumi-matahari adalah terdekat, yaitu sekitar 1,45x1011 m, dan pada tanggal 22 Juni jarak terjauh, yaitu sekitar 1,54x1011 m.[7]
Peredaran bumi yang mengelilingi bumi yang berbentuk ellips inilah yang menyebabkan adanya perputaran bumi pada sumbunya tidak tentu 24 jam, terkadang kurang dan terkadang lebih. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya perbedaan antara waktu matahari hakiki dengan waktu matahari rata-rata/waktu matahari pertengahan.[8]

C.  Waktu Surya
Waktu surya atau disebut juga dengan waktu matahari adalah waktu yang kita pergunakan seharai-hari sebagaimana yang ditunjukkan oleh jam dan arloji yang kita pakai dan dipergunakan pada siaran radio dan televisi adalah didasarkan pada perjalanan harian matahari; Jika matahari terbit kita katakan bahwa hari pukul 06, jika matahari berkulminasi atas hari pukul 12, jika matahari terbenam hari pukul 18, dan jika matahari berkulminasi bawah hari pukul 24, atau boleh kita sebut pukul 00 bagi hari yang baru.[9]
Sebenarnya peredaran matahari bukanlah merupakan dasar pengukuran waktu yang sempurna. Hal itu disebabkan oleh karena jalannya tidak benar-benar rata, artinya kadang-kadang agak cepat dan kadang-kadang agal lambat. Oleh karena itu masa di antara dua kali matahari berkulminasi adakalanya tidak tepat 24 jam lamanya, suatu hari lebih dari 24 jam dan pada hari yang lain kurang dari 24 jam.[10]
Untuk mengetahui cepat dan lambatnya perjalanan matahari hakiki, orang menciptakan bandingannya, yaitu sebuah matahari hayalan yang jalannya sungguh-sungguh rata, dengan pengertian bahwa masa diantara dua kali kedudukannya yang sama, misalnya dua kali berkulminasi lamanya senantiasa 24 jam. Matahari hayalan itu dinamakan matahari pertengahan dan waktu yang ditunjukannya disebut Mean Solar Time atau waktu pertengahan dalam bahasa arab disebut waktu wasathi. Waktu yang ditunjukkan oleh matahari hakiki dinamakan waktu surya hakiki setempat (Apparent Solar Time), disebut juga waktu hakiki setempat atau waktu surya disebut juga dengan waktu istiwa setempat (WIS).[11]

D. Equation Of Time
Equation of Time dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah perata waktu, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan Ta’dil al-Syam, yaitu selisih antara waktu kulminasi matahari hakiki dengan waktu matahari rata-rata. Dalam perhitungan astronomi Equation of Time biasanya disimbolkan dengan huruf ‘e’ kecil dan diperlukan untuk menghitung waktu shalat, menghitung arah kiblat  yang menggunakan sudut deklinasi matahari, diperlukan juga dalam perhitungan awal bulan.
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Equation of Time adalah, perata waktu atau ta’dil al-Waqt / Ta’dil asy-Syam yaitu, selisih antara waktu kulminasi Matahari Hakiki dengan waktu Matahari rata-rata. Data ini biasanya dinyatakan dengan huruf ‘e’ kecil dan diperlukan dalam menghisab awal waktu shalat.[12]
Tidak jauh berbeda, dalam Kamus Ilmu Falak, Equation of Time atau Ta’diluz Auqat / Ta’diluz Zaman yaitu selisih waktu antara waktu matahari hakiki dengan waktu matahari rata-rata. Dalam astronomi biasa disebut dengan Equation of Time yang diartikan dengan ‘perata waktu’.[13]
Jika diartikan secara harfiah, Equation of Time berarti Persamaan Waktu. Namun, Equation of Time tidak dapat dimaknai dengan pengertian "Persamaan". Dalam astronomi, kata "Equation" sering merujuk pada adanya koreksi atau selisih antara nilai rata-rata suatu variabel dengan nilai sesungguhnya. Dalam hal ini, Equation of Time berarti adanya selisih antara waktu matahari rata-rata dengan waktu matahari sesungguhnya. Disini, yang dimaksud dengan waktu matahari adalah waktu lokal menurut pengamat di suatu tempat ketika matahari mencapai transit.[14]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, Equation of Time atau perata waktu ialah selisih waktu antara waktu matahari hakiki dengan matahari rata-rata (pertengahan). Hal tersebut disebabkan karena, peredaran semu harian matahari dari arah timur ke barat itu tidaklah konstan, kadang-kadang cepat kadang-kadang lambat. Keadaan ini diakibatkan oleh percepatan bumi mengelilingi matahari tidak konstan karena bidang edarnya berbentuk ellips  (penampang jorong = bulat telur) sedangkan matahari berada pada salah satu titik apinya. Sehingga suatu saat bumi dekat dengan matahari (Hadlidl atau Perehelium) yang menyebabkan gaya gravitasi menjadi kuat, sehingga perputaran bumi menjadi cepat yang akibatnya sehari-semalam kurang dari 24 jam. Pada saat lain bumi jauh dengan matahari (Auj atau Aphelium) yang menyebabkan gaya gravitasi menjadi lemah, sehingga perputaran bumi menjadi lambat yang akibatnya sehari-semalam lebih dari 24 jam.[15]
Dengan demikian Equation of Time : jumlah yang harus dikurangkan dari waktu hakiki, untuk memperoleh waktu petengahan.

Equation of Time = Waktu Hakiki ─ Waktu Pertengahan

Dengan persamaan sebagai berikut:

Waktu Pertengahan = Waktu Hakiki ─ Equation of Time

Pada gambar sebelah kiri memperlihatkan keadaan, jika matahari pertengahan berkedudukan di sebelah timur matahari hakiki, jadi matahari pertengahan tertinggal dalam perjalanan hariannya dari matahari hakiki. Misalnya, apabila kita melihat ke selatan, matahari tampak bergerak dari kiri ke kanan sesuai arah anak panah, P adalah matahari pertengahan, matahari hakiki sedang berkulminasi.[16]
Pada saat matahari hakiki mencapai tempatnya di meridian, matahari pertengahan (P) masih disebelah timur meridian. Dalam keadaan demikian, waktu hakiki menunjukkan pukul 12.00, tetapi menurut waktu pertengahan hari belum menunjukkan pukul 12.00, melainkan misalnya pukul 11.54. perata waktu besarnya 12.00 - 12.06 = -6 menit.[17]
Pada gambar sebelah kanan menunjukkan bahwa matahari pertengahan berjalan lebih dahulu dari matahari hakiki. Jika hari pukul 12.00 menurut waktu hakiki, maka waktu pertengahan menunjukkan pukul 12.00 lebih, misalnya pukul 12.06. perata waktu besarnya 12.00 – 12.006 = - 6.
Nilai Equation of Time pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama satu tahun. Nilai ini dapat diketahui pada tabel-tabel astronomis, misalnya Ephemeris, Almanak Nautika.[18]
Perubahan terjadi empat kali setiap tahunnya, yaitu (tahun 1956) : tanggal 12 Pebruari: -14m20d, tanggal 15 Mei +3m44d tanggal 26 Juli -6m24d, dan tanggal 3 Nopember +16m23d. Pada tanggal 12 Pebruari, matahari berkulminasi pukul 12 - (-14m20d) = pukul 12j14m20d, dan pada tanggal 3 Nopember, pukul 12 - (+16m23d) = pukul 11j43m37d.[19] Perata waktu berjumlah 0 pada tanggal 15 April, 14 Juni, 1 September, dan 25 Desember. Pada tanggal-tanggal tersebut, sudut waktu matahari hakiki sama besarnya dengan sudut waktu matahari pertengahan.[20]
Pada gambar grafik di atas, menyajikan kurva Equation Of Time selama 1 tahun. Sumbu horisontal menunjukkan nomor hari, dihitung sejak tanggal 1 Januari. Sumbu vertikal menunjukkan nilai Equation Of Time dalam satuan menit. Dari Gambar tersebut, nampak bahwa nilai Equation Of Time mencapai minimum (sekitar minus 14 menit 17 detik) pada sekitar hari ke 42 atau sekitar tanggal 11 Februari. Nilai Equation Of Time kira-kira sama dengan nol pada sekitar tanggal 14 April, 12 Juni, 31 Agustus dan 24 Desember. Sedangkan nilai Equation Of Time mencapai maksimum (sekitar 16 menit 28 detik) sekitar tanggal 2 atau 3 Nopember.
Bisa dikatakan, untuk tanggal-bulan yang sama nilai Equation Of Time relatif tetap sepanjang tahun. Misalnya, Equation Of Time selalu mencapai minimum pada sekitar tanggal 11 Februari sebesar sekitar minus 14 menit 17 detik. Jika bergeser pada tahun berikutnya, hanya berkisar satu hingga beberapa detik saja. Mengingat tetapnya nilai Equation Of Time untuk tanggal yang sama, maka Equation Of Time dapat digunakan sebagai parameter untuk menghitung waktu shalat atau untuk menyusun jadwal shalat abadi sepanjang tahun.[21]

E.  Mean Time / Waktu Pertengahan
Waktu pertengahan (WP) atau yang sering disebut dengan mean time adalah waktu yang didasarkan kepada peredaran matahari hayal yang seakan-akan perjalanannya stabil, artinya tidak pernah terlalu cepat dan tidak pernah terlambat.
Dengan demikian maka waktu pertengahan (WP) dengan waktu hakiki (WH) bisa bersamaan dan bisa pula tidak bersamaan. Suatu ketika waktu pertengahan mendahului waktu hakiki dan pada saat yang lain waktu pertengahan didahului oleh waktu hakiki.
Perata Waktu (PW)/ Equation of Time (e) yang membuat jarak antara waktu hakiki dengan waktu pertengahan dinyatakan positif jika pada pukul 12 WP, waktu hakiki menunjukkan pukul 12.00 lebih. Sebagai contoh pukul 12.00 WP, waktu hakiki menunjukkan pukul 12.11 berarti perata waktu (e) = +11 menit. Kemudian dinyatakan negatif jika pada waktu pukul 12.00 WP, waktu hakiki belum menunjukkan pukul 12.00. Sebagai contoh pukul 12 WP, waktu hakiki menunjukkan pukul 11.47, berarti perata waktu = -13 menit.
Berangkat dari dua contoh tersebut dapat diterapkan rumus sebagai berikut: WP=WH-PW.[22] Artinya waktu pertengahan dapat diperoleh dari waktu hakiki dikurangi perata waktu.[23]
Contoh:
1.    Diketahui          WH    = pukul 12 j 2m 11 d GMT
e        =  + 02 m 11d   (”e” tanggal 26 April 2010)
                                WP     = WH – e
                             = 12 j 2m 11 d – (+ 2 m 11d )
                             = 12 j 2m 11 d – 2 m 11d
                             = pukul 12.00
2.    Diketahui          WH    = pukul 10 j 45m 00 d GMT
PW     = -2 m 53d   (”e” tanggal 1 April 2010)
                                WP     = WH – PW
                             = 10 j 45m 00 d – (-2 m 53d)
                             = 10 j 45m 00 d + 2 m 53d  
                             = pukul 10 j 47m 53 d

F.  Universal Time/Greenwich Mean Time
Greenwich Mean Time (GMT) atau Waktu Rata-rata Greenwich adalah rujukan waktu internasional yang pada mulanya didasarkan pada waktu matahari di Greenwich. Sistem waktu yang mapan tersebut mempunyai sejarah panjang yang didukung konvensi internasional dan kajian ilmiah untuk penyempurnaannya. Sampai pertengahan abad 19, masing-masing negara menggunakan sistem jam matahari sendiri dengan menggunakan meridian masing-masing.
Pembuatan sistem waktu baku antarwilayah diperlukan. Jika tidak, jadwal kereta api bisa kacau ketika memasuki wilayah yang menggunakan sistem waktu berbeda. Hal itu terutama dirasakan oleh jaringan kereta api di Kanada dan Amerika Serikat. Kemudian, Kebutuhan adanya sistem waktu baku mendorong Sir Sandford Fleming, seorang teknisi dan perencana perjalanan kereta api Kanada mengusulkan waktu baku internasional pada akhir 1870-an. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada Oktober 1884 yang dihadiri perwakilan 25 negara.[24]
Adapun kesepakatan pokok (konvensi) pada konferensi tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Bersepakat menggunakan meridian dunia yang tunggal untuk menggantikan banyak meridian yang telah ada.
2.     Meridian yang melalui teropong transit di Observatorium Greenwich ditetapkan sebagai meridian nol.
3.     Semua garis bujur dihitung ke Timur dan ke Barat dari meridian tersebut sampai 180 derajat.
4.     Semua negara menerapkan hari universal.
5.     Hari universal adalah hari matahari rata-rata, mulai dari tengah malam di Greenwich dan dihitung 24 jam.
6.     Hari nautika dan astronomi di mana pun mulai dari tengah malam.
7.     Semua kajian teknis untuk mengatur dan menerapkan sistem desimal pembagian waktu dan ruang akan dilakukan.
Pada butir ke-2 tidak mendapat kesepakatan bulat. San Dominggo menentang. Perancis dan Brazil abstain.[25] Saat ini sistem waktu telah ditetapkan dengan 24 waktu baku, secara umum setiap perbedaan 150 garis bujur, waktunya berbeda 1 jam. Dalam pelaksanaannya, waktu baku tersebut disesuaikan dengan batas wilayah agar tidak memecah waktu di suatu wilayah. Pada 1928, dalam konferensi astronomi internasional, berdasarkan kajian soal waktu, maka penamaan GMT diubah menjadi Universal Time (UT).
Waktu universal (Universal Time) adalah satuan waktu yang didasari oleh rotasi bumi. Satuan ini adalah kelanjutan modern dari GMT (Greenwich Mean Time), yaitu mean waktu matahari di meridian di Greenwich, Inggris, yang secara lazim dianggap sebagai bujur geografis 00.[26] GMT ini merupakan waktu pertengahan yang didasarkan kepada garis bujur yang melalui Green wich (BB/BT 0°) dan digunakan sebagai standar Waktu Dunia Internasional.[27]
Perbedaan GMT dengan waktu pertengahan setempat di luar Greenwich adalah tergantung besar kecilnya Garis Bujur (BB/BT) dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
WP x = GMT + BT, atau

GMT = WPx - BT, atau
WP x = GMT – BB

GMT = WPx + BB
Contohnya sebagai berikut:
1.    Diketahui BT Semarang = 110° 26’
Pada saat GMT menunjukkan pukul 11.30, WP =......
WP Semarang   = 11.30 + 110° 26’
                        = 11.30 + 7 j 21m 44d
                        = 18 j 51 m 44 d 

2.    Diketahui BT Semarang = 100° 26’
Pada saat WP Semarang menunjukkan pukul 19.54, GMT = ......
GMT                 = 19.54  - 100° 26’
                        = 19.54  - 8 j 24m 0d
                        = 11.30
Sedangkan perbedaan GMT dengan Waktu Hakiki (WH) di luar Greenwich di samping ditentukan oleh besar kecilnya BT/BB juga dipengaruhi oleh besar keceilnya perata waktu (e). Untuk itu digunkan rumus sebagai berikut:
GMT = WH x - PW - BT, atau

WH x = GMT + PW + BT, atau
GMT = WH x - PW + BB

WH x = GMT + PW - BT
Contohnya sebagai berikut:
1.    Diketahui WH Semarang = pukul 09.00 WIB
e            =  2m 13(”e” 26 April 2010 pukul 09.00 WIB).
GMT       = .......?
GMT       = 09.00 - 2m 13- 110° 26’
              = 09.00 - 2m 13- 7 j 21m 44d   = 1j 36m 3d
2.    Diketahui GMT menunjukkan pukul 1j 36m 3d GMT
e                      =  2m 7(”e” 26 April 2010 pukul 1j 36m 3d GMT).
WH Semarang   = .......?
WH Semarang   = 1j 36m 3d + (- 2m 7 d) +110° 26’
                        = 1j 36m 3d - 2m 7 d + 7 j 21m 44d
= 8.55.40

G. Local  Mean Time
Local Mean Time (LMT) atau yang sering disebut dengan waktu setempat adalah waktu pertengahan menurut bujur tempat di suatu tempat, sehingga sebanyak bujur tempat di permukaan bumi sebanyak itu pula waktu pertengahan didapati.[28] 
Misalnya jam 11 waktu pertengahan di Semarang berbeda dengan jam 11  waktu pertengahan di Bandung dan di Surabaya. Sehingga apabila ada tiga orang masing-masing bertempat tinggal di tiga kota tersebut berjanji akan bertemu di suatu tempat pada jam 01.00 waktu pertengahan, tentunya akan muncul pertanyaan, yakni waktu pertengahan menurut mana?, karena ketiga kota tersebut masing-masing memiliki jam 12 waktu pertengahan yang antara satu dengan yang lainnya berbeda disebabkan oleh bujur tempat ketiga kota tersebut tidak sama. Untuk mengatasi persoalan ini dibuatlah kelompok waktu yang kemudian dikenal dengan nama waktu daerah (Zone Time).
Waktu daerah adalah waktu yang diberlakukan untuk satu wilayah bujur tempat (meridian) tertentu, sehingga dalam satu wilayah bujur hanya berlaku satu waktu daerah. Oleh karenanya, daerah dalam satu wilayah itu disebut Daerah Kesatuan waktu.[29] Pada dasarnya waktu daerah adalah waktu pertengahan yang didasarkan kepada garis bujur tertentu. Dengan demikian maka WD dan GMT adalah sama, perbedaan hanya disebabkan oleh karena pengaruh BT/BB.[30]
Waktu tersebut dibuat untuk mempermudah umat manusia zaman sekarang. Jika dalam perjalanan jarak agak jauh orang berpegang kepada pemakaian waktu-waktu setempat akan timbul kesulitan oleh karena jam yang dibawa dalam perjalanan setiap kali harus disesuaikan dengan jam di tempat yang dilalui.
Pembagian wilayah daerah kesatuan waktu pada dasarnya berdasarkan pada kelipatan bujur tempat 15° (360°:24 jam x 1°) yang dihitung mulai bujur tempat yang melewati kota Greenwich yakni pada bujur 0°.
Berdasarkan   Kep.Pres RI No. 41 Tahun 1987 dan berlaku mulai 1 Januari 1988 jam 00.00 WIB.[31], wilayah Indonesia terbagi atas tiga daerah waktu, yaitu:

Keppres RI N0.41 tahun 1987
Berlaku :  1 Januari  1988

Wilayah Waktu
Waktu Tolok
Bujur Tolok
Indonesia Barat meliputi :
Daerah Tingkat I di Sumatra, Jawa dan Madura, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
   GMT  + 07 jam
    105 °  BT
Indonesia Tengah meliputi :
Daerah Tingkat I di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara
   GMT  + 08  jam
    120 °  BT
Indonesia Timur meliputi :
Daerah Tingkat I di Maluku dan Irian Jaya
  GMT  +  09  jam
    135 °   BT
  Gambar Pembagian Wilayah Waktu Indonesia Tahun 1988 sampai sekarang

Dengan waktu daerah semacam ini, persoalan seperti di atas dapat teratasi. Kalau dikatakan jam 12 WIB, maka bagi orang Semarang, orang Bandung, maupun orang Surabaya adalah sama, karena sebagai acuannya adalah bujur tempat (meridian) 105° (bukan bujur tempat masing-masing kota).

H. Interpolasi waktu
Untuk merubah dari waktu pertengahan menjadi waktu daerah diperlukan koreksi yang disebut Interpolasi waktu. Interpolasi waktu ini pada dasarnya adalah waktu yang digunakan oleh matahri hayalan mulai saat berkulminasi atas di suatu tempat sampai saat ia berkulminasi atas di tempat yang lain. Oleh karenanya, interpolasi waktu sebagai ”selisih waktu antara dua tempat”. Harga interpolasi waktu dapat diketahui selisih bujur antara dua tempat kemudian konversi menjadi waktu dengan rumus:
Interpolasi Waktu = (-d) : 15
Keterangan:           d WIB         = 105°
                   d WITA       = 120°         
                   d WIT         = 135°
Setelah interpolasi didapatkan, maka:
Waktu daerah = Waktu pertengahan-Interpolasi Waktu[32]
          Misalnya ada pertanyaan : ” Di Semarang (100° 26’ BT) jam 08j 30m waktu pertengahan, maka pada saat itu menurut WIB jam berapa?
          Jawabanya dapat dihitung sebagai berikut:
Interpolasi waktu   = (-d) : 15
= ((110° 26’ - 105°) : 15) = 0° 21’ 44”
WIB                       = 08 j 30 m - 0° 21’ 44”
                             = 08 j 8 m 16 d

I.   Selisih Waktu Hakiki dengan Waktu Daerah
Untuk mengetahui selisih waktu (tafawut) antara waktu hakiki (apparent solar time) dengan waktu daerah (zone time) dapat dilakukan dengan menambahkan equation of time dengan selisih antara bujur daerah dan bujur tempat, kemudian di bagi 15. Rumusnya sebagai berikut:
Tafawut = -e + (d-) : 15
Keterangan:           e        = Equation of Time
                   d      = Bujur Daerah
                           = Bujur Tempat
Setelah tafawut didapatkan, maka:
Waktu Daerah       = WH – Tafawut
WH                       = WD + Tafawut   
Misalnya ada pertanyaan : ” Pada tanggal 26 April 2010 di Semarang (110° 26’ BT) jam 09. 00 WIB, maka pada saat itu menurut WIS (Waktu Istiwa Setempat) / AST (Apparent Solar Time) / Waktu Hakiki jam berapa?
          Jawabanya dapat dihitung sebagai berikut:
Tafawut       = -e + (d-) : 15
= -2 m  13 d + ((105 - 110° 26’) : 15) = - 23 m 57 d
WH              = WD + Tafawut
                   = 09. 00 + - 0 j 23 m 57 d
                   = 8 j 36 m 3 d
Jadi pada saat itu waktu hakiki menunjukkan jam 8 j 36 m 3 d.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.Sayuthi, Ilmu Falak I, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Asmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Darmawan Abdullah, Jam Hijriyah; Menguak Konsepsi Waktu dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010
---------------, Sains untuk Kesempurnaan Ibadah: Penerapan sains dalam Peribadatan, Yogyakarta: Prima Pustaka, 2009.
Kartawiharja Basuki, Penentuan Asimut; Dengan Pengamatan Matahari, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Muhyiddin Khazin,  Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 1995.
----------------------, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik,    Yogyakarta: Buana Pustaka,  2004.
---------------------, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009.
Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Nyoman Suwitra, Astronomi Dasar, Jurusan Fisika IKIP Singaraja, tp. tt.
Rinto Anugraha, Mengenal-Equation Of Time. file_html, diunduh tanggal 01 April 2011 pukul 10.53. Lihat juga Moh.
Rachim Abdur, Ilmu Falak,         Yogyakarta: Liberty 1983.
Slamet Hambali, Ilmu Falak, Semarang, 1988.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, cet. ke-II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007.
------------------, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, edisi revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
------------------, Hisab Awal Waktu Shalat, Yogyakarta: Modul Pelatihan Hisab Rukyat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2007.


[1] Asmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 114.
[2] Beberapa nash al-Qur’an yang memberikan indikasi dan isyarat tentang waktu, misalnya terdapat dalam: QS.103/al-‘Ashar: 1-3, QS. 2/al-Baqarah:189, QS. 5/Yunus: 5, QS.17/al-Isra’:12, QS.2/al-Baqarah:187, QS.36/Yasin:38-40.
[3] Selain bumi berotasi dan berevolusi, bumi juga bergerak, yang disebut dengan gerak Presisi, gerak Nutasi dan gerak Apsiden. Lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek, hlm. 132-133. 
[4] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Buana, 2005, hlm. 130. Lihat juga Nyoman Suwitra, Astronomi Dasar, jurusan Fisika IKIP Singaraja, tp. tt., hlm. 2.
[5] Ibid, Muhyiddin Khazin..., hlm. 128.
[6] Ibid., hlm. 129.
[7] Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010, hlm. 21.
[8] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak..., hlm. 67.
[9] Abdur Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, hlm. 41.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-II, Edisi Revisi, 2008, hlm, 62.
[13] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak...., hlm. 79. 
[14] Dr. Rinto Anugraha, mengenal-Equation Of Time.file_html, diunduh tanggal 01 April 2011 pukul 10.53. Lihat juga Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm. 238.
[15] Lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori & Praktek, hlm. 69. Bandingkan dengan Pedoman Hisab Muhammadiyah, hlm. 57.
[16] Abdur Rachim, Ilmu Falak...., hlm. 47.
[17] Ibid, hlm. 48.
[18]Almanak-almanak astronomis seperti The Nautical Almanac dan American Ephemeris selalu memuat saat matahari berkulminasi dalam data harian. Dalam The American Ephemeris saat matahari berkulminasi diistilahkan dengan Ephemeris Transit. Datanya disediakan dalam satu jam, menit dan detik sampai 2 angka dibelakang koma. Sementara itu, dalam Almanac Nautika matahari berkulminasi diistilahkan Merr Pass (singkatan Meridian Pass) mempergunakan satuan jam dan menit. Dalam Almanac Nautika juga disediakan data perata waktu (Equation Of Time / Ta’dil al-Waqt) untuk jam 00 dan jam 12.00 GMT dalam satuan menit dan detik. Untuk memperoleh saat matahari berkulminasi dengan menggunakan perata waktu bisa diberi tanda e yang dapat dirumuskan: Saat Kulminasi = 12j-e. Untuk mengetahui data perata waktu dalam Almanac Nautika itu bertanda positif atau negatif, perlu dilihat Mer Pass nya. Jika Mer Pass lebih dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda negatif (-), dan jika Mer Pass nya kurang dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda positif (+). Data perata waktu menentukan saat matahari berkulminasi setiap hari berubah, namun dari tahun ke tahun relatif sama. Lihat catatan kaki no 19 Susiknan Azhari dalam Hisab Awal Waktu Shalat, Yogyakarta: Modul Pelatihan Hisab Rukyat Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2007, hlm. 10.
[19] Sayuthi Ali, Ilmu Falak I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 65.
[20] Abdur Rachim, Ilmu Falak... 
[22] Atau dengan simbol lain dirumuskan LMT = AST-e. LMT (Local mean Time), AST (Apparent Solar Time), e (Equation Of Time). Lihat Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010, hlm. 22.
[23] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (semarang, 1988), hlm. 47.
[24] Austria-Hungaria, Brazil, Chile, Kolombia, Costa Rica, Perancis, Jerman, Inggris, Guatemala, Hawii, Italia, Jepang, Liberia, Meksiko, Belanda, Paraguay, Rusia, San Domingo, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Amerika Serikat, Venezuela, dan Salvador lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[25] http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[26] http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[27] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (Semarang, 1988), hlm. 51.
[28] Muhyiddin Khazan, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Buana pustaka, 2004), hlm. 69.
[29] Ibid
[30] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (semarang, 1988), hlm. 54.
[31] Sunarjo dan Sukanto, Riwayat Waktu di Indonesia Dan Perkembangannya, (Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, 2007), hlm. 81.
[32] Muhyiddin Khazan, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Buana pustaka, 2004), hlm. 71.

1 komentar: