Senin, 05 Desember 2011

MENILAI KUALITAS HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF (ANALISIS CIRI DAN CONTOH HADITSNYA)


A.     PENDAHULUAN
Hadits, diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah al-Qur’an, yang dalam tataran aplikasinya dijadikan hujjah keagamaan dan kehidupan. Secara struktural hadits Nabi saw merupakan sumber ajaran islam setelah al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problema umat manusia di dalam al-Qur’an, maka kita harus dan wajib kembali pada hadits. Oleh karena itu, hadits memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam al-Qur’an.
Ditinjau dari sejarah periwayatannya, hadits nabi berbeda dengan al-Qur’an. Jika al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadits nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Oleh karena itu, al-Qur’an dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai qath’i al-wurud, sehingga tidak diperlukan penelitian tentang keasliannya. Sementara hadits nabi sebagian berkedudukan sebagai qath’i al-wurud, dan sebagian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan sebagai zhanni al-wurud.[1] Maka dari itu diperlukan penelitian untuk mengetahui  apakah periwayatannya dapat dipertanggungjawabkan berasala dari nabi atau tidak.
Untnuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dipertanggungjawabkan keasliannya berasal dari nabi, diperlukan penenlitian sanad dan matan hadits yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut akan diketahui tingkat akurasi dan keaslian suatu hadits, apakah berstatus maqbul (dapat diterima sebagai dalil) atau berstatus mardud (ditolak sebagai dalil).

B.        HADITS SHAHIH, HASAN, DHA’IF (KLASIFIKASI, CONTOH DAN ANALISIS)
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits dapat dibagi menjadi dua, pertama hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dha’if. Menurut Ulama hadits sejak zaman Turmudzi dan sesudahnya, pembagian hadits secara garis besar ada tiga macam, yakni: hadits shahih, hasan dan dha’if.

1.    HADITS SHAHIH
a.    Pengertian Hadits Shahih
Menurut bahasa, shahih berarti sehat, selamat dari aib, benar atau betul. Meurt istilah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya, dieiwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan catat. Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama.
الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً
Artinya; "Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan maupun cacat.[2]
Sedangkan Menurut  para ulama mutaakhirin, bahwa hadits shahih adalah:
ما نقاله عدل تام الضبط متصل السند عير معلل ولا شاذ
Artinya: “Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ke-dhabitan-nya, antara sanad-sanadnya bertalian atau bersambung, tidak mengandung ‘illah, dan tidak ada kejanggalan (syadz) di dalamnya.[3]
أما الحديث الصحيح فهوالحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العادل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا
Artinya: “Hadis shahih adalah yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai akhir sanad-sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat).
Menurut Imam al-Nawawi, yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
Artinya; "Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat.[4]
Dari beberapa definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur yakni: 1. Bersambung sanadnya, 2. Diriwayatkan oleh perawi yang adil, 3. Diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, 4. Terhindar dari syadz, 5. Terhindar dari ‘Illat. Adapaun syarat-syarat diperinci sebagai berikut:

b.    Syarat-Syarat Hadits Shahih
Para ahli hadits awal sampai anad ketiga hijriyah tidak secara eksplisit mendefinisikan hadits-hadits yang dapat dianggap shahih. Merka hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh. Maka dari itu, untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteriakriteria sebagai berikut:
1)      Rawinya Bersifat Adil
Arti adil di sini ialah memiliki sifat-sifat: Istiqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, tidak fasiq (tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar), dan memelihara muru’ahnya (memelihara keturunan dirinya).[5]
Adapun inti dari sifat adil adalah berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara. Orang-orang yang selalu berpedoman kepada adab-abad sayara’, baik terhadap perintah-perintah yang harus dilakukan, maupun larangan yang harus ditinggalkan. Menurut Ibnu Sam’any, keadilan seorang perawi harus memenuhi empat syarat; selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
2)      Sempurna Ingatan (Dhabith)
Yang dimaksud dengan Dhabith ialah orang yang kuat ingatannya, ia memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Artinya bahwa ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya. Seseorang dikatan Dhabith apabila ia tidak pelupa, hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, bila ia memberikan hadits, dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan, bila diriwayatkan dari kitabnya, ia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.[6]
3)      Sanad Hadits itu Harus Bersambung
Sanad hadits itu sejak dari mukharrijnya samapai kepada Nabi tidak ada yang terputus. Artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberi hadits.
4)      Hadits Itu Tidak Ber’illat
Maksudnya, hadits tidak mengandung penyakit yang membuat samar suatu hadits sehingga dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits  munqathi’ (yang gugur salah seorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘illat hadits yaitu adanya suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.
5)      Tidak Janggal (Syudzudz)
Artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dhabitan rawi atau sanadnya yang lain.

c.    Contoh Hadits Shahih
       Contoh, sebuah hadits shahih dalam Shahih Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ
 عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)
Hadits diatas dihukumi sebagai hadits shahih karena:
1.      Sanadnya tersambung, sebab masing-masing periwayat yang meriwayatkan telah mendengar haditsnya dari gurunya.
2.    Para periwayat hadits diatas semuanya adil dan dlabith, yaitu: Abdullah bin Yusuf: orangnya tsiqah (terpercaya) dan mutqin (cermat) ßàMalik bin Anas: Imam sekaligus hafidz ßàIbnu Syihab Az-Zuhri: orangnya faqih, hafidz, disepakati tentang ketinggian kedudukan dan kecermatannya ßàMuhammad bin Jabir: tsiqah ßàJabir bin Muth’im: sahabat.
3.      Tidak ada Syad, karena tidak bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat
4.      Tidak ada illat (cacat) dalam hadits tersebut.

d.      Klasifikasi Hadits Shahih
1)   Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syu-dzudz dan tidak ada ‘Illat yang tercela.[7]
Contoh Hdits Shahih li-Dzatihi:
قال رسول الله ص م المسلم من سلم السلمون من لسا نه ويده والمهاجر من هجر
ما نهرالله[8] متفق عليه
Artinya: “Rasulullah bersabda: “yang dimaksud dengan orang islam (muslim) ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya; dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah.”
Jika dilihat dari segi perawinya, hadits di atas termasuk hadits masyhur. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut: Adam bin Ilyas ßà Syu’bah ßà Ismail dan Ibnu Safar ßà as-Sya’by ßà Abdullah bin Amr bin Ash.[9]
Perawi dan sanad bukhari ini, semuanya memenuhi lima syarat hadits shahih sebagaimana telah dikemukakan di atas. Karenanya, maka hadits tersebut, termasuk hadits shahih li-dzatihi. Adapun kemasyhuran hadits tersebut, tidaklah menjadi ukuran akan keshahihannya.
Contoh Hdits Shahih li-Dzatihi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نا فع عن عبدالله ان رسول الله
 ص م قال إذا كانوا ثلا ثة فلا يتناجى اثنان دون الثالث[10]
Artinya: (kata Bukhari) “Telah menceritakan kepada kami “Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah saw  bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.
Hadits di atas memiliki sanad yang bersambung dari seorang rawi kepada Nabi saw. Bukhari ßà‘Abdullah ßàMalik ßàNafi’ ßà‘Abdullah (Ibnu Umar)ßà Rasulallah saw.
Perawi mulai pertama sampai ke 5, semuanya bersifat adil, kepercayaan dan dhabit dengan sempurna. Adapun Rasulallah saw tentu tidak perlu kita kaji tentang sifat beliau. Tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih kuat, dan tidak ada ‘Illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela. Mempunyai syarat-syarat sebagaimana tertera yang ada dalam syarat-syarat shahih, maka dari itu, hadits di atas termasuk dalam katagori hadits yang shahih.

2)   Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
 يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر
 ذالك القصورالواقع فيه
Artinya: “Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
Misalnya ada dua buah hadits yang semakna dan sama-sama berkualitas hasan hasan li-dzatihi, kemudian ada ayat yang sesuai dengan hadits tersebut, maka kualitas hadits itu meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Demikian juga, bila ada hadits hasan li-dzatihi yang sesuai dengan hadits yang berkualitas shahih li-dzatihi, maka dilihat dari jalur hadits yang tadinya berkualitas hasan tersebut, maka jadilah ia sebagai hadits shahih li-ghairihi. Sedangkan yang semula berkualitas shahih li-ghairihi, tetap kualitasnya sebagai asalnya.[11]
Contoh Hadits Shahih li-Ghoirihi
Contoh hadits shahih li-ghoirihi adalah hadits Bukhary dari Ubay bin al-‘Abbas bin Sahal dari ayahnya (‘Abbas) dari neneknya (Sahal), katanya:
كان لنبى صلى الله عليه وسلم فى حا ئطنا فرس يقا ل له الحيف
Artinya: “Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami yang bernama al-Luhaif”
Ubay bin al-‘Abbas oleh Ahmad dianggap kurang baik hafalannya. Oleh karena itu, hadits tersebut derajatnya hasan li-dzatihi. Tetapi oleh karena hadits Ubay tersebut mempunyai mutabi’ yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka naiklah derajatnya dari hasan li-dzatihi menjadi shahih li-dzatihi.[12]
لولا ان اشق علي امتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Artinya: “sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersikat gigi (siwak) setiap menjelang shalat.”
        Salah seorang rawi dari snad hadits ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr bin al-Qamah. Dia termasuk orang yang dapat dipercaya, akan tetapi hafalannya masih diperselisihkan oleh ulama kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawinya yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah. Karenannya, kualitas hadits tersebut hasan li-dzatihi. Kemudian, ada sanad yang lain yang memuat hadits tersebut. Maka dengan demikian, hadits tersebut meningkat derajatnya menjadi hadits shahih li-ghairihi.[13]
Contoh Hadits Shahih li-Ghoirih:
حدثنا عمربن علي قال حدثنا أبوقتيبه قال حدثنا عبدالرحمن ابن عبدالله بن دينار
عن أبيه قال سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب[14] ....
Artinya: “(Bukhari berkata): telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar dari bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru syi’ir Abi Thalib....
Sanad pada hadits di atas bersambung dari Bukhari ßà ‘Amr bin ‘Ali ßàAbu Qutaibah ßà‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar ßà Bapaknya (yaitu ‘Abdullah bin Dinar) ßà Ibnu ‘Umar. Dan perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan sempurna hafalannya, hanya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar yang derajatnya kurang sedikit dari yang lainnya, tetapi tidak lemah. Maka martabat sanad yang seperti inilah yang dinamakan hadits li-dzatihi.
Dalam riwayat lain menurut Imam ibnu Majah Sanad hadits di atas bersambung mulai dari: Ibnu Majah ßà Ahmad bin al-Azhar ßà Abnun-Nadlr ßà Abu ‘Aqil ßà ‘Umar bin Hamzah ßà Salim ßàBapaknya (yaitu Ibnu Umar). Ada martabat sanad pada no 2 dan 5 martabat perawinya kurang dapat dipercaya, tetapi tidak sampai lemah.
Ringkasnya, baik versi Bukhari maupun Imam Ibnu Majah keduanya menunjukkan bahwa saling menguatkan

2.        HADITS HASAN
a.    Pengertian Hadits Hasan
Yang dimaksud dengan hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang yang adil tetapi kurang sedikit dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat. Sehingga pengertian hadits hasan oleh para ulama mutahaddisin didefinisikan sebagai berikut:
مالايكون في اسناده من يتهم بالكدب ولا يكون شاذا ويروى من غير وجه نحوه فى المعنى
Artinya: “ialah hadits yang pada snadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka sesungguhnya hadits hasan itu tidak ada perbedaannya dengan hadits shahih, terkecuali hanya dibidang hafalannya. Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibandingkan dengan yang shahih. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih sama.[15]
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga memiliki lima kriteria. Akan tetapi, pada kriteria ke-dhabitan perawinya kurang sempurna. Dengan demikian, maka definisi hadits hasan, adalah hadits yang riwayat perawinya adil, kurang dhabit, sanad-sanadnya bersambung, tidak mengandung ‘Illah dan tidak syadz.[16]
Untuk membedakan hadits shahih dengan hadits hasan, jumhur muhaddisin memberikan penegertian sebagai berikut:
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
Artinya: ”hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.”
Berdasarkan definisi di atas, nampak jelas perbedaan yang tegas antara hadits shahih dan hadits dha’if dengan hadits hasan. Perbedaan hadits hasan itu terletak pada syarat kedhabitan rawinya, yakni pada hadits hasan kedhabitannya lebih rendah (tidak begitu baik ingatannya).
Contoh Hadits Hasan
حق على المسلمين أن يغتسلوا يوم الجمعة واليمس أحدهم من طيب أهله فإن لم
يجد فلماء له طيب
Jika dianalisis hadits di atas yahya Isma’il bin Ibrahim at-Taimy, Yazid bin Abi Ziyad, Abdur rahman bin Abi Laila dan al-Barra bin ‘Azib, maka hadits tersebut adalah hadits Dha’if. Karena Isma’il bin Ibrahim at-Taimy itu didha’ifkan oleh para ahli hadits.

0 komentar:

Posting Komentar