Selasa, 06 Desember 2011

`AWARIDH AL-AHLIYAH (HALANGAN ATAS KEMAMPUAN)


Oleh: Prof. Dr. KH. Ahmad Fauzan, MSI
A.  Pendahuluan
Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa diantara syarat subjek hukum adalah kecakapan hukum untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum. Kecakapan dikenai hukum (Ahliyah Al-Wujub) berlaku untuk seseorang dalam kapasitasnya sebagai manusia. Hal ini berarti bahwa semua manusia cakap dikenai hukum. Oleh karena itu tidak satu pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk dikenai hukum.
Kecakapan untuk berbuat hukum (Ahliyah Al-Ada`) tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini baligh dan berakal. Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum (mukallaf).
Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang manusia yang telah memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-kadang terjadi pada dirinya sesuatu yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu untuk tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya. Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapanya untuk berbuat itu disebut `Awaridh Al-Ahliyah (halangan taklif).

Halangan taklif itu dapat dikelompokkan pada dua kelompok.
Pertama, halangan yang timbul dari dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Halangan ini disebut halangan `Awaridh Samawi.
Kedua, halangan yang timbul dari dirinya sendiri atau tersebab kehendak atau daya sendiri. Halangan ini disebut `Awaridh Muktasabah.

B.  Pembahasan
1.      `Awaridh Samawiyah
Awarid samawiyah yaitu adanya halangan yang timbul dari dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Awarid samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda menurut bentuknya:
a.      Gila
Adalah kelalaian yang terdapat pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang semestinya. Maka perbuatan atau ucapan orang  gila tidak dapat menurut kehendak akal.
Keadaan gila seseorang dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu gila yang lama dan berketurusan (Muabbad) dan gila sementara (Ghair muabbad) yang terjadi dalam waktu tertentu dan tidak berketerusan.
Gila (Muabbad) yang berketerusan menggugurkan seseorang dari beban hukum sejauh menyangkut kewajiban fisik seperti shalat, puasa, kafarah dan lainya; karena pelaksanaan dari kewajiban ini memerlukan niat, sedangkan niat orang gila tidak diperhitungkan. Dalam kewajiban menyangkut harta benda, ia tidak bebas dari hukum selama gilanya itu. Kewajiban yang harus dilakukannya akan ditunaikan dari hartanya orang lain; seperti ganti rugi dari kejahatan yang dilakukan terhadap harta orang lain.
Adapun tindakannya yang berbentuk hukum, seperti akad, perbuatan dan urusan orang gila tidak sah dan tidak diperhitungkan secara hukum, karena niat yang merupakan sahnya akad tersebut tidak diperhitungkan pada orang gila.
Gila yang tidak memanjang (Ghair Muabbad), yaitu gila yang datang sewaktu-waktu dan dalam waktu yang tidak lama. Mengenai hukum yang berlaku terhadap gila yang tidak memanjang ini berbeda dengan hukum yang berlaku pada orang gila yang memanjang. Gila dalam bentuk ini ada yang merupakan penyakit bawaan dan ada yang muncul mendadak pada seseorang.
Untuk gila dalam bentuk ini tidak meniadakan pokok-pokok kewajiban; sebab tanggungjawab dan kewajiban tetap melekat padanya. Karenanya ia tetap mempunyai hak milik dan berhak mewarisi. Selama ditemukan adanya kewajiban, maka berlaku pula baginya tuntutan hukum. Tuntutan seperti ini gugur pada gila yang berketerusan karena ia tidak dapat melaksanakan tuntutan tidak tidak terpenuhi dan tidak pula diwajibkan qadha untuk menghidarkan kesulitan.
Adapun terhadap gila yang tidak berketerusan tetapi bersifat bawaan dan asli, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Menurut Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah), hukumnya disamakan dengan gila yang berketerusan yang menggugurkan semua beban hukum yang berbentuk fisik. Alasanya, karena gugurnya beban hukum dikaitkan kepada salah satu di antara waktunya yang memanjang atau berketerusan dan sifat bawaan. Sedangkan menurut Abu Yusuf (juga murid dan pengikut Ab Hanifah) berpendapat bahwa gila bawaan ini disamakan dengan sifat gila mendadak yang tida menggurkan beban hukum. Alasanya karena gugurnya beban hukum hanya dikaitkan kepada waktu lama yang memanjang.

b.      Idiot
Adalah kelalaian yang terdapat dalam akal yang menghalangi seseorang berfikir secara baik, sehingga ucapanya tidak menentu.  Sewaktu-waktu dia berbicara seperti orang gila dan di waktu lainnya seperti orang waras; demikian pula dengan tindakannya.
Perbedaan antara gila dan idiot, jika gila merupakan suatu penyakit yang menutupi fungsi akal serta memisahkan antara akal dan daya pikir, disertai gejolak dan gonjangan; sedangkan idiot pun merupakan suatu penyakit pada akal yang menghalangi seseorang menggunakan daya pikirnya yang disertai sifat dungu.  Terkadang ia mempunyai daya tamyiz tetapi terkadang tidak mempunyai daya tamyiz sama sekali. Idiot dalam kaitanya dengan kemampuan hukum daya tamyiz, status hukumnya sama dengan anak yang sudah mumayyiz; sedangkan dalam keadaan tidak mempunyai daya tamyiz status hukumnya sama dengan anak yang belum mumayyiz. Berbeda dengan orang gila yang dalam keadaan apapun sama status hukumnya dengan anak yang belum mumayyiz.
Meskipun ulama berbeda pendapat tentang hakikat gila dan idiot, namun semuanya berpendapat bahwa tindakan hukum orang idiot tidak sama dengan tindakan hukum orang waras. Orang idiot yang tidak mempunyai daya tamyiz sama keadaannya dengan orang gila. Dari diri orang idiot gugur taklif yang berbentuk fisik atau kewajiban badaniah, karena ia tidak mempunyai kecakapan berbuat hukum sama sekali. Tetapi kewajiban yang berbentuk materi tetap berlaku dan dibebankan kepada hartanya yang dilaksanakan oleh walinya.
Dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa idiot yang mempunyai daya tamyiz bebas dari segala beban hukum yang bersifat badani karena idiot itu sebagai suatu penyakit sebagaimana terdapat pada orang gila, bahkan ia merupakan satu bentuk dari gila. Karena itu terhalang untuk melaksanakan beban hukum. Ke –shah-an beban hukum berdasarkan pada kemampuan memahami hukum. Pemahaman ini didasarkan pada adanya akal; sedangkan pada diri orang yang idiot itu akalnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.  

c.       Lupa
Adalah tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikulkan kepadanya.
Dalam hukum islam “lupa” ini tidak meniadakan kecakapan untuk berbuat hukum, juga kecakapan untuk dibebani hukum, karena akal yang menyebabkan adanya kecakapan itu tetap dalam keadaan baik dan utuh. Hak-hak yang menyangkut lupa ini terbagi dua yaitu hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
Sejauh hak yang menyangut manusia, hak itu tidak gugur karena lupa. Dengan kata lain, lupa tidak dapat dijadikan dengan alasan untuk menghindarkan diri dari suatu hak. Bila ia melakukan sesuatu kejahatan atas seseorang dalam keadaan lupa, ia tetap dituntut untuk mempertanggungjawabkan kejahatanya itu. Bila ia tidak membayar hutang dalam suatu waktu karena lupa, ia tetap harus membayarnya sesudah ia mengingatnya.
Adapun yang bersangkutan dengan hak-hak Allah dalam keadaan lupa dapat dipandang dari 2 sisi:
1.      Tidak berhaknya orang lupa atas dosa dan tuntutan Allah yang didasarkan kepada hadist Nabi yang mengatakan:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان
Artinya: Diangkatkan dari umatku dosa atas perbuatan yang dilakukan atas  dasar kesalahan dan kelupaan.
2.      Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan lupa itu membawa akibat  hukum bila di situ terdapat hal-hal yang memperingatinnya untuk tidak lupa dan tidak ada hal-hal yang mendorongnya untuk berbuat.
Bila kedua syarat itu tidak ditemukan, yaitu tidak ada yang mengingatkannya untuk tidak lupa atau ada yang mendorongnya untuk berbuat, maka perbuatan itu tidak membawa akibat hukum, artinya tidak batal. Umpamanya orang yang sedang puasa makan karena lupa.

d.      Tidur
Keadaan tertidur merupakan halangan taklif bersifat temporer yang dalam waktu itu seseorang tidak dapat memahami tuntutan hukum. Oleh karena itu tertidur termasuk salah satu sebab di antara sebab-sebab gugurnya tuntutan hukum sejauh yang menyangkut hak Allah. Tuntutan itu kembali lagi seketika setelah halangan itu hilang (terbangun).
Contoh keadaan tertidur itu umpamanya tertidur dalam waktu yang harus melakukan shalat. Dalam waktu tidurnya ia tidak dituntut untuk melakukan shalat, tetapi setelah ia bangun harus melakukan shalat yang belum dilakukanya itu. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

Artinya: Seseorang tertidur dalam waktu shalat, hendaklah ia melakukan     shalat itu setelah ia terbangun.
Adapun yang berhubungan dengan hak sesama manusia, bagi orang tertidur itu tidak menggugurkan tuntutan hukum. Karena itu apabila dalam tidurnya ia berbuat kejahatan atas seseorang seperti ia jatuh dalam tidurnya dan menimpa seseorang hinggga mati, maka ia dituntut sebagai pelau kejahatan secara tersalah; karenanya wajib diyat tetapi tidak wajib hukum qishash.
Di samping ia tidak bedosa, kepadanya tidak dikenakan hukum sebagaimana yang dikenakan kepada pelaku yang berbuat secara sadar. Sebagaimana hadist:

رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق

Artinya: Diangkatkan kalam (tuntutan) dari tiga hal: dari anak-anak sampai ia dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dan dari orang gila sampai ia waras.

Bila kejahatanya berlaku atas harta benda, maka ia harus menggantinya dengan hartanya sesudah ia sadar dari tidurnya.
Adapun yang menyangkut ucapan-ucapan orang tidur dalam akad-transaksi dan pembebasan-pembebasan, maka tidak shah karena keseluruhanya sangat tergantung pada kesadaran berbuat, sedangkan orang tidur tidak mempunyai kesadaran.

e.       Pingsan
Pingsan merupakan halangan termporal yang menyebabkan seseorang tidak dapat memahami tuntutan hukum dan menjalakannya, melebihi halangan taklif yang berlaku atas orang tidur. Karena itu segala hukum yang berlaku terhadap orang tidur juga berlaku pula terhadap orang pingsan. 

f.       Sakit
Pengertian sakit disini adalah penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan kewajiban hukum.
Sakit tidak menghilangan kecakapan dalam berbuat hukum, karena pada orang sakit akal yang menjadi dasar adanya kecakapan tetap dalam keadaan utuh. Hanya dalam hal ini hukum syara` memberikan keringanan dalam melaksanakan hukum. Unpamanya dalam keadaan sakit boleh ia tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Bolehnya tidak berpuasa itu bukan berarti kewajiban puasa digugurkan untuk orang sakit, tetapi hanya penangguhan sebagai keringanan baginya dalam berbuat. Ia harus melakukan puasa yang tertinggal itu sewaktu ia telah sehat.
g.      Haid & Nifas
Haid dan nifas tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada`. Akan tetapi syara` menjadikan keduanya sebagai sebab gugurnya kewajiban melakukan puasa. karena itu kedua orang yang sedang haid dan nifas wajib mengqada`nya setelah mereka suci, tanpa dosa sedikit pun. Dalam masalah shalat dibedakan ketentuan antara orang yang haid dan nifas. Yakni haid itu menyebabkan gugurnya kewajiban shalat bagi orang yang sedang haid disebaban haid sudah menjadi tabi`at yang permanen bagi setiap orang wanita. Jadi andai kata kewajiban shalat tidak gugur artinya ia harus mengqada` setiap suci dari haid, niscaya akan memberatkan kaum wanita. Sedang nifas itu hanya menggugurkan kewajiban melaksanakan (pada saat sedang nifas) saja, artinya orang yang sedang nifas gugurlah kewajiban menjalankan shalat pada waktu itu, sebab nifas itu tidak permanen sebagaimana halnya haid.

h.      Mati
Kematian menggugurkan kewajiban hukum taklifi yang bersifat badani dan keduniaan, seperti shalat, puasa, haji, dan lainya. Kelalaian melakukan kewajiban menjelang kematiannya tetap menjadi dosa yang terbawa dalam kematiannya.
Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang bersangkutan denganya, jika hak itu dalam bentuk materi, maka hak itu tetap berlaku selama materi itu masih ada secara utuh, seperti amanat, titipan, barang rampasan, barang yang dibeli yang belum dibayarnya. Alasanya ialah bahwa yang dimaksud dengan kewajiban di sini adalah kembalinya hak tersebut kepada pemiliknya, yang demikian dapat berlaku meskipun yang berkewajiban sudah mati.
Adapun kewajiban ibadat, hukumnya berbeda dengan kewajiban materi, karena yang dituju adalah perbuatan itu dilakukan oleh yang dikenai kewajiban. Hal seperti ini tidak dapat dilakukan sesudah mati.
Bila hak orang lain yang berkaitan dengannya itu dalam bentuk hutang,maka hak itu tidak ada lagi dengan semata tanggungjawab; karena tanggungjawab itu menjadi lemah dengan adanya kematian itu. Hak dan tanggungjawab itu ada bila dikuatkan dengan harta peninggalan yang ditinggalannya atau penjamin hutang yang telah ditetapkan sebelum kematiannya; karena keadaan orang mati yang mempunyai harta memungkinkan untuk menyelesaikan hutangnya, sedangkan tanggungjawab penjamin hutang menguatkan tanggungjawab orang mati yang sudah melemah itu.
Dua orang murid dan pengikut Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani dan imam mujtahid lainnya berpendapat bahwa jaminan yang diberikan sesudah kematiannya adalah sah, karena orang mati belum bebas dari kewajiban membayar hutang karena kematiannya itu; karenanya ia dituntut untuk menyelesaiakan hutangya itu bila ada hartanya. Bila tampil seseorang secara sukarela membayarkan hutangya, maka pihak yang berpiutang boleh mengambilnya. Usaha sukarela itu dianggap sebagai penjamin sebagaimana jaminan atas orang pailit.

 
2.    `Awarid Muktasabah
`Awarid Muktasabah yaitu halangan yang menimpa seseorang dalam menghadapi beban hukum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan manusia atau dalam keberadaanya masih didapatkan kehendak manusia walaupun dalam keadaan terbatas. Yang termasuk ke halangan bentuk ini adalah:

a.      Bodoh
Adalah kelemahan yang tedapat pada seseorang yang menyebabkan ia berbuat dalam hartanya menyalahi apa yang dikehendaki oleh akal yang sehat. Safih tidak meniadakan sesuatu pun dari hukum syara`. Terhadapnya berlaku tuntutan syara`.  Baik yang berhadapan dengan hak-hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba karena ia mukallaf secara penuh. Apabila ia menegrjakan suatu kejahatan, ia dikenai oleh sanksi hukum yang berlaku terhadap orang yang tidak safih dengan tidak kurang sedikit pun. 
Jumhur ulama mengatakan bahwa akad yang dilakukan oleh safih yang tidak berhubungan dengan kebendaan, terlaksanakan secara sempurna. Hanya karena kelemahan pada dirinya, menyebabkan ia dalam perlindungan syara` untuk menjaga hartanya dari kerusakan. Untuk maksud itu hukum membatasi kemerdekaannya untuk bertindak atas hartanya demi menjaga hartanya itu. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa` ayat 5:
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% ÇÎÈ  
Artinya:  jangan kamu berikan harta kepada orang safih yang Allah telah menjadikanmu sebagai pemeliharanya.
            Tentang apakah safih memerlukan pengampunan, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama:
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa wajib hukumnya mengadakan pengampunan terhadap orang safih. Ulama ini mengemukakan alasanya:
a.       Ayat An-Nisa` di atas menunjukkan bahwa tidak boleh menyerahkan harta kepada orang safih. Hartanya itu harus di tangan wali yang akan bertindak untuk melaksanakan akad atas nama si safih.
b.      Kemaslahatan harta orang safih terletak pada usaha pengampunan (perlindungan) atas dirinya sehingga hartanya tidak terbuang sia-sia.
2.      Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh melakukan perlindungan terhadap orang safih. Ia mengemukakan alasan sebagai berikut:
a.       Kecakapan bertindak hukum, ukuran kesempurnaannya adalah akal. Akal itu secara sempurna itu terdapat pada orang safih dengan alasan ia dikenai tuntutan untuk melaksanakan beban hukum. Bila keadaan akan normal secara sempurna sedangan orang yang berada dibawah perlindungan dianggap dianggap tidak cakap bertindak hukum secara sempurna.
b.      Tidak ada kemaslahatannya mengadakan perlindungan atas orang safih; tidak untuk dirinya yang tidak pula untuk masyarakat. Tidak adanya maslahat untuk dirinya karena perlindungan itu berarti mengorbankan kemerdekaan dan kemanusiaan.

 b.      Mabuk
Adalah tertutupnya akal disebabkan oeleh minuman atau makanan sesuatu yang mempengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak mementu seperti igauan orang tidur dan secara fisik ia sehat.
Mabuk dari cara-cara penyebabnya terbagi dua:
1.      Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang pelakunya dinyatakan tidak berdosa, seperti mabuk disebabkan minum khamar dalam keadaan terpaksa, mabuk karena makan atau minum obat yang tidak tahu pengaruhnya.
2.      Mabuk yang disebabkan oeleh usaha yang terlarang, seperti sengaja minum-minuman keras yang ia tahu minuman itu memabukkan dan tahu pula bahwa perbuatan itu terlarang.
Mabuk dalam bentuk pertama tidak dituntut bila ia melakukan pelanggaran sejauh yang menyangkut ha Allah karena ia diberi udzur atas mabuknya itu, baik dalam bentuk tindakanya maupun dalam bentuk ucapannya. Dengan demikian akad jaul beli dan nikah yang dilakukannya tidak shah dan tidak mempunyai akibat hukum. Ia tidak berdosa meninggalkan amal ibadah mahdhah selama ia mabuk itu. Kejahatan yang dilakukannya sejauh yang harus dipertanggungjawab-kannya secara fisik, dimaafkan dan tidak dituntut. Karena itu bebas dari had-had atau hukuman badaniyah seperti berzina, menuduh berzina dan mencuri. Adapun yang menyangkut ganti harta, ia tidak bebas dan harus harus dikeluarkannya dari hartanya. Hal itu sudah menjadi kesepakatan ulama.
Adapun mabuk dalam bentuk kedua, ia berdosa karena perbuatan mabuknya itu. Sedangan mengenai hukum yang berlaku terhadap akibat dari perbuatan mabuknya itu, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama:
1.      Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagainya ulama Syafi`iyah berpendapat bahwa mabuk dalam bentuk kedua dituntut atas segala bentuk tindakannya secara sempurna. Artinya, mabuknya itu tida menggugurkan sama sekali dari beban hukum. Segala tindakan dan ucapannya adalah sebagaimana tindakan dan ucapan orang sehat dikenal sanksi yang dibebankan yang dibebankan atas orang sehat.
Akad yang dilakukan orang mabuk ini terlaksana; thalak yang diucapkanya dalam keadaan mabuk terjatuh sesuai dengan apa yang diucapkanya. Sebagai kelanjutannya, maka kejahatan kejahatan yang dilakukannya harus dipertanggungjawabannya secara utuh. Ia dihukum atas perbuatannya, baik hukuman fisik atau hukuman harta.
Melakukan sebab secara sadar selama sebab itu masih dalam batas-batas ihtiarnya. Maksiat yang dilakukan seseorang tidak pantas untuk dijadikan alasan diberikan keringanan.
2.      Imam Ahmad dan Imam Syafi`i serta Imam Malik dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa orang mabuk yang tidak menyadari apa yang diucapkannya  tidak shah akadnya, karena yang menjadi dasar akad adalah kerelaan. Bila hilang kesadarannya, maka tidak diperhitungkan relanya tadi. Demikian pula tidak dibebankan kepadanya sanksi hukum yang bersifat badan yang dapat digugurkan dengan syubhat (qishas dan hudud), karena sanksi ini dapat dihindarkan dengan syubhat.
Apabila seseorang yang sedang mabuk memberikan pengakuan dalam hal-hal kejahatan yang mungkin pengakuan itu dicabut seperti pengakuan berzina, minum khamar dan mencuri, ia tidak dikenai had karena keadaanya sedang mabuk itu menghendaki pencabutan pengakuannya itu. Bila orang mabuk memberikan pengakuan dalam hal-hal tidak bisa ditarik kembali seperti qishash, tuduhan berzina atau langsung melakukan sebab-sebab yang menimbulkan had seperti berzina atau mencuri atau menuduh zina, ia dikenal had bila sadar mabuknya. 

c.       Jahil (ketidaktahuan tentang adanya hukum)
Hukum Islam telah dijelaskan dalam sumber-sumbernya. Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya dengan alasan tidak tahu. Tidak tahu seperti ini tidak dapat ditempatkan sebagai uzdur selama ia masih berada dalam lingkungan wilayah Islam.
Sifat paham atau mengetahui tentang hukum dapat dibagi ke dalam 2 bentuk:
1.      Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang yang akalnya tidak memungkinkan untuk mengetahuinya. Karena pengetahuan tersebut dapat ditemukan dimana-mana.
2.      Pengetahuan secara khusus yaitu menyangkut furu`  ibadat atau pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang-orang yang secara khusus mempelajarinya atau ulama.

Selanjutnya para ulama memisahkan ketidaktahuan tentang hukum kepada empat macam:
1.      Ketidaktahuan yang tidak bisa dimaafkan dan tidak ada kesamaran, seperti murtad setelah iman, melanggar hukum yang ditetapkan keharamannya secara pasti dalam Al-Qur`an dengan menganggapnya halal, atau hukum-hukum yang telah ditetapkan secara mutawatir dan telah disepakati.
2.      Ketidaktahuan yang dimaafkan karena adanya kesamran dalil, seperti ketidaktahuan tentang masalah-masalah yang perlu adanya ta`wil dan tafsir yang tidak jelas kecuali setelah diselidiki dan dipikirkan secara mendalam.
3.      Ketidaktahuan tentang masalah yang menjadi obyek ijtihad, yang tidak ada sandaran dalil yang pasti atau adanya kesamaran yang dapat menggugurkan hukuman.
4.      Ketidaktahuan tentang hukum Islam bagi orang yang tinggal di negara (lingkungan) non muslim. Sehingga menurut jumhur fuqaha dapat menggugurkan taklif hukum syara`.  
  
d.      Tersalah (Al-Khatha`)
Adalah terjadinya suatu perbuatan atau perkataan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelakunya. Tersalah jika melaukan perbuatan yang menyebabkan suatu kejahatan adalah juga suatu kejahatan. Namun kejahatanya terletak pada ketidakhati-hatiannya dalam berbuat; bukan kejahatan dalam materi perbuatan. Sehingga sanksi kejahahatan terselah itu tidak seberat sanksi sebagaimana sanksi kejatan yang dilakukan secara sengaja. Oleh karena itu bila seseorang merusak harta orang lain karena tersalah, tetap ia kewajiban mengganti kerusakan itu. Demikian pula dalam pembunuhan tersalah, meskipun ia bebas dari hukum qishas, namun ia tetap dikenai kewajiban diyat sebagai pengganti qishas.
Namun kesalahan dalam perhitungan sebagaimana yang dilakukan oleh tim medis kadang-kadang membawa rasa sakit, kematian atau pemotongan, tidak wajib dipertanggungjawabkan oleh pelakunya menurut kesepakatan ulama. Yang menjadi dasar pembebasan tanggungjawab ini ia berbuat berdasarkan pengetahuannya dengan segenap kemampuannya. Bila ia tersalah karena ketidaktahuannya atau kelalaiannya sehingga menyebabkan orang lain sakit, mati atau terpotong anggota badan tubuhnya maka perbuatan itu harus dipertanggungjawabkannya.

e.       Terpaksa
Adalah kondisi yang membuat seseorang harus melakuakan atau mengucapakan sesuatu yang tidak dia inginkan, artinya dia selamanya tidak rela terhadapnya. Karena itu paksaan dan rela adalah dua kata yang berlawanan.
Dari segi bentuk keterpaksaan, ulama Hanafiyah membagi paksaan itu kepada dua bentuk:
1.      Ikrah Mulji` yaitu keterpasaan yang tidak memungkinkan bagi orang yang dipaksa melepaskan dirinya dari ancaman si pemaksa. Paksaan dalam bentuk ini di samping menghilangkan kerelaan untuk berbuat, juga merusak atau meniadakan alternatif lain. Alat pemaksaaanya adalah sesuatu yang menyebabaan kematian atau merusak anggota badan.
2.      Ikrah ghairu mulji` yaitu paksaan yang masih mungkin pihak yang dipaksa untuk menghindarkan diri dari melakukan perbuatan yang dipaksakan. Sebab yang menjadikan seseorang terpaksa dalam hal ini adalah dalam bentuk pukulan yang tidak membawa kepada kematian atau kerusakan anggota badan. Paksaan dalam bentuk ini memang menghilangkan kerelaan, tetapi tidak menghilangkan alternatif, dalam artian masih dapat memilih alternatif untuk tidak melakukan yang terlarang.

f.       Dalam perjalanan
Adalah dalam keadaan tertentu dalam perjalanan yang menyulitkan seseorang untuk melaukan kewajiban agama. Kesulitan dalam perjalanan ini pada dasarnya tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum. Meskipun demikian karena hukum syara` menginginkan keringanan kepada umatnya, maka hukum syara` memberikan kemudahan kepada seseorang dalam perjalanan itu. Seperti tidak puasa dalam bulan Ramadhan dengan menggantikanya pada waktu lain atau menqshar shalat 4 reka`at dengan ketentuan yang diuraikan dalam kitab-kitab fiqih dan Al-Qur`an sebagaimana dalam surat An-Nisa` ayat 101:

#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# 4 ÇÊÉÊÈ    

4 komentar:

  1. Balasan
    1. PITIK ALAL BILAT, MANTUUUUUUL, JOOOOOOOOOOOOOOS!!!!

      Hapus
  2. TERIMA KASIH ATAS ILMUNYA KAK :)

    BalasHapus
  3. Izin memberi saran, alangkah baiknya setiap tulisan harus disertai sumber referensinya.

    BalasHapus