This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 04 Desember 2011

MENCERMATI GAGASAN PROF.DR.THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG HISAB RUKYAT & PERSATUAN HARI RAYA




oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar -- Cairo

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (TD) adalah Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN dan Anggota Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI. Ia begitu dikenal di tanah air, bahkan di dunia maya (Facebook), karena gagasannya yang "demikian" mengenai hisab rukyat dan persatuan hari raya. Selain banyak dipuji ia juga kerap di kritik. Menyimak artikel-artikelnya di blog dan ulasan-tanggapannya di media Facebook khusus berkaitan hisab rukyat dan persatuan hari raya yang mengerucut pada kritik tajam terhadap hisab Muhammadiyah, tampak kesan bahwa beliau sangat 'berambisi', untuk tidak mengatakan 'memaksakan', wujudnya kesatauan hari raya di negeri ini. Bagaimanapun niat dan usaha yang dilakukan kearah itu patut di apresiasi.
Bila dicermati, sesungguhnya antara Muhammadiyah dan NU dalam posisi yang sama. Ketika Muhammadiyah kuat dengan hisab yang seolah tak dapat goyah, disaat yang sama NU kukuh dengan rukyat yang tampak tak dapat berubah. Rukyat, dengan pengertian melihat secara indrawi masih menjadi harga dan menjadi keputusan formal NU yang belum bisa ditawar. Betapapun NU menyatakan hisab menjadi penopang namun dalam praktik rilnya rukyat bil fikli-lah yang menjadi penentu, bukan hisab, bukan pula hisab imkan rukyat 2-3-8. Kesan kebersamaan NU dan pemerintah dalam penetapan puasa dan lebaran lebih didasari pada faktor kebetulan, bukan karena NU telah mengadopsi 2-3-8. Suatu saat NU dan Pemerintah boleh jadi berbeda karena kriteria yang digunakan tidak sama. Dalam kenyataannya lagi, di lingkup internal NU masih ada keragaman yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial-nasional, contohnya kasus laporan rukyat Syawal 1432 H di Cakung, bahkan fenomena yang sama tidak terjadi satu kali. Tidak dipungkiri fenomena Cakung ini menjadi perhatian.
TD menyatakan, untuk wujudnya kalender yang mapan diperlukan tiga hal: (1) adanya batas keberlakuan (lokal, global), (2) adanya otoritas, dan (3) adanya kriteria. Faktanya, dalam konteks dan kondisi Indonesia saat ini tiga hal ini pada praktiknya masih problematis. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pada kenyataannya tidak cukup otoritatif (mengutip pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra di METRO TV). Ini mengindikasikan 'boleh' bagi masyarakat untuk berbeda dan tidak mengikuti keputusan tersebut. Selain merupakan ijtihad, dalam fikih Islam-pun ada toleransi masalah ini. Bahkan tak sedikit orang menganggap pengumuman (sidang isbat) Pemerintah sekedar formalitas, bernuansa politis dan menghamburkan anggaran. Anggapan yang selalu dibantah keras oleh TD.
Kriteria 2-3-8 yang gigih diusung TD untuk menjadi acuan dalam kenyataannya menurut para ahli dan pemerhati astronomi tidak ilmiah dan tidak cukup kuat menjadi solusi. Jika harus menerapkan 2-3-8, maka kondisi geografis-atmosfir dan luas wilayah NKRI yang demikian luas menjadi kendala. Prinsip wilayatul hukmi yang disinyalir menjadi solusi, kenyataannya juga menjadi rancu. Dengan mudah menyatakan "bila pemerintah telah menetapkan maka semua masyarakat dianjurkan mengikuti" sulit dimengerti karena selain "otoritas" yang belum kuat, ada pertentangan antara kewajiban patuh kepada ulil amri (pemerintah) dengan fakta ilmu pengetahuan yang sesungguhnya menjadi basis untuk eksisnya sebuah kalender Islam yang mapan.
Menguatkan hisab IR 2-3-8 nya, TD menyatakan terdapat beberapa negara muslim yang dipandang menggunakan IR. Salah satunya TD memberi misal negara Mesir. Menurutnya, Mesir menggunakan imkan rukyat dengan standar beda terbenam bulan – matahari > 5 menit. Hemat penulis klaim TD tidak benar dan informasi yang beliau kutip tidak valid. Dalam praktik formalnya, Mesir tetap menggunakan rukyat, dimana hal ini tertuang dalam buku "Kitâb ash-Shiyâm" (halaman 12) yang diterbitkan oleh Dâr al-Iftâ' al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir). Dalam faktanya, pemerintah melalui tim rukyatnya senantiasa melakukan observasi hilal (setiap menjelang awal bulan) yang tersebar pada 7 titik (lokasi) di penjuru Mesir. Selain itu, pengumuman yang biasa disampaikan Mufti Mesir (sekarang Prof. Dr. Ali Jum'ah) dalam haflah ru'yah al-hilal (istilah sidang isbatnya Mesir) setiap menjelang Ramadan – Syawal secara tegas menyatakan bahwa penentuan awal bulan dilakukan dengan rukyat yang dikonfirmasi dengan hisab astronomi. Jelas, penentuan awal bulan (Ramadan & Syawal) dan bulan-bulan lainnya di Mesir dilakukan menggunakan rukyat, bukan imkan rukyat. Adapun keputusan pemerintah Mesir menetapkan 01 Syawal 1432 H = 30 Agustus 2011 M adalah berdasarkan adanya laporan terlihat hilal di Arab Saudi (yang untuk tahun ini memang menjadi polemik), bukan karena Mesir secara faktual dan konseptual menggunakan standar imkan rukyat beda terbenam bulan – matahari > 5 menit seperti di klaim TD. Imkan rukyat sama sekali tidak menjadi standar negara Mesir dalam menetapkan idulfitri, namun fakta dan realitanya di Mesir relatif tidak pernah terjadi perbedaan. Bahkan, negara-negara muslim di kawasan Arab yang pada kenyataannya selalu beridulfitri secara sama di negeri mereka masing-masing, kebanyakan tidak menerapkan hisab, atau rukyat lokal, atau IR, namun hanya berpedoman/menunggu pada penetapan negara Arab Saudi. Ini membuktikan IR tidak menjadi pilihan satu-satunya persatuan walau juga tentunya bisa dijadikan alternatif. Agaknya, yang dapat ditangkap dan merupakan hal terpenting adalah adanya kesepakatan dan kesepahaman yang tidak membuka ruang pertentangan antara sains dan syariat. Mesir setidaknya telah membuktikan hal ini dengan pengecualian idulfitri 1432 H.
Perlu kiranya kita fahami, betapapun persoalan ini sangat berkaitan dengan sains (dalam hal ini astronomi) namun poros utama persoalan berada dalam ranah syariat (fikih) yang memang rentan terjadi perbedaan pendapat. Dikalangan ulama klasik berbeda pendapat merupakan hal biasa, namun memaksakan satu pendapat tidaklah menjadi tradisi mereka. Kesatuan (persatuan) hari raya dalam fikih-pun merupakan prioritas, namun dalam konteks kekinian dan keindonesiaan hanya mungkin terwujud apabila telah mapannya sebuah kalender secara keilmuan dan paralel dengan dalil syariat, serta adanya mekanisme (siyasah syar'iyah) yang otoritatif. Sebab situasi sosial, intelektual, politik, dan budaya di Indonesia sungguh berdinamika sehingga menuntut solusi tepat.
Secara keilmuan IR harus diakui bermasalah, secara otoritas penetapan Pemerintah juga dipandang tidak cukup otoritatif, dan secara dalil (syariat) pun IR sesungguhnya bermasalah. Masalah pada dalil syariat IR dimaksud adalah diantaranya TD dan atau orang yang berfaham IR 2-3-8 menyatakan hadis-hadis Nabi Saw berkaitan rukyat dapat difahami sebagai penguat (dalil) hisab IR. Hemat kami dalil ini (baca: hadis-hadis terkait) untuk IR tidaklah tepat. Disiplin ilmu keislaman yang cukup dekat mengkaji hadis-hadis baginda Nabi Saw ini adalah disiplin ilmu usul fikih. Melalui parameter usul fikih dengan perangkat yang ada dalam ilmu ini: sabab, 'illah al-hukm, iqtidha' an-nash, 'ibarah an-nash, mafhum mukhalafah dan perangkat lainnya, hadis-hadis itu hanya dapat difahami sebagai rukyat, bukan IR. Hadis-hadis rukyat secara umum menegaskan agar ketika hendak berpuasa dan atau berhari raya diawali dengan melihat (terlihat), jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan (istikmal, ikmal al-'iddah). Indikasi hadis ini tidak bisa difahami sebagai imkan rukyat adalah adanya penegasan kata "fa" (maka), "in" (jika) dan "ghumma, ughmiya" (tertutup awan, mendung).
Dalam terminologi usul fikih, "in" dalam redaksi Nabi Saw (fa in ughmiya...) difahami sebagai asy-syarth karena adanya jawab asy-syarth (...fa akmilu al-'adad) yang mengindikasikan jika hilal tidak terlihat maka dilakukan istikmal. Sementara itu huruf “fa’” (dalam hadis tersebut) yang merupakan huruf ‘athaf, menurut para ahli bahasa (Arab) adalah sebagai ta’qib yang mengindikasikan lafaz kedua menyusul lafaz pertama secara cepat dan tepat sesuai kadarnya. Natijahnya, hilal harus dilihat/terlihat jika tidak maka secara otomatis dilakukan penggenapan (ikmal al-'iddah). Sama sekali tidak ada indikasi IR.
Selain itu dipertegas lagi dengan sabda Nabi Saw yang melarang berpuasa dan atau hari raya sebelum (sampai) melihat hilal (la tashumu hatta tarau al-hilal wa la tufthiru hatta tarauhu ...). Kalimat "hatta" yang diartikan sebagai "sampai" dalam redaksi hadis tersebut yang bersambung dengan kata kerja "tarau" merupakan "ghayah". Jika ditinjau dari sisi mafhum al-ghayah (mafhum al-mukhalafah) maka makna hadis tersebut hanya bermakna tidak wajib berpuasa jika belum sampai terlihat/melihat hilal, jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan. Sama sekali tidak ada indikasi IR atau kemungkinan IR.
NU pun setidaknya sejauh ini memahami hadis-hadis ini sebagai rukyat bukan IR. Logika IR adalah apabila hilal dalam keadaan tertentu tidak memungkinkan terlihat namun telah memenuhi kriteria sebagai telah disepakati maka itu menyatakan keesokan harinya sebagai awal bulan. Sementara logika hadis-hadis rukyat adalah betapapun hilal memungkinkan terlihat namun jika tidak teramati secara indrawi maka keesokan harinya tetap dinyatakan bukan awal bulan, namun sebagai akhir bulan. Penegasan kata "fa", "in", "hatta" dan "ghumma, ughmiya" ini sekali lagi menjadi penyebab hadis ini tidak bisa difahami sebagai dan atau mengarah IR, namun tetap sebagai R. Wallau a'lam
Ya, hemat penulis, metode imkan rukyat dengan maksud untuk dapat mengakomodir hisab & rukyat secara sekaligus merupakan jalan keluar ideal. Para ulama astronomi muslim klasik semisal Ibn asy-Syathir (w. 777 H), Ibn al-Majdi (w. 850 H), al-Hasan al-Marrakusyi (w. ± 660 H) dan lainnya juga cendrung berpandangan demikian. Hisab dan rukyat dalam pandangan mereka ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan. Namun beliau-beliau yang terhormat ini yang betapapun mengerti secara baik dalil syariat tidak mendasarkan gagasan IR-nya pada dalil-dalil (hadis-hadis) rukyat. Imkan rukyat murni merupakan elaborasi hisab dan observasi sebagai hasil proses ilmu yang tdak bertentangan dengan ruh syariat. Karena itu, mencari pembenaran (dalil) IR berdasarkan hadis-hadis rukyat sesungguhnya tidaklah tepat. Atau jika boleh dikatakan, IR sesungguhnya tidak memiliki landasan syar'i yang cukup kuat.
TD mengklaim tradisi tajdid Muhammadiyah (dalam masalah ini) tidak tumbuh, ia mengatakan pengikut Muhammadiyah (dalam masalah ini) sebagai kaku, taklid, fanatik, 'menuhankan' WH, dan sebutan lainnya yang tentunya kurang simpatik. Entah apa motifasi ungkapan beliau ini? Bila disimak, sesungguhnya tokoh-tokoh hisab-falak dan syariah Muhammadiyah telah bergerak melintasi zaman untuk merumuskan kalender Islam yang mapan, yang selain mapan juga berdaya jelajah jauh kedepan dalam skala yang lebih luas, yang sesungguhnya ini merupakan tajdid. Ambisi menyatukan idulfitri di negeri ini kiranya jangan sampai lupa untuk menyatukan iduladha terkait puasa arafah. Merupakan fakta sekaligus realita, umat masih terbelah menjadi dua antara mengikut putusan lokal dan mengikut peristiwa yuridis wukuf di arafah, dalam fikih-pun terjadi perbedaan pendapat. Salah seorang tokoh Muhammadiyah telah mengingatkan arti penting fenomena ini (baca: fenomena arafah), TD pun telah menyimak, namun agaknya beliau merasa tak begitu penting. Persoalan hanya dan selalu ia arahkan bahwa WH itu 'usang', perlu diganti dengan "IR 2-3-8".
Bila harus jujur (barangkali ini subyektif penulis), bagaimana mungkin TD mengkritisi WH yang ia klaim tidak ilmiah (dalam bahasa beliau "Pseudosains") dengan memberi tawaran hisab IR 2-3-8 yang sesungguhnya juga tidak ilmiah yang sesungguhnya juga bisa berpotensi "Pseudosains" sekaligus "Pseudosyariat". Jika WH tidak ilmiah, faktanya 2-3-8 juga tidak ilmiah. Jika dari sisi dalil syar'i WH dipandang menghadapi masalah, dalil 2-3-8 juga tak kurang masalah. Logika kesimpulannya adalah kita perlu merumuskan ulang kriteria yang lebih utuh dalam rangka mewujudkan kalender yang mapan, tidak memaksakan 2-3-8 dan tidak menyudutkan Muhammadiyah. Dan dalam merumuskan ulang kriteria tentunya tidak sekedar menambal, kita perlu merumuskan ulang persoalan secara obyektif-komprehensif, melibatkan banyak kalangan dan mempertimbangkan banyak aspek. Terlepas dari segala kekurangan WH-nya, Muhammadiyah telah berkontribusi besar untuk negeri ini. Agama Islam yang mulia ini mengajarkan dan menganjurkan kepada kita untuk saling menghargai, saling menghormati dan saling bekerja sama. Pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah Swt !

KONTROVERSI PENETAPAN 1 SYAWAL 1432 H


Gema kontroversi kembali terjadi jelang penetapan 1 Syawal 1432 H antara kubu pemerintah dengan versi berbagai ormas Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan khususnya penetapan 1 Syawal 1432 H. Terdapat beberapa metode penetapan awal bulan dalam kalender Hijriyah, diantaranya ada yang menggunakan metode hisab (perhitungan), rukyat (observasi), ada pula yang berusaha mengintegrasikan antara hisab dan rukyat.
Prediksi pemerintah dalam menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu (31/8). Sedangkan Muhammadiyah sejak awal menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8). Hal ini terlihat dari kalender mereka yang mencantumkan tanggal 1 Syawal berbeda dengan kalender resmi pemerintah. Sementara, NU, Persis dipastikan akan mengikuti keputusan pemerintah yaitu berlebaran pada Rabu (31/8) karena secara kebetulan berdasarkan kriteria yang mereka gunakan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Perbedaan ini merupakan kemajuan ilmiah bagi umat Islam. Kemampuan menentukan penanggalan (kalender) termasuk satu di antara sekian banyak tanda-tanda kemajuan peradaban. Kita patut berbangga, tapi kita juga harus mengelus dada. Kenapa perbedaan ini terus terjadi sehingga ada semacam “pergerakan” saling mendahului dalam perayaan lebaran di kalangan umat Islam.
Berkaca dari kalender Masehi yang menuai pro-kontra untuk eksis sebagai kalender universal. Seiringan perjalanan waktu hingga kurun dekade milenium ke-2, kalender Masehi dapat eksis sebagai kalender universal. Hal ini mengindikasikan bahwa mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kalender Hijriyah pun dapat setara dengan kalender Masehi.
Kalender Masehi mulai digunakan oleh umat Kristen. Mereka berusaha menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai tahun permulaan. Namun untuk penghitungan tahun dan bulan mereka mengambil kalender orang Romawi yang disebut kalender Julian. Kalender Julian kemudian disempurnakan menjadi kalender Gregorian.
Thomas Djamaluddin dalam tulisannya “Milenium dalam Perspektif Matematis Astronomis” menjelaskan, bahwa dalam perjalanan sejarahnya, kalender Masehi telah mengalami dua kali reformasi. Pertama, tahun 325 M ketika vernal equinox ternyata telah bergeser dari 25 Maret menjadi 21 Maret. Tetapi, tidak terjadi pergeseran hari, hanya ditetapkan tanggal baru untuk vernal equinox, yaitu 21 Maret. Ketentuan tersebut dapat mempengaruhi penetapan hari besar Kristiani. Paskah ditentukan setiap hari Minggu pertama setelah purnama pada atau sesudah vernal equinox. Hal tersebut berpengaruh juga pada penetapan hari Wafat dan Kenaikan Isa Almasih.
Reformasi ke dua terjadi pada 1582 disebut reformasi Gregorian. Karena satu tahun syamsiah rata-rata 365,2422 hari, sedangkan kalender Julian menetapkan rata-rata 365,25 hari, awal musim semi saat itu diketahui telah bergeser jauh menjadi tanggal 11 Maret. Maka dilakukan reformasi dalam dua hal agar awal musim semi kembali menjadi tanggal 21 Maret.
Reformasi Gregorian pertama menghapuskan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jummat 15 Oktober.  Ke dua, rata-rata satu tahun ditetapkan 365,2425 hari. Dengan cara, tahun kabisat didefinisikan sebagai tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun kabisat.
Ummat Islam perlu mengkaji ulang metode dasar yang digunakan sebagai metode penentuan awal bulan kalender Hijriyah. Dikotomi klasik yang hingga kini masih menuai kontroversi yaitu klaim hisab maupun rukyat. Klaim ijtihadiyah pertama bahwa Rukyat bersifat qath'i sehingga menentukan, sedangkan hisab bersifat dzhanniy sehingga hanya pendukung atau diabaikan. Klaim ijtihadiyah kedua hisab bersifat qath'i sehingga menentukan, sedangkan rukyat bersifat  dzhanniy sehingga hanya pendukung atau diabaikan.
Merubah paradigma hisab-rukyat dari perdebatan dalil metode yang sahih dan paling baik sangat diperlukan dengan cara saling menghargai satu sama lain. Dengan cara mencari kriteria yang disepakati bersama dengan metode yang berbeda dengan upaya saling mengisi. Peluang titik temu sudah lama direncanakan. Dari Penganut rukyat  telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Dan Penganut hisab telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Maka landasan ilmu pengetahuan masing-masing kriteria terbuka untuk didiskusikan ulang.
Kalender Hijriyah adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender Hijriyah digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.
Mari kita bangun visi bersama untuk menjadikan kalender Hijriyah sebagai kalender publik yang mempersatukan ummat setara dengan kalender Masehi, bukan terbatas menjadi kalender privat kebanggaan masing-masing ormas Islam. Kalender yang mempersatukan ummat adalah kalender yang bukan hanya untuk ibadah, tetapi bisa untuk kegiatan bisnis dan administrasi negara. Manfaat pragmatis jika kalender Hijriyah benar-benar bisa menjadi kalender resmi pemerintah, kita akan memperoleh penghematan anggaran 10-11 hari dalam setahun.
Kalender Hijriyah bukan lagi ranah agama, tetapi kita angkat sebagai ranah sosial. Masyarakat kita memerlukannya, setara dengan kalender Masehi. Perbankan Syariah kini setara dengan perbankan Konvensional, bukan di negara-negara Islam, di Eropa pun bisa berkembang "Bulan Sabit Merah" yang setara dengan "Palang Merah" kini saatnya kalender Hijriyah setara dengan kalender Masehi. Akhirnya, melalui otoritas tunggal yaitu pemerintah yang diwakili kementerian Agama dan adanya batas wilayah keberlakuan hukum Indonesia, maka sudah saatnya menyetarakan kalender Hijriyah sebagai kalender universal.