Minggu, 04 Desember 2011

MENCERMATI GAGASAN PROF.DR.THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG HISAB RUKYAT & PERSATUAN HARI RAYA




oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar -- Cairo

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (TD) adalah Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN dan Anggota Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI. Ia begitu dikenal di tanah air, bahkan di dunia maya (Facebook), karena gagasannya yang "demikian" mengenai hisab rukyat dan persatuan hari raya. Selain banyak dipuji ia juga kerap di kritik. Menyimak artikel-artikelnya di blog dan ulasan-tanggapannya di media Facebook khusus berkaitan hisab rukyat dan persatuan hari raya yang mengerucut pada kritik tajam terhadap hisab Muhammadiyah, tampak kesan bahwa beliau sangat 'berambisi', untuk tidak mengatakan 'memaksakan', wujudnya kesatauan hari raya di negeri ini. Bagaimanapun niat dan usaha yang dilakukan kearah itu patut di apresiasi.
Bila dicermati, sesungguhnya antara Muhammadiyah dan NU dalam posisi yang sama. Ketika Muhammadiyah kuat dengan hisab yang seolah tak dapat goyah, disaat yang sama NU kukuh dengan rukyat yang tampak tak dapat berubah. Rukyat, dengan pengertian melihat secara indrawi masih menjadi harga dan menjadi keputusan formal NU yang belum bisa ditawar. Betapapun NU menyatakan hisab menjadi penopang namun dalam praktik rilnya rukyat bil fikli-lah yang menjadi penentu, bukan hisab, bukan pula hisab imkan rukyat 2-3-8. Kesan kebersamaan NU dan pemerintah dalam penetapan puasa dan lebaran lebih didasari pada faktor kebetulan, bukan karena NU telah mengadopsi 2-3-8. Suatu saat NU dan Pemerintah boleh jadi berbeda karena kriteria yang digunakan tidak sama. Dalam kenyataannya lagi, di lingkup internal NU masih ada keragaman yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial-nasional, contohnya kasus laporan rukyat Syawal 1432 H di Cakung, bahkan fenomena yang sama tidak terjadi satu kali. Tidak dipungkiri fenomena Cakung ini menjadi perhatian.
TD menyatakan, untuk wujudnya kalender yang mapan diperlukan tiga hal: (1) adanya batas keberlakuan (lokal, global), (2) adanya otoritas, dan (3) adanya kriteria. Faktanya, dalam konteks dan kondisi Indonesia saat ini tiga hal ini pada praktiknya masih problematis. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pada kenyataannya tidak cukup otoritatif (mengutip pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra di METRO TV). Ini mengindikasikan 'boleh' bagi masyarakat untuk berbeda dan tidak mengikuti keputusan tersebut. Selain merupakan ijtihad, dalam fikih Islam-pun ada toleransi masalah ini. Bahkan tak sedikit orang menganggap pengumuman (sidang isbat) Pemerintah sekedar formalitas, bernuansa politis dan menghamburkan anggaran. Anggapan yang selalu dibantah keras oleh TD.
Kriteria 2-3-8 yang gigih diusung TD untuk menjadi acuan dalam kenyataannya menurut para ahli dan pemerhati astronomi tidak ilmiah dan tidak cukup kuat menjadi solusi. Jika harus menerapkan 2-3-8, maka kondisi geografis-atmosfir dan luas wilayah NKRI yang demikian luas menjadi kendala. Prinsip wilayatul hukmi yang disinyalir menjadi solusi, kenyataannya juga menjadi rancu. Dengan mudah menyatakan "bila pemerintah telah menetapkan maka semua masyarakat dianjurkan mengikuti" sulit dimengerti karena selain "otoritas" yang belum kuat, ada pertentangan antara kewajiban patuh kepada ulil amri (pemerintah) dengan fakta ilmu pengetahuan yang sesungguhnya menjadi basis untuk eksisnya sebuah kalender Islam yang mapan.
Menguatkan hisab IR 2-3-8 nya, TD menyatakan terdapat beberapa negara muslim yang dipandang menggunakan IR. Salah satunya TD memberi misal negara Mesir. Menurutnya, Mesir menggunakan imkan rukyat dengan standar beda terbenam bulan – matahari > 5 menit. Hemat penulis klaim TD tidak benar dan informasi yang beliau kutip tidak valid. Dalam praktik formalnya, Mesir tetap menggunakan rukyat, dimana hal ini tertuang dalam buku "Kitâb ash-Shiyâm" (halaman 12) yang diterbitkan oleh Dâr al-Iftâ' al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir). Dalam faktanya, pemerintah melalui tim rukyatnya senantiasa melakukan observasi hilal (setiap menjelang awal bulan) yang tersebar pada 7 titik (lokasi) di penjuru Mesir. Selain itu, pengumuman yang biasa disampaikan Mufti Mesir (sekarang Prof. Dr. Ali Jum'ah) dalam haflah ru'yah al-hilal (istilah sidang isbatnya Mesir) setiap menjelang Ramadan – Syawal secara tegas menyatakan bahwa penentuan awal bulan dilakukan dengan rukyat yang dikonfirmasi dengan hisab astronomi. Jelas, penentuan awal bulan (Ramadan & Syawal) dan bulan-bulan lainnya di Mesir dilakukan menggunakan rukyat, bukan imkan rukyat. Adapun keputusan pemerintah Mesir menetapkan 01 Syawal 1432 H = 30 Agustus 2011 M adalah berdasarkan adanya laporan terlihat hilal di Arab Saudi (yang untuk tahun ini memang menjadi polemik), bukan karena Mesir secara faktual dan konseptual menggunakan standar imkan rukyat beda terbenam bulan – matahari > 5 menit seperti di klaim TD. Imkan rukyat sama sekali tidak menjadi standar negara Mesir dalam menetapkan idulfitri, namun fakta dan realitanya di Mesir relatif tidak pernah terjadi perbedaan. Bahkan, negara-negara muslim di kawasan Arab yang pada kenyataannya selalu beridulfitri secara sama di negeri mereka masing-masing, kebanyakan tidak menerapkan hisab, atau rukyat lokal, atau IR, namun hanya berpedoman/menunggu pada penetapan negara Arab Saudi. Ini membuktikan IR tidak menjadi pilihan satu-satunya persatuan walau juga tentunya bisa dijadikan alternatif. Agaknya, yang dapat ditangkap dan merupakan hal terpenting adalah adanya kesepakatan dan kesepahaman yang tidak membuka ruang pertentangan antara sains dan syariat. Mesir setidaknya telah membuktikan hal ini dengan pengecualian idulfitri 1432 H.
Perlu kiranya kita fahami, betapapun persoalan ini sangat berkaitan dengan sains (dalam hal ini astronomi) namun poros utama persoalan berada dalam ranah syariat (fikih) yang memang rentan terjadi perbedaan pendapat. Dikalangan ulama klasik berbeda pendapat merupakan hal biasa, namun memaksakan satu pendapat tidaklah menjadi tradisi mereka. Kesatuan (persatuan) hari raya dalam fikih-pun merupakan prioritas, namun dalam konteks kekinian dan keindonesiaan hanya mungkin terwujud apabila telah mapannya sebuah kalender secara keilmuan dan paralel dengan dalil syariat, serta adanya mekanisme (siyasah syar'iyah) yang otoritatif. Sebab situasi sosial, intelektual, politik, dan budaya di Indonesia sungguh berdinamika sehingga menuntut solusi tepat.
Secara keilmuan IR harus diakui bermasalah, secara otoritas penetapan Pemerintah juga dipandang tidak cukup otoritatif, dan secara dalil (syariat) pun IR sesungguhnya bermasalah. Masalah pada dalil syariat IR dimaksud adalah diantaranya TD dan atau orang yang berfaham IR 2-3-8 menyatakan hadis-hadis Nabi Saw berkaitan rukyat dapat difahami sebagai penguat (dalil) hisab IR. Hemat kami dalil ini (baca: hadis-hadis terkait) untuk IR tidaklah tepat. Disiplin ilmu keislaman yang cukup dekat mengkaji hadis-hadis baginda Nabi Saw ini adalah disiplin ilmu usul fikih. Melalui parameter usul fikih dengan perangkat yang ada dalam ilmu ini: sabab, 'illah al-hukm, iqtidha' an-nash, 'ibarah an-nash, mafhum mukhalafah dan perangkat lainnya, hadis-hadis itu hanya dapat difahami sebagai rukyat, bukan IR. Hadis-hadis rukyat secara umum menegaskan agar ketika hendak berpuasa dan atau berhari raya diawali dengan melihat (terlihat), jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan (istikmal, ikmal al-'iddah). Indikasi hadis ini tidak bisa difahami sebagai imkan rukyat adalah adanya penegasan kata "fa" (maka), "in" (jika) dan "ghumma, ughmiya" (tertutup awan, mendung).
Dalam terminologi usul fikih, "in" dalam redaksi Nabi Saw (fa in ughmiya...) difahami sebagai asy-syarth karena adanya jawab asy-syarth (...fa akmilu al-'adad) yang mengindikasikan jika hilal tidak terlihat maka dilakukan istikmal. Sementara itu huruf “fa’” (dalam hadis tersebut) yang merupakan huruf ‘athaf, menurut para ahli bahasa (Arab) adalah sebagai ta’qib yang mengindikasikan lafaz kedua menyusul lafaz pertama secara cepat dan tepat sesuai kadarnya. Natijahnya, hilal harus dilihat/terlihat jika tidak maka secara otomatis dilakukan penggenapan (ikmal al-'iddah). Sama sekali tidak ada indikasi IR.
Selain itu dipertegas lagi dengan sabda Nabi Saw yang melarang berpuasa dan atau hari raya sebelum (sampai) melihat hilal (la tashumu hatta tarau al-hilal wa la tufthiru hatta tarauhu ...). Kalimat "hatta" yang diartikan sebagai "sampai" dalam redaksi hadis tersebut yang bersambung dengan kata kerja "tarau" merupakan "ghayah". Jika ditinjau dari sisi mafhum al-ghayah (mafhum al-mukhalafah) maka makna hadis tersebut hanya bermakna tidak wajib berpuasa jika belum sampai terlihat/melihat hilal, jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan. Sama sekali tidak ada indikasi IR atau kemungkinan IR.
NU pun setidaknya sejauh ini memahami hadis-hadis ini sebagai rukyat bukan IR. Logika IR adalah apabila hilal dalam keadaan tertentu tidak memungkinkan terlihat namun telah memenuhi kriteria sebagai telah disepakati maka itu menyatakan keesokan harinya sebagai awal bulan. Sementara logika hadis-hadis rukyat adalah betapapun hilal memungkinkan terlihat namun jika tidak teramati secara indrawi maka keesokan harinya tetap dinyatakan bukan awal bulan, namun sebagai akhir bulan. Penegasan kata "fa", "in", "hatta" dan "ghumma, ughmiya" ini sekali lagi menjadi penyebab hadis ini tidak bisa difahami sebagai dan atau mengarah IR, namun tetap sebagai R. Wallau a'lam
Ya, hemat penulis, metode imkan rukyat dengan maksud untuk dapat mengakomodir hisab & rukyat secara sekaligus merupakan jalan keluar ideal. Para ulama astronomi muslim klasik semisal Ibn asy-Syathir (w. 777 H), Ibn al-Majdi (w. 850 H), al-Hasan al-Marrakusyi (w. ± 660 H) dan lainnya juga cendrung berpandangan demikian. Hisab dan rukyat dalam pandangan mereka ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan. Namun beliau-beliau yang terhormat ini yang betapapun mengerti secara baik dalil syariat tidak mendasarkan gagasan IR-nya pada dalil-dalil (hadis-hadis) rukyat. Imkan rukyat murni merupakan elaborasi hisab dan observasi sebagai hasil proses ilmu yang tdak bertentangan dengan ruh syariat. Karena itu, mencari pembenaran (dalil) IR berdasarkan hadis-hadis rukyat sesungguhnya tidaklah tepat. Atau jika boleh dikatakan, IR sesungguhnya tidak memiliki landasan syar'i yang cukup kuat.
TD mengklaim tradisi tajdid Muhammadiyah (dalam masalah ini) tidak tumbuh, ia mengatakan pengikut Muhammadiyah (dalam masalah ini) sebagai kaku, taklid, fanatik, 'menuhankan' WH, dan sebutan lainnya yang tentunya kurang simpatik. Entah apa motifasi ungkapan beliau ini? Bila disimak, sesungguhnya tokoh-tokoh hisab-falak dan syariah Muhammadiyah telah bergerak melintasi zaman untuk merumuskan kalender Islam yang mapan, yang selain mapan juga berdaya jelajah jauh kedepan dalam skala yang lebih luas, yang sesungguhnya ini merupakan tajdid. Ambisi menyatukan idulfitri di negeri ini kiranya jangan sampai lupa untuk menyatukan iduladha terkait puasa arafah. Merupakan fakta sekaligus realita, umat masih terbelah menjadi dua antara mengikut putusan lokal dan mengikut peristiwa yuridis wukuf di arafah, dalam fikih-pun terjadi perbedaan pendapat. Salah seorang tokoh Muhammadiyah telah mengingatkan arti penting fenomena ini (baca: fenomena arafah), TD pun telah menyimak, namun agaknya beliau merasa tak begitu penting. Persoalan hanya dan selalu ia arahkan bahwa WH itu 'usang', perlu diganti dengan "IR 2-3-8".
Bila harus jujur (barangkali ini subyektif penulis), bagaimana mungkin TD mengkritisi WH yang ia klaim tidak ilmiah (dalam bahasa beliau "Pseudosains") dengan memberi tawaran hisab IR 2-3-8 yang sesungguhnya juga tidak ilmiah yang sesungguhnya juga bisa berpotensi "Pseudosains" sekaligus "Pseudosyariat". Jika WH tidak ilmiah, faktanya 2-3-8 juga tidak ilmiah. Jika dari sisi dalil syar'i WH dipandang menghadapi masalah, dalil 2-3-8 juga tak kurang masalah. Logika kesimpulannya adalah kita perlu merumuskan ulang kriteria yang lebih utuh dalam rangka mewujudkan kalender yang mapan, tidak memaksakan 2-3-8 dan tidak menyudutkan Muhammadiyah. Dan dalam merumuskan ulang kriteria tentunya tidak sekedar menambal, kita perlu merumuskan ulang persoalan secara obyektif-komprehensif, melibatkan banyak kalangan dan mempertimbangkan banyak aspek. Terlepas dari segala kekurangan WH-nya, Muhammadiyah telah berkontribusi besar untuk negeri ini. Agama Islam yang mulia ini mengajarkan dan menganjurkan kepada kita untuk saling menghargai, saling menghormati dan saling bekerja sama. Pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah Swt !

2 komentar:

  1. Ada kesalahpahaman soal kriteria imkan rukyat, seolah IR = 2-3-8. Sama dengan kesalahpahaman pendukung WH, seolah hisab = WH. Kriteria 2-3-8 bukanlah pilihan astronomi, tetapi kriteria kesepakatan ormas-ormas Islam sebagai jalan tengah antara faham hisab dan faham rukyat yang disepakati sampai saat ini. Mengapa mereka belum menerima kriteria imkan rukyat (visibilitas) astronomi yang lebih tinggi? Alasan sederhananya untuk menghindari perbedaan yang terlalu jauh dengan WH.

    BalasHapus
  2. T. Djamal gak nyambung

    BalasHapus