oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar -- Cairo
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (TD) adalah Profesor
Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN dan Anggota Badan Hisab dan Rukyat
Kementerian Agama RI. Ia begitu dikenal di tanah air, bahkan di dunia maya (Facebook),
karena gagasannya yang "demikian" mengenai hisab rukyat dan persatuan
hari raya. Selain banyak dipuji ia juga kerap di kritik. Menyimak
artikel-artikelnya di blog dan ulasan-tanggapannya di media Facebook khusus
berkaitan hisab rukyat dan persatuan hari raya yang mengerucut pada kritik
tajam terhadap hisab Muhammadiyah, tampak kesan bahwa beliau sangat
'berambisi', untuk tidak mengatakan 'memaksakan', wujudnya kesatauan hari raya
di negeri ini. Bagaimanapun niat dan usaha yang dilakukan kearah itu patut di
apresiasi.
Bila dicermati, sesungguhnya antara Muhammadiyah dan
NU dalam posisi yang sama. Ketika Muhammadiyah kuat dengan hisab yang seolah
tak dapat goyah, disaat yang sama NU kukuh dengan rukyat yang tampak tak dapat
berubah. Rukyat, dengan pengertian melihat secara indrawi masih menjadi harga
dan menjadi keputusan formal NU yang belum bisa ditawar. Betapapun NU
menyatakan hisab menjadi penopang namun dalam praktik rilnya rukyat bil
fikli-lah yang menjadi penentu, bukan hisab, bukan pula hisab imkan rukyat
2-3-8. Kesan kebersamaan NU dan pemerintah dalam penetapan puasa dan lebaran
lebih didasari pada faktor kebetulan, bukan karena NU telah mengadopsi 2-3-8.
Suatu saat NU dan Pemerintah boleh jadi berbeda karena kriteria yang digunakan
tidak sama. Dalam kenyataannya lagi, di lingkup internal NU masih ada keragaman
yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial-nasional, contohnya kasus laporan
rukyat Syawal 1432 H di Cakung, bahkan fenomena yang sama tidak terjadi satu
kali. Tidak dipungkiri fenomena Cakung ini menjadi perhatian.
TD menyatakan, untuk wujudnya kalender yang mapan
diperlukan tiga hal: (1) adanya batas keberlakuan (lokal, global), (2) adanya
otoritas, dan (3) adanya kriteria. Faktanya, dalam konteks dan kondisi
Indonesia saat ini tiga hal ini pada praktiknya masih problematis. Pemerintah
sebagai pemegang otoritas pada kenyataannya tidak cukup otoritatif (mengutip
pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra di METRO TV). Ini mengindikasikan 'boleh'
bagi masyarakat untuk berbeda dan tidak mengikuti keputusan tersebut. Selain
merupakan ijtihad, dalam fikih Islam-pun ada toleransi masalah ini. Bahkan tak
sedikit orang menganggap pengumuman (sidang isbat) Pemerintah sekedar
formalitas, bernuansa politis dan menghamburkan anggaran. Anggapan yang selalu dibantah
keras oleh TD.
Kriteria 2-3-8 yang gigih diusung TD untuk menjadi
acuan dalam kenyataannya menurut para ahli dan pemerhati astronomi tidak ilmiah
dan tidak cukup kuat menjadi solusi. Jika harus menerapkan 2-3-8, maka kondisi
geografis-atmosfir dan luas wilayah NKRI yang demikian luas menjadi kendala.
Prinsip wilayatul hukmi yang disinyalir menjadi solusi, kenyataannya juga
menjadi rancu. Dengan mudah menyatakan "bila pemerintah telah menetapkan
maka semua masyarakat dianjurkan mengikuti" sulit dimengerti karena selain
"otoritas" yang belum kuat, ada pertentangan antara kewajiban patuh
kepada ulil amri (pemerintah) dengan fakta ilmu pengetahuan yang sesungguhnya
menjadi basis untuk eksisnya sebuah kalender Islam yang mapan.
Menguatkan hisab IR 2-3-8 nya, TD menyatakan terdapat
beberapa negara muslim yang dipandang menggunakan IR. Salah satunya TD memberi
misal negara Mesir. Menurutnya, Mesir menggunakan imkan rukyat dengan standar
beda terbenam bulan – matahari > 5 menit. Hemat penulis klaim TD tidak benar
dan informasi yang beliau kutip tidak valid. Dalam praktik formalnya, Mesir
tetap menggunakan rukyat, dimana hal ini tertuang dalam buku "Kitâb
ash-Shiyâm" (halaman 12) yang diterbitkan oleh Dâr al-Iftâ'
al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir). Dalam faktanya, pemerintah melalui tim
rukyatnya senantiasa melakukan observasi hilal (setiap menjelang awal bulan)
yang tersebar pada 7 titik (lokasi) di penjuru Mesir. Selain itu, pengumuman
yang biasa disampaikan Mufti Mesir (sekarang Prof. Dr. Ali Jum'ah) dalam haflah
ru'yah al-hilal (istilah sidang isbatnya Mesir) setiap menjelang Ramadan –
Syawal secara tegas menyatakan bahwa penentuan awal bulan dilakukan dengan
rukyat yang dikonfirmasi dengan hisab astronomi. Jelas, penentuan awal bulan
(Ramadan & Syawal) dan bulan-bulan lainnya di Mesir dilakukan menggunakan
rukyat, bukan imkan rukyat. Adapun keputusan pemerintah Mesir menetapkan 01
Syawal 1432 H = 30 Agustus 2011 M adalah berdasarkan adanya laporan terlihat
hilal di Arab Saudi (yang untuk tahun ini memang menjadi polemik), bukan karena
Mesir secara faktual dan konseptual menggunakan standar imkan rukyat beda
terbenam bulan – matahari > 5 menit seperti di klaim TD. Imkan rukyat sama
sekali tidak menjadi standar negara Mesir dalam menetapkan idulfitri, namun fakta
dan realitanya di Mesir relatif tidak pernah terjadi perbedaan. Bahkan,
negara-negara muslim di kawasan Arab yang pada kenyataannya selalu beridulfitri
secara sama di negeri mereka masing-masing, kebanyakan tidak menerapkan hisab,
atau rukyat lokal, atau IR, namun hanya berpedoman/menunggu pada penetapan
negara Arab Saudi. Ini membuktikan IR tidak menjadi pilihan satu-satunya
persatuan walau juga tentunya bisa dijadikan alternatif. Agaknya, yang dapat
ditangkap dan merupakan hal terpenting adalah adanya kesepakatan dan
kesepahaman yang tidak membuka ruang pertentangan antara sains dan syariat.
Mesir setidaknya telah membuktikan hal ini dengan pengecualian idulfitri 1432
H.
Perlu kiranya kita fahami, betapapun persoalan ini
sangat berkaitan dengan sains (dalam hal ini astronomi) namun poros utama
persoalan berada dalam ranah syariat (fikih) yang memang rentan terjadi
perbedaan pendapat. Dikalangan ulama klasik berbeda pendapat merupakan hal
biasa, namun memaksakan satu pendapat tidaklah menjadi tradisi mereka. Kesatuan
(persatuan) hari raya dalam fikih-pun merupakan prioritas, namun dalam konteks
kekinian dan keindonesiaan hanya mungkin terwujud apabila telah mapannya sebuah
kalender secara keilmuan dan paralel dengan dalil syariat, serta adanya
mekanisme (siyasah syar'iyah) yang otoritatif. Sebab situasi sosial,
intelektual, politik, dan budaya di Indonesia sungguh berdinamika sehingga
menuntut solusi tepat.
Secara keilmuan IR harus diakui bermasalah, secara
otoritas penetapan Pemerintah juga dipandang tidak cukup otoritatif, dan secara
dalil (syariat) pun IR sesungguhnya bermasalah. Masalah pada dalil syariat IR
dimaksud adalah diantaranya TD dan atau orang yang berfaham IR 2-3-8 menyatakan
hadis-hadis Nabi Saw berkaitan rukyat dapat difahami sebagai penguat (dalil)
hisab IR. Hemat kami dalil ini (baca: hadis-hadis terkait) untuk IR tidaklah
tepat. Disiplin ilmu keislaman yang cukup dekat mengkaji hadis-hadis baginda
Nabi Saw ini adalah disiplin ilmu usul fikih. Melalui parameter usul fikih
dengan perangkat yang ada dalam ilmu ini: sabab, 'illah al-hukm, iqtidha'
an-nash, 'ibarah an-nash, mafhum mukhalafah dan perangkat lainnya,
hadis-hadis itu hanya dapat difahami sebagai rukyat, bukan IR. Hadis-hadis
rukyat secara umum menegaskan agar ketika hendak berpuasa dan atau berhari raya
diawali dengan melihat (terlihat), jika tidak terlihat maka dilakukan
penggenapan (istikmal, ikmal al-'iddah). Indikasi hadis ini tidak bisa
difahami sebagai imkan rukyat adalah adanya penegasan kata "fa"
(maka), "in" (jika) dan "ghumma, ughmiya"
(tertutup awan, mendung).
Dalam terminologi usul fikih, "in"
dalam redaksi Nabi Saw (fa in ughmiya...) difahami sebagai asy-syarth
karena adanya jawab asy-syarth (...fa akmilu al-'adad) yang
mengindikasikan jika hilal tidak terlihat maka dilakukan istikmal. Sementara
itu huruf “fa’” (dalam hadis tersebut) yang merupakan huruf ‘athaf,
menurut para ahli bahasa (Arab) adalah sebagai ta’qib yang
mengindikasikan lafaz kedua menyusul lafaz pertama secara cepat dan tepat
sesuai kadarnya. Natijahnya, hilal harus dilihat/terlihat jika tidak maka
secara otomatis dilakukan penggenapan (ikmal al-'iddah). Sama sekali
tidak ada indikasi IR.
Selain itu dipertegas lagi dengan sabda Nabi Saw yang
melarang berpuasa dan atau hari raya sebelum (sampai) melihat hilal (la
tashumu hatta tarau al-hilal wa la tufthiru hatta tarauhu ...). Kalimat "hatta"
yang diartikan sebagai "sampai" dalam redaksi hadis tersebut yang
bersambung dengan kata kerja "tarau" merupakan "ghayah".
Jika ditinjau dari sisi mafhum al-ghayah (mafhum al-mukhalafah)
maka makna hadis tersebut hanya bermakna tidak wajib berpuasa jika belum sampai
terlihat/melihat hilal, jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan. Sama
sekali tidak ada indikasi IR atau kemungkinan IR.
NU pun setidaknya sejauh ini memahami hadis-hadis ini
sebagai rukyat bukan IR. Logika IR adalah apabila hilal dalam keadaan tertentu
tidak memungkinkan terlihat namun telah memenuhi kriteria sebagai telah
disepakati maka itu menyatakan keesokan harinya sebagai awal bulan. Sementara
logika hadis-hadis rukyat adalah betapapun hilal memungkinkan terlihat namun
jika tidak teramati secara indrawi maka keesokan harinya tetap dinyatakan bukan
awal bulan, namun sebagai akhir bulan. Penegasan kata "fa",
"in", "hatta" dan "ghumma, ughmiya"
ini sekali lagi menjadi penyebab hadis ini tidak bisa difahami sebagai dan atau
mengarah IR, namun tetap sebagai R. Wallau a'lam
Ya, hemat penulis, metode imkan rukyat dengan maksud
untuk dapat mengakomodir hisab & rukyat secara sekaligus merupakan jalan
keluar ideal. Para ulama astronomi muslim klasik semisal Ibn asy-Syathir (w.
777 H), Ibn al-Majdi (w. 850 H), al-Hasan al-Marrakusyi (w. ± 660 H) dan
lainnya juga cendrung berpandangan demikian. Hisab dan rukyat dalam pandangan
mereka ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling
berkaitan. Namun beliau-beliau yang terhormat ini yang betapapun mengerti
secara baik dalil syariat tidak mendasarkan gagasan IR-nya pada dalil-dalil
(hadis-hadis) rukyat. Imkan rukyat murni merupakan elaborasi hisab dan observasi
sebagai hasil proses ilmu yang tdak bertentangan dengan ruh syariat. Karena
itu, mencari pembenaran (dalil) IR berdasarkan hadis-hadis rukyat sesungguhnya
tidaklah tepat. Atau jika boleh dikatakan, IR sesungguhnya tidak memiliki
landasan syar'i yang cukup kuat.
TD mengklaim tradisi tajdid Muhammadiyah (dalam
masalah ini) tidak tumbuh, ia mengatakan pengikut Muhammadiyah (dalam masalah
ini) sebagai kaku, taklid, fanatik, 'menuhankan' WH, dan sebutan lainnya yang
tentunya kurang simpatik. Entah apa motifasi ungkapan beliau ini? Bila disimak,
sesungguhnya tokoh-tokoh hisab-falak dan syariah Muhammadiyah telah bergerak
melintasi zaman untuk merumuskan kalender Islam yang mapan, yang selain mapan
juga berdaya jelajah jauh kedepan dalam skala yang lebih luas, yang
sesungguhnya ini merupakan tajdid. Ambisi menyatukan idulfitri di negeri ini
kiranya jangan sampai lupa untuk menyatukan iduladha terkait puasa arafah.
Merupakan fakta sekaligus realita, umat masih terbelah menjadi dua antara
mengikut putusan lokal dan mengikut peristiwa yuridis wukuf di arafah, dalam
fikih-pun terjadi perbedaan pendapat. Salah seorang tokoh Muhammadiyah telah
mengingatkan arti penting fenomena ini (baca: fenomena arafah), TD pun telah
menyimak, namun agaknya beliau merasa tak begitu penting. Persoalan hanya dan
selalu ia arahkan bahwa WH itu 'usang', perlu diganti dengan "IR
2-3-8".
Bila harus jujur (barangkali ini subyektif penulis),
bagaimana mungkin TD mengkritisi WH yang ia klaim tidak ilmiah (dalam bahasa
beliau "Pseudosains") dengan memberi tawaran hisab IR 2-3-8 yang
sesungguhnya juga tidak ilmiah yang sesungguhnya juga bisa berpotensi
"Pseudosains" sekaligus "Pseudosyariat". Jika WH tidak
ilmiah, faktanya 2-3-8 juga tidak ilmiah. Jika dari sisi dalil syar'i WH
dipandang menghadapi masalah, dalil 2-3-8 juga tak kurang masalah. Logika
kesimpulannya adalah kita perlu merumuskan ulang kriteria yang lebih utuh dalam
rangka mewujudkan kalender yang mapan, tidak memaksakan 2-3-8 dan tidak
menyudutkan Muhammadiyah. Dan dalam merumuskan ulang kriteria tentunya tidak
sekedar menambal, kita perlu merumuskan ulang persoalan secara
obyektif-komprehensif, melibatkan banyak kalangan dan mempertimbangkan banyak
aspek. Terlepas dari segala kekurangan WH-nya, Muhammadiyah telah berkontribusi
besar untuk negeri ini. Agama Islam yang mulia ini mengajarkan dan menganjurkan
kepada kita untuk saling menghargai, saling menghormati dan saling bekerja
sama. Pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah Swt !
Ada kesalahpahaman soal kriteria imkan rukyat, seolah IR = 2-3-8. Sama dengan kesalahpahaman pendukung WH, seolah hisab = WH. Kriteria 2-3-8 bukanlah pilihan astronomi, tetapi kriteria kesepakatan ormas-ormas Islam sebagai jalan tengah antara faham hisab dan faham rukyat yang disepakati sampai saat ini. Mengapa mereka belum menerima kriteria imkan rukyat (visibilitas) astronomi yang lebih tinggi? Alasan sederhananya untuk menghindari perbedaan yang terlalu jauh dengan WH.
BalasHapusT. Djamal gak nyambung
BalasHapus