Minggu, 04 Desember 2011

KONTROVERSI PENETAPAN 1 SYAWAL 1432 H


Gema kontroversi kembali terjadi jelang penetapan 1 Syawal 1432 H antara kubu pemerintah dengan versi berbagai ormas Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan khususnya penetapan 1 Syawal 1432 H. Terdapat beberapa metode penetapan awal bulan dalam kalender Hijriyah, diantaranya ada yang menggunakan metode hisab (perhitungan), rukyat (observasi), ada pula yang berusaha mengintegrasikan antara hisab dan rukyat.
Prediksi pemerintah dalam menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu (31/8). Sedangkan Muhammadiyah sejak awal menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8). Hal ini terlihat dari kalender mereka yang mencantumkan tanggal 1 Syawal berbeda dengan kalender resmi pemerintah. Sementara, NU, Persis dipastikan akan mengikuti keputusan pemerintah yaitu berlebaran pada Rabu (31/8) karena secara kebetulan berdasarkan kriteria yang mereka gunakan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Perbedaan ini merupakan kemajuan ilmiah bagi umat Islam. Kemampuan menentukan penanggalan (kalender) termasuk satu di antara sekian banyak tanda-tanda kemajuan peradaban. Kita patut berbangga, tapi kita juga harus mengelus dada. Kenapa perbedaan ini terus terjadi sehingga ada semacam “pergerakan” saling mendahului dalam perayaan lebaran di kalangan umat Islam.
Berkaca dari kalender Masehi yang menuai pro-kontra untuk eksis sebagai kalender universal. Seiringan perjalanan waktu hingga kurun dekade milenium ke-2, kalender Masehi dapat eksis sebagai kalender universal. Hal ini mengindikasikan bahwa mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kalender Hijriyah pun dapat setara dengan kalender Masehi.
Kalender Masehi mulai digunakan oleh umat Kristen. Mereka berusaha menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai tahun permulaan. Namun untuk penghitungan tahun dan bulan mereka mengambil kalender orang Romawi yang disebut kalender Julian. Kalender Julian kemudian disempurnakan menjadi kalender Gregorian.
Thomas Djamaluddin dalam tulisannya “Milenium dalam Perspektif Matematis Astronomis” menjelaskan, bahwa dalam perjalanan sejarahnya, kalender Masehi telah mengalami dua kali reformasi. Pertama, tahun 325 M ketika vernal equinox ternyata telah bergeser dari 25 Maret menjadi 21 Maret. Tetapi, tidak terjadi pergeseran hari, hanya ditetapkan tanggal baru untuk vernal equinox, yaitu 21 Maret. Ketentuan tersebut dapat mempengaruhi penetapan hari besar Kristiani. Paskah ditentukan setiap hari Minggu pertama setelah purnama pada atau sesudah vernal equinox. Hal tersebut berpengaruh juga pada penetapan hari Wafat dan Kenaikan Isa Almasih.
Reformasi ke dua terjadi pada 1582 disebut reformasi Gregorian. Karena satu tahun syamsiah rata-rata 365,2422 hari, sedangkan kalender Julian menetapkan rata-rata 365,25 hari, awal musim semi saat itu diketahui telah bergeser jauh menjadi tanggal 11 Maret. Maka dilakukan reformasi dalam dua hal agar awal musim semi kembali menjadi tanggal 21 Maret.
Reformasi Gregorian pertama menghapuskan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jummat 15 Oktober.  Ke dua, rata-rata satu tahun ditetapkan 365,2425 hari. Dengan cara, tahun kabisat didefinisikan sebagai tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun kabisat.
Ummat Islam perlu mengkaji ulang metode dasar yang digunakan sebagai metode penentuan awal bulan kalender Hijriyah. Dikotomi klasik yang hingga kini masih menuai kontroversi yaitu klaim hisab maupun rukyat. Klaim ijtihadiyah pertama bahwa Rukyat bersifat qath'i sehingga menentukan, sedangkan hisab bersifat dzhanniy sehingga hanya pendukung atau diabaikan. Klaim ijtihadiyah kedua hisab bersifat qath'i sehingga menentukan, sedangkan rukyat bersifat  dzhanniy sehingga hanya pendukung atau diabaikan.
Merubah paradigma hisab-rukyat dari perdebatan dalil metode yang sahih dan paling baik sangat diperlukan dengan cara saling menghargai satu sama lain. Dengan cara mencari kriteria yang disepakati bersama dengan metode yang berbeda dengan upaya saling mengisi. Peluang titik temu sudah lama direncanakan. Dari Penganut rukyat  telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Dan Penganut hisab telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Maka landasan ilmu pengetahuan masing-masing kriteria terbuka untuk didiskusikan ulang.
Kalender Hijriyah adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender Hijriyah digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.
Mari kita bangun visi bersama untuk menjadikan kalender Hijriyah sebagai kalender publik yang mempersatukan ummat setara dengan kalender Masehi, bukan terbatas menjadi kalender privat kebanggaan masing-masing ormas Islam. Kalender yang mempersatukan ummat adalah kalender yang bukan hanya untuk ibadah, tetapi bisa untuk kegiatan bisnis dan administrasi negara. Manfaat pragmatis jika kalender Hijriyah benar-benar bisa menjadi kalender resmi pemerintah, kita akan memperoleh penghematan anggaran 10-11 hari dalam setahun.
Kalender Hijriyah bukan lagi ranah agama, tetapi kita angkat sebagai ranah sosial. Masyarakat kita memerlukannya, setara dengan kalender Masehi. Perbankan Syariah kini setara dengan perbankan Konvensional, bukan di negara-negara Islam, di Eropa pun bisa berkembang "Bulan Sabit Merah" yang setara dengan "Palang Merah" kini saatnya kalender Hijriyah setara dengan kalender Masehi. Akhirnya, melalui otoritas tunggal yaitu pemerintah yang diwakili kementerian Agama dan adanya batas wilayah keberlakuan hukum Indonesia, maka sudah saatnya menyetarakan kalender Hijriyah sebagai kalender universal.

0 komentar:

Posting Komentar