Rabu, 07 Desember 2011

MAQASID SYARI’ AH IMAM ASY –SYATIBI





Irfangi, MSI


  1. Pendahuluan
Menurut pandangan para ahli Ushul Fiqh, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di samping menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil[1] Mereka juga membahas terhadap hukum-huum syar’iyyah yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami hukum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk mengistimbathkanya dari selain nash, baik dari kaidah-kaidah kebahasaan maupun kaidah tasyri’iyyah[2].  Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah dan perannya dalam menetapkn hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, seorang filosof hukum Islam dari Spanyol yang hidup pada masa keemasan Granada sekitar abad ke-14.  

B. Sketsa Biografi Imam Syatibi
1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi
Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Gharnata.
Al-Syatibi tumbuh dewasa di Granada dan sejarah intelektualitasnya terbentuk di kota yang menjadi ibu kota kerajaan Banu Nasr ini. Masa mudanya bertepatan dengan pemerintahan Sultan Muhammad V al-Gani Billah yang merupakan masa keemasan bagi Granada. Kota ini menjadi pusat perhatian para sarjana dari semua bagian Afrika Utara. Waktu itu, banyak ilmuwan yang mengunjungi Granada, atau berada di Istana Banu Nasr, di antaranya seperti Ibn Khaldun dan Ibn al-Khatib.
Al-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi.
Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan.
Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji (754 H/ 1355 M) meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat hukum Islam.
Beberapa tahun sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos politik di Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik, Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah rival politik Ibn Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai sejumlah kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar, menjadikan Granada sebagai pusat pemerintahan.
Bani Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai dua abad. Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah atau Sultan Muhammad V.
Di masa Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit ulamanya di strukutur politik. Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.
Status quo para fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika al-Syatibi, meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Tidak terjebak pada oposisi biner dengan kekuasaan, ia juga mengkritik gerakan tasawuf para ulama yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi tentang praktek tasawuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf saat itu Abu al-Hasan al-Nawawi.
Al-Syatibi juga menyoroti ta‘ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara.
Al-Syatibi mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada Abu Abd Allah Muhammad bin Ali al-Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di Andalusia. Pengalaman tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M dan tentang pelajaran-pelajaran yang didapatnya terrekam dalam kitab yang disusunya yang berjudul al-Ifadat wa al-Irsyadat atau Insya’at. Dari kitabnya ini dapat dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu bahasa dan sastra dengan cukup qualified. Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabti (760 H/ 1358 M), ketua hakim di Granada yang dikenal dengan sebutan embawa Pedoman Berpidato.
Mulai belajar fikih pada tahun 754 H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu Sa’adah Ibn Lubb yang kepada orang inilah hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiyar, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa.
Sejarah pendidikan al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat. Ia adalah penulis sebuah buku tata bahasa Arab. Ia dikenal sebagai mah}aqqiq atau pakar dalam bidang aplikasi prinsip-prinsip umum aliran Maliki untuk kasus-kasus khusus. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam tasawuf.
Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan tradisional, al-‘Ulum al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M, ia dideportasi dari Andalusia. Al-Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis terhadap faham Razi. Ia belajar bersama Abili dan mengambil konsentrasi studi ilmu pengetahuan rasional.
Motifasi Al-Syatibi mempelajari ushul fikih berawal dari kegelisahannya yang menganggap kelemahan fikih dalam menjawab tantangan perubahan sosial terutama dikarenakan oleh metodologi dan filsafatnya yang kurang memadai. Salah satu masalah yang paling membuatnya gelisah adalah keragaman pendapat di kalangan ilmuwan tentang berbagai persoalan. Penggunaan prinsip mura‘ah al-khilaf atau inklusifitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks.
Al-Syatibi mengangap dengan mura‘ah al-khilaf, badan hukum seperti tanpa jiwa, formalismenya akan tetap tanpa realitas jika sifat riil teori hukum tidak diselidiki. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup. Karya-karyanya merupakan hasil refleksi kegelisahannya ini.
Pola pikir radikal dan fatwa-fatwa kontroversial al-Syatibi membuatnya diposisikan sebagai oposisi kekuasaan oleh para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. Sejumlah persoalan yang menjadi kontroversial di antaranya tentang tasawuf dan fikih. Al-Syatibi menentang praktek tasawuf yang ekstrim sampai dicampuradukkan dengan fikih, misalnya pewajiban melakukan ritual tasawuf tertentu dalam shalat sedangkan pewajibannya punya pengertian wajib secara syar’i, pewajiban zuhud secara umum atau kepada semua muslim, kepercayaan akan superioritas seorang Syaikh atas semua pemimpin aliran lain. Al-Syatibi juga menentang praktek penyebutan nama sultan tertentu dalam do’a-do’a. Al-Syatibi menganggap bahwa praktek tersebut lebih bernuansa politis daripada ibadah.
Al-Syatibi merupakan ilmuwan yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu dan menguasainya secara komprehensif. Menurut Abu al-Ajfan, ini disebabkan al-Syatibi telah menguasai metode ‘ulum al-wasa’il wa ‘ulum al-maqasyid atau metode esensi dan hakikat.
Dari sedikit review latar belakang kehidupan dan profil al-Syatibi di atas dapat dipahami bahwa al-Syatibi memiliki bangunan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan telah teruji melalui perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Tidak mengherankan jika al-Muwafaqat menjadi referensi di sebagian besar kalangan ilmuwan modern.

2. Karya-karya al-Syatibi
Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra arab dan jurisprudensi.
(a) Syarh Jalil ‘ala al-Khulasa fi al-Nahw.
(b) ‘Unwan al-Ittifaq fi‘Ilm al-Isytiqaq.
(c) Kitab Ushul al-Nahw.
(d) Al-Ifadat wa al-Irsyadat Insya’at.
(e) Kitab al-Majlis.
(f) Kitab al-I‘tisam.
(g) Al-Muwafaqat.
(h) Fatawa.

  1. Maqashid Syari’ah Imam al-Syatibi
                  Dilihat dari sudut kerasulan Nabi Muhammad SAW, dapat diketahui bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.[3]
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.[4]
 
a. Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah Syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok diatas. Misalanya, firman Allah dalam mewajibkan jihad :
         Artinya:   Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
            Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash :
Artinya:  Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
         Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

b.      Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, di mana bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

Dalam lapangan mu’amalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum rukhshah dalam mu’amalat. Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam Syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, ayat 6 Surat

Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Artinya; Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.

c.       Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan moral dan akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, kata Abd. Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros, kikir, menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).
Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 Surat al-Maidah :
            Artinya;  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

D. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[5]
Metode istinbat, seperti qiyas[6], istihsan[7], dan maslahah mursalah[8] adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan       al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan       al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk ke dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurang-kurangnya salah satu dari kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal dengan maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya , itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqasid syari’ah dalam praktik-praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (maslahah mursalah), dan lainnya seperti istishab[9], sadd al-zari’ah, dan ‘urf (adat kebiasaan), disamping disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqasid syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama Ushul Fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil-dalil hukum di atas.
Diskursus maqashid al-syari‘ah sebelum al-Syatibi banyak berkutat pada persoalan ‘illah hukum dan maslahah sebagai landasan perumusan hukum. Karena waktu itu para ulama ushul banyak yang merangkap sebagai teolog atau ulama kalam, maka banyak wacana di bidang ushul fikih juga dieksplorasi oleh para teolog termasuk diskursus maqashid al-syari‘ah. Salah satu hasilnya adalah diskursus mengenai hukum kausalitas yang sebenarnya ada perbedaan paradigma yang tidak bisa dicampuradukkan antara kausalitas dalam kerangka filsafat hukum dan kausalitas dalam kerangka teologi.
Menurut al-Syatibi, dalam merumuskan hukum, motif Allah adalah kemaslahatan manusia dan dari premis awal inilah perdebatan tentang hukum kuasalitas dimulai. Namun, pengertian sebab, kausa atau motif dalam ilmu kalam tidak bisa disamakan dengan pengertian ‘illah dalam ushul fikih. Ada peralihan makna atau perubahan semantik ‘illah dari studi teologi menuju studi filsafat hukum....
Al-Syatibi berpendapat bahwa maslahah sebagai motif syari’ah diketahui melalui metode induktif, baik sebagai grand theme syari’ah secara umum maupun sebagai penjelasan atas alasan-alasan sebuah hukum atau perintah secara rinci. Al-Syatibi memberikan contoh yang telah dijelaskan alasan-alasannya dalam al-Qur’an. Misalnya, perintah wudlu yang motifnya adalah kesucian, perintah berpuasa yang motifnya adalah ketaqwaan dan kesalehan dan perintah berjihad yang motifnya adalah kemerdekaan.
Doktrin maqashid al-syari‘ah merupakan suatu usaha penegakkan maslahah sebagai unsur esensial dalam tujuan-tujuan hukum. Al-Syatibi memfalsifikasi studi maqashid al-syari‘ah menjadi dua tingkatan, dari sudut maqasid al-syari‘ atau tujuan Allah sebagai pembuat hukum dan dari sudut pandang maqashid al-mukallaf atau subjek hukum.
Kemaslahatan sebagai maqasid al-syari‘ mempunyai arti bahwa Allahlah yang memutuskan sebuah kemaslahatan. Meskipun demikian, al-Syatibi menyadari bahwa kondisi ini tidak bersifat final. Al-Syatibi mengakui bahwa kemaslahatan versi Allah ini masih bisa dipahami dan dibuka ruang-ruang diskursifnya. Maqashid al-syari‘ah versi Allah ini mencakup empat aspek pengertian, yaitu:
1.      Kemaslahatan sebagai dasar tujuan syari’at. Aspek ini membicarakan tentang pengertian, tingkatan, karakteristik dan relatifitas atau keabsolutan maslahah.
2.      Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini mendiskusikan dimensi linguistik dalam persoalan taklif. Perintah yang merupakan bentuk taklif harus bisa dipahami oleh semua mukallaf baik pemahaman kata dan kalimatnya maupun pemahaman linguistik dan kulturalnya. Dalam aspek ini al-Syatibi menggunakan dua istilah, al-dalalah al-ashliyyah atau pengertian esensial dan al-dalalah al-ummumiyyah atau common sense.
3.      Syari’at semata-mata sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Aspek ini menganalisa pengertian taklif dalam kaitannya dengan kemampuan manusia, kesulitan yang dihadapi dan lain-lain.
4.      Tujuan syari’at membawa mukallaf ke bawah naungan hukum. Aspek ini bermakna mewujudkan kepatuhan manusia di bawah hukum Allah. Manusia harus dibebaskan dari belenggu hawa nafsu.
Dari sudut maqashid al-mukallaf, al-Syatibi mengangkat pembahasan tentang kehendak dan perbuatan-perbuatan manusia. Dalam hal ini al-Syatibi membahas beberapa konsep yang berkaitan dengan tujuan versi mukallaf yaitu tentang konsep mashlahah, dalalah, taklif, ta‘abbud dan niat. Penelitian ini hanya akan membahas konsep maslahahnya saja.


E. Kesimpulan
1.      Dalam pandangan Al-Syatibi, bahwa jika diteliti seluruh hukum dalam syari’ah, maka semuanya itu dibuat untuk tujuan yang satu, yaitu kemaslahatan manusia (mashalih al-ibad). Atas dasar inilah, Al-Syatibi dikenal sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah hokum Islam, sebab dialah salah satu ulama yang paling menekankan pentingnya “kemaslahatan” sebagai dasar pemahaman atas hukum Islam.
2.      Menurut Al-Syatibi, maslahat itu bertingkat-tingkat atau hirarkis. Ada 3 (tiga) tingkatan kemaslahatan : dharuriyyat (maslahat yang urgen), hajiyyat (maslahat pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat penyempurna/aksesoris). Maslahat tingkat kedua tentu tidak sepenting maslahat tingkat pertama, dan maslahat tingkat ketiga tentu tidak sepenting maslahat tingkat kedua.
3.      Menurut Al-Syatibi, maslahat paling dasar dalam agama adalah lima : menjaga agama, menjaga nyawa, menjaga keturunan, menjaga hak milik, dan menjaga akal. Yang apabila dikembangkan penafsirannya, kelima maslahat itu akan berbunyi sebagai berikut: 1. melindungi kebebasan beragama, 2. melindungi kelangsungan hidup, 3. melindungi kelangsungan keturunan, 4. melindungi hak milik, dan 5. melindungi kebebasan berpikir.
Jika kita tafsirkan dalam bahasa kontemporer, maka kelima maslahat itu akan mencakup perlindungan atas sekurang-kurangnya 3 hak : hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, dan hak-hak budaya.
   

             DAFTAR PUSTAKA                             
                1.  Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta.
2         Abu  Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, Darul Ma’rifah, Beirut,  1997.
3        Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa : Moh. Zuhri dan Ahmad Karib, Dina Utama, Semarang, 1994.
4        Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Press, Jakarta, 2006.
5        Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
6        Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
7        http:// biografi tokoh muslim / imam syatibi . html
8        Maqashid al-Syari’ah : Suatu Elaborasi Awal Atas Teori Imam Syatibi.




[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 233.
[2] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (terj), Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 2.
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hlm. 121.
[4] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul Ma’rifah,  Bairut, 1997, jilid 1-2, hal. 324
[5] Satria Effendi, op. cit. hal. 237.
              [6]Secara bahasa (Arab), qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 62.
               [7]Secara etimologi, ihtisan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama ushul fiqh. Nasrun Haroen, …ibid, hlm. 102.
              [8]Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.” Nasrun Haroen,…ibid, hlm. 113.
               [9] Secara bahasa Arab berarti, pengakuan adanya penghubungan. Sedangkan menurut para ahli ilmu ushul fiqh adalah : menetapkan hokum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hokum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya itu. Abdul Wahhab Khallaf,…op. cit, hlm. 127.

0 komentar:

Posting Komentar