|
Oleh: Mustafa Syukur, MSI |
.A.
PENDAHULUAN
Diantara kita mungkin ada yang
pernah ke luar negeri misalnya di Arab Saudi, disana sangat jarang sekali
(hampir tidak ada) perbedaan dalam ber-Hari Raya, mereka hampir selalu
bersama-sama dalam ber-Hari Raya, tidak seperti di Indonesia yang agak sering
terjadi, bahkan menurut catatan; negara kita Indonesia ini memegang rekor
tertinggi seringnya berbeda dalam ber-Hari Raya. Perbedaan ini tidak jarang juga
menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam dan dapat mengganggu ke khusu’an
serta kemantapan persatuan ummat Islam.itu disebabkan perbedaan penentuan awal
dan akhir Romadhon.
Sungguh akan lebih indah lagi jika
ummat Islam di Indonesia ini bisa bersama-sama dalam ber-Hari Raya. Apa
penyebab adanya perbedaan awal dan akhir Romadho yang mengakibatkan Hari Raya di Indonesia berbeda? Dan bagaimana
solusinya?
Di dalam makalah ini hal tersebut
akan dibahas dan kami berharap bisa menjadi solusi yang akan mengakhiri perbedaan Hari Raya di
Indonesia, Amin.
B. PENYEBAB
ADANYA PERBEDAAN AWAL DAN AKHIR ROMADHON
Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada
umumnya langsung ‘Menuduh” bahwa perbedaan itu di sebabkan karena adanya
perbedaan antara hisab dan rukyat, memang benar bahwa perbedaan itu dapat di
timbulkan karena perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus- kasus tertentu,
justru perbedaan itu di sebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara
hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang di sebabkan oleh
adanya perbedaan dikalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan dikalangan ahli
rukyat sendiri, atau perbedaan lain diluar teknis hisab rukyat, misal karena
adanya informasi dari Saudi Arabia tentang jatuhnya hari wukuf, yang berbeda
dengan keadaan di Indonesia, walaupun kalangan dan ahli hisab sepakat mengenai
keadaan di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, kami ingin mengemukakan
penyebab perbedaan dengan membaginya kepada penyebab yang berasal dari
perbedaan antara hasil hisab dan rukyah, perbedaan di kalangan ahli hisab
sendiri, dan penyebab diluar teknis hisab rukyat.
1)
Perbedaan antara hisab dan rukyat.
Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha
di Indonesia, terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab (misalnya
Muhammadiyah) dan kelompok masyarakat yang berpedoman pada rukyat (misalnya NU).
Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai alasan fiqh
masing-masing, yang berbeda satu sama lain.
Di Indonesia, perbedaan pedoman ini tidak selamanya
menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya, bahkan ada
kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan yang ditimbulkan oleh
perbedaan hisab dan rukyat ini. Dari kasus-kasus yang tercatat di Direktorat
pembinaan peradilan Agama, sejak tahun 1962, ada suatu kesimpulan bahwa jika
ahli hisab menyatakan hilal berada di bawah ufuq maka tidak pernah ada orang
yang melaporkan bahwa hilal berhasil di rukyat. Ini artinya dalam keadaan hilal
dibawah ufuq, kalangan hisab dan kalangan rukyat selalu sepakat dalam memulai
puasa atau berhari raya.
Sebaliknya, jika Ahli Hisab sepakat Hilal telah di
ufuk, maka hampir selalu dilaporkan Hilal berhasil diRukyat. Ini artinya, hasil
Hisab hampir selalu sama dengan hasil Rukyat. Kasus perbedaan penetapan awal
Romadlon 1407 H atau 1987 adalah diantara sedikit kasus perbedaan yang
disebabkan murni karena perbedaan Hisab dan Rukyat. Dalam kasus tersebut, ahli
Hisab sepakat bahwa di seluruh wilayah Indonesia Hilal telah berada di atas
ufuk, tapi tidak ada laporan yang menyatakan melihat Hilal.
Hanya saja semenjak tahun 2000, ketika Muhammadiyah
memutuskan penentuan awal bulan dengan hisab Wujudul Hilal yaitu asal hilal
diatas ufuk walaupun kurang dari 2 drajat (misal 0,5 drajat), sedangkan NU
(pemerintah RI) tetap berpegang teguh dengan Rukyah-nya, maka perbedaan Hari
Raya tersebut agak sering terjadinya. Kenapa? Karena kebiasaannya hilal bisa di
rukyah itu minimal ketinggiannya 2 drajat, sehingga ketika tinggi hilal kurang
dari itu, maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah yang otomatis NU (pemerintah
RI) akan menempuh jalan Istikmal sedangkan Muhammadiyah tidak akan menempuh
jalan tersebut karena hilal dianggap sudah Wujud. Jadi perbedaan hari raya dapat dipastikan terjadi.
2)
Perbedaan dikalangan Ahli Hisab.
Perbedaan dikalangan ahli Hisab pada dasarnya
terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macam sistem dan referensi Hisab,
dan berbeda-bedanya kriteria hasil Hisab yang dijadikan pedoman. Saat ini
terdapat lebih dari 30 sistem dan referensi Hisab yang masih dipergunakan oleh
masyarakat Indonesia. Semuanya itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang
dikenal dengan istilah Kolompok Hisab
Taqribi, Hisab Tahqiqy dan Hisab Kontemporer kelompok Hisab Taqribiy seperti Kitab
Sullamunnayyiroin, Al-Qowa’idul Falakiyah dan Fathur Roufil Mannan menyajikan
data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara sederhana tampa
menggunakan ilmu ukur segi tiga bola, sedangkan kelompok Hisab Tahqiqy seperti
Al-Khulashotul Wafiyah, Hisab Haqiqi dan Nurul Anwar menyajikan data dan sistem
perhitungan dengan menggunakan kaidah-kaidan ilmu ukur segi tiba bola. Kelompok
Hisab Kontemporer seperti sistem H. Sa’aduddin Jambek dengan Tata Almanak
Nautika, Dian Meeus dan Ephemeris Hisab Rukyat, disamping menggunakan kaidah-kaidah
ilmu ukur segi tiga bola, juga mempergunakan data yang up to date.
Ketiga kelompok referensi
Hisab tersebut mempunyai keistimewaannya masing-masing. Namun untuk perhitungan
posisi bulan dan matahari secara detail ketiga kelompok tersebut menghasilkan
data yang berbeda, terutama antara kelompok Hisab Taqriby dengan dua kelompok
Hisab lainnya. Sebagai contoh menjelang awal Syawal 1412 H/1992 untuk
perhitungan ketinggian bulan, perbedaan tersebut dapat mencapai nilai 4 ½ drajat.
Perbedaan ini akan mempunyai konsekwensi perbedaan penetapan awal bulan, jika
yang satu menyatakan Hilal sudah diatas ufuk, sementara yang lainnya menyatakan
Hilal masih dibawah ufuk, seperti kejadian awal Syawal berturut-turut tahun
1412, 1413 dan 1414 H. dengan demikian, perbedaan itu, bukan hanya terjadi
antara kalangan Hisab dan kalangan Rukyat, namun juga terjadi antara kalangan
Hisab itu sendiri.
Para Ahli Hisab, selain
berbeda-beda dalam menggunakan sistem Hisab, juga berbeda-beda dalam
menggunakan kriteria hasil Hisab dalam menetapkan awal bulan Qomariyah.
Sebagian berpedoman kepada Ijtima’ Qoblal Ghurub, sebagian berpegang pada
posisi Hilal diatas ufuk.
Yang berpegang pada
posisi Hilal diatas ufuk juga berbeda-beda ada yang berpedoman pada Wujudul Hilal diatas ufuk, ada yang berpedoman pada Imkan
Rukyat 20 atau 50 semuanya ini dapat menimbulkan
penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan sistem dan referensi
Hisab yang sama. Contoh kasus dalam hal ini adalah perbedaan yang terjadi pada
penetapan awal Syawal 1423 H atau 2002 dan awal Dzulhijjah 1423 H / 2003. pada
kedua kasus itu, antara kalangan Hisab yang berpedoman pada Wujudul Hilal
antara lain Muhammadiyah dan kalangan Hisab yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20
(antara lain PERSIS) terjadi perbedaan. Kalangan yang pertama berhari raya satu
hari terlebih dahulu dari kalangan yang kedua, sebab tinggi Hilal di wilayah
Indonesia sudah diatas ufuk walaupun belum mencapai 20.
Mungkin diantara kita ada
yang menganggap bahwa Hisab tidak boleh dipakai dalam penentuan awal bulan
Hijriyah, padahal sebenarnya ada Fuqoha’ yang memperbolehkannya. Untuk
memperjelas hal tersebut alangkah lebih baiknya kalau kita lihat keterangan
Fuqoha’ yang kami kutipkan sebagai berikut:
Sejumlah Hadis Soheh menetapkan bahwa untuk
menentukan masuknya bulan Hijriyah, khususnya Romadhon dan Syawal dengan salah
satu dari tiga cara : Pertama melihat hilal, kedua menyempurnakan bulan yang bersangkutan
(Ikmal) dan yang ketiga : mentakdirkan adanya hilal (mis; dengan ilmu hisab),
hanya saja cara yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh Fuqoha’.
Perselisihan ini dilatarbelakangi adanya
ketidaksamaan interpretasi terhadap kalimat فاقدرواله pada Hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang bunyi
lengkapnya:
لاتصوموا
حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله
“ Janganlah kamu berpuasa sehingga melihat
hilal (Romadhon). Dan jangan pula kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu
melihatnya (hilal Syawal). Dan jika hilal tertutup mendung, maka taqdirkanlah”.
Satu pendapat mengatakan bahwa makna dariفاقدرواله adalah sempurnakan bulan
Sya’ban / Romadhon itu menjadi 30 hari. Sehingga mereka berpendapat bahwa
penetapan masuknya awal bulan hijriyah tidak boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat
ini merupakan pendapatnya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, jumhurul salaf dan
Kholaf.
Sedangkan
pendapat lainnya mengatakan bahwa makna dari فاقدرواله adalah perkiraaan hilal itu dengan berdasarkan ilmu Hisab.
Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini
merupakan pendapatnya Muthorif bin Abdullah (tokoh Tabi’in), Ibnu Suraij, Ibnu
Qutaibah dan kebanyakan ulama’ mutaakhirin (zaman sekarang).
Argumentasi
Fuqoha’ yang tidak membolehkan ilmu hisab dalam penetapan awal bulan hijriyah
antara lain : Hadis Ibnu Umar diatas tidak boleh diamalkan karena hadis
tersebut masih bersifat global. Lebih lanjut menurut mereka; hadis Ibnu Umar
yang bersifat global harus diartikan dengan hadis yang memuat penjelasaan yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang berbunyi :
صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
”
Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya (hilal Romadhon) dan berbukalah kamu
semua (berhari Raya Idul Fitri) karena terlihatnya (hilal Syawal). Jika ia
tertutup bagimu, maka sempurnakanlah ia 30 hari”.
Argumentasi yang lainnya : Barangsiapa yang
mengatakan bahwa makna فاقدرواله adalah ditentukan dengan Hisab,
dibantah oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang berbunyi :
إنا
أمة أمية لانكتب ولانحسب
“
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak pula
menghitung”.
Imam An-Nawawi salah satu tokoh dari madzhab
Syafi’i menambahkan : Andaikan orang-orang diharuskan melakukan hisab, pasti
mereka tidak akan mampu. Karena mereka tidak bisa hisab, yang bisa hanya
beberapa orang yang berdomisili di negara-negara besar.
Dari sebagian argumentasi diatas, fuqoha’ tidak
membolehkan pemakaian hisab dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Dan pendapat
inilah yang dianut oleh NU dan pemerintah Indonesia saat ini.
Sedangkan fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal
bulan Hijriyah dengan ilmu Hisab, berargumentasi : Hadis mengenai perintah puasa
dengan cara terlihatnya hilal (ru’yah) oleh fuqoha’ yang membolehkan penggunaan
hisab, dipahami bahwa adanya hilal itu dapat dilihat karena antara matahari dan
bulan telah terjadi konjungsi, serta posisi hilal sudah berada diatas ufuk.
Lebih dari itu adanya perintah istikmal hanya 30 hari karena pada saat
matahari terbenam pada hari ke-30 tersebut pasti sudah terjadi konjungsi, serta
posisi hilal pasti sudah diatas ufuk sekalipun tidak dapat dilihat. Sehingga ru’yah
bil fi’li yang berlaku di zaman Rosululloh dipahami sebagai salah satu
media observasi bulan untuk membuktikan keberadaan hilal.
Padahal ilmu Hisab (Qoth’i) dapat memperhitungkan
keberadaan hilal yakni kapan terjadinya konjungsi dan bagaimana posisi hilal
diatas ufuk, sehingga menurut fuqoha’ golongan ini berpandangan bahwa hisab
tidak jauh berbeda dengan ru’yah yaitu sama-sama berfungsi sebagai media
observasi (sarana). Oleh karena ru’yah bisa dijadika penetapan awal bulan maka
tentunya hisab dapat juga dijadikan dasar penetapan awal bulan, dan diperkuat
adanya hadis Ibnu Umar فاقدرواله yang oleh Ibnu Suraij hadis tersebut diperuntukkan untuk
orang-orang yang dianugrahi ilmu falak oleh Alloh SWT, sedangkan فأكملوا العدة ditujukan pada orang-orang awam (tidak bisa ilmu Hisab).
Berbedanya khitob (sasaran seruan) lantaran
perbedaan situasi dan kondisi adalah persoalan realistis dan hal tersebut
banyak terjadi dalam nash-nash agama. Bahkan perbedaan khitob ini menjadi azaz
bagi qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :
تغير
الفتاوى بتغير الزمان والحال
“Berubahnya fatwa-fatwa karena perubahan
zaman dan keadaan”.
Lebih jauh lagi Ibnu Suraij mengutip (menukil)
pendapat dari Imam Syafi’i bahwa Imam Syafi’i berkata : orang-orang yang
madzhabnya itu mengambil pedoman dengan bintang-bintang dan kedudukan bulan,
kemudian jelas baginya menurut dalil tersebut bahwa hilal sudah bisa dilihat,
tetapi tertutup awan, maka orang tersebut boleh menjalankan puasa dan hal itu
sudah mencukupinya (lihat Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal 243). Sehingga
Ibnu Suraij berpendapat bahwa seseorang yang mengerti ilmu hisab, kemudian dia
mengetahui bahwa besok tanggal satu Romadhon, maka ia wajib berpuasa, karena ia
tahu berdasasrkan dalil. Jadi, sama saja dengan mengetahui hilal dengan mata
kepala.
Sedangkan hujjah (dalil) yang dipakai
fuqoha’ bahwa tidak boleh memakai hisab karena kita merupakan ummat ummiyyah
(tidak bisa baca dan tulis), menurut Yusuf Al-Qorodhowi kurang tepat untuk
masalah ini. Sebab hadis tersebut membicarakan perihal keadaan ummat dan sifat ummi
itu dilekatkan oleh Rosululloh pada bangsa Arab ketika beliau baru saja
diangkat menjadi Rosul. Tetapi sifat ummiyah bukanlah perkara yang tetap
dan dikehendaki oleh Rosululloh. Buktinya beliau telah berusaha keras untuk
memberantas buta huruf dengan cara menyuruh para sahabat yang pandai baca dan
tulis agar mengajari yang buta huruf dan hal tersebut sudah dirintis oleh
beliau semenjak perang Badar. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mustahil
dalam kondisi ummat yang sekarang ini terdapat orang yang pandai ilmu Hisab.
Adapun penilaian yang dikemukakan oleh Imam
An-Nawawi, yaitu bahwa ilmu hisab hanya diketahui oleh beberapa orang yang
tinggal di negara-negara besar, hal tersebut benar jika dihubungkan dengan
zaman Imam An-Nawawi sendiri. Tetapi menjadi salah kalau dihubungkan dengan
zaman sekarang. Ilmu falak (hisab) sekarang sudah dipelajari di berbagai
perguruan tinggi yang di bantu dengan teropong bintang. Sehingga sekarang
menjadi keputusan internasional bahwa kemungkinan keliru dalam menentukan detik
yang dilakukan oleh dewan hisab dan ru’yah 1 banding 100000 (lihat, Fiqhus Shiyam, halaman 26 – 27).
Kalau
diperhatikan pendapat dari ulama’ mutaqoddimun, ternyata yang menjadi
penyebab tidak dibolehkannya penggunaan hisab karena beralasan (illatnya) ummat
Islam adalah ummi (tidak bisa
baca dan hitung), sebagaimana bunyi dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim: إنا
أمة أمية لانكتب ولانحسب.
Hal
ini berarti menjadikan ru’yah sebagai satu-satunya cara untuk penetapan awal
bulan karena illat yang sudah di nash oleh agama yaitu kita adalah umat yang
ummi (tidak bisa membaca dan menghitung), yang otomatis bertentangan
dengan qoidah fiqhiyyah yang
berbunyi
الحكم
يدور مع العلته وجودا و عدما
“ Hukum itu
tergantung pada illatnya, baik adanya maupun tidak adanya “.
Maksud dari qoidah ini: apabila illatnya ada;
yaitu umat islam yang ummi (tidak bisa baca dan hitung) maka hukumnya
pasti ada; artinya penetapan awal bulan
harus dengan ru’yah. Akan tetapi apabila illatnya tidak ada yaitu seluruh atau
sebagian besar ummat islam sudah bisa membaca dan berhitung (ilmu Hisab),
otomatis hukum wajib ru’yah juga tidak ada (bisa diganti dengan hisab).
Agak banyak ulama’ mutaakhirin (masa
sekarang) yang memberikan fatwa : penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu
hisab (qoth’i), antara lain : Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad
Mohammmad Syakir, Al-Allamah Asy-Syahid Rosyid Ridho, Al-Faqih Al-Kabir
Asy-Syeh Mustofa Az-Zarqo’ Hafizdohulloh, Syeh Mustofa Al-Maroghi, Syeh Ali
Tantowi, Doktor Yusuf Al-Qorodhowi dll.
Dalam hal ini, Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah
Ahmad Mohammmad Syakir telah menulis risalah dengan judul Awailus Syuhur
Al-Arobiyah. Dalam risalah tersebut di jelaskan dengan panjang lebar
berdasar dengan dalil-dalil yang kuat, ringkasannya sebagai berikut :
“Bangsa yang ummi, yang tidak kenal baca
dan tulis, harus berpegang teguh kepada ru’yah. Tetapi bila situasi dan kondisi
telah berubah, dimana ummat Islam sekarang sudah pandai menulis dan berhitung,
tidak lagi memerlukan bantuan ghoirul muslimin dalam menetapkan awal
bulan dengan hisab, mereka bisa berpegang kepada hasil hisab sebagai ganti dari
ru’yah. Sebab hisab merupakan wasilah (sarana) yang lebih jeli, lebih
teliti, dan lebih mudah mempersatukan pendapat kaum muslimin dalam mengawali
masuknya bulan baru. Menurut beliau awal bulan bisa ditetapkan : apabila
menurut hasil hisab tenggelamnya matahari lebih dulu dari hilal walaupun hanya
terpaut beberapa detik saja.“ (lihat Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyah,
hal 7-15). Kayaknya pendapat inilah yang di adopsi kalangan Muhammadiyah.
Hanya saja pendapat Syeh Syakir yang terakhir ini
(yang saya garis bawahi) dikritik oleh Yusuf Al-Qorodhowy, beliau berkata bahwa
terlihatnya hilal memerlukan waktu, teks nya sebagai berikut :
المرجح أن يبقى بعد
الغرب مدة يمكن فيها ظهوره، بحيث يمكن رؤيته باالعين المجردة، وذلك نحو أو [20] دقيقة على ما ذكر أهل الإختصاص.
Maksud dari teks diatas :“Pendapat yang kuat : awal bulan bisa ditetapkan apabila hilal sudah
wujud, dalam arti memungkinkan di lihat dengan mata; yang menurut ahli ihtishos
(Astronom) : hilal baru wujud (imkanurru’yah) ketika tenggelamnya hilal
15 menit atau 20 menit setelah terbenamnya matahari.
Dari sini jelas, bahwa Yusuf Al-Qorodhowy
cenderung pada hisab imkanurru’yah, yang sebelumnya pendapat ini juga pernah
dilontarkan oleh : Al-Qolyubi, Ibnu Qosim Al-Ubbadi , Al-Imam Ibnul Daqiqil Id
dan fuqoha’ lainnya.
Menurut hemat kami, penetapan awal bulan dengan
hisab yang mensyaratkan kriteria imkanurru’yah; lebih kuat, karena perintah
ru’yah dari Rosululloh صوموا لرؤيته; mengisyaratkan kepada kita bahwa hilal
adalah fenomena yang tampak, dan tidak relevan jika berkenaan dengan sesuatu
yang tidak tampak.
Dan
kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang di katakan Yusuf Al-Qorodhowi
dalam buku Ushul Feqihnya, yang intinya : Untuk memahami hadis yang baik, maka
kita harus dapat membedakan antara tujuan dan sarana (wasilah).
Dalam
hadis Ibnu Umar صوموا
لرؤيته menunjukkan adanya tujuan dan sarana. Tujuan dari
hadis tersebut kita disuruh berpuasa pada bulan Romadhon secara keseluruhan,
sedangkan sarana untuk memulai berpuasa adalah dengan ru’yah bil fi’li; yang
merupakan sarana yang termudah bagi ummat Islam pada zaman Rosululloh. Kalau
kita mempunyai sarana lain dan jauh dari kemungkinan salah, keliru, kebohongan
dan sangat mudah yaitu ilmu Hisab. Kenapa kita harus jumud atau terus berpegang
pada sarana yang sebenarnya itu bukanlah tujuan dari hadis yaitu berpuasa ?.
Dari dua pendapat tersebut diatas (penetapan awal
bulan dengan ru’yah dan hisab) yang sejalan dengan ilmu Astronomi adalah
pendapat yang terakhir yaitu : bolehnya pemakaian hisab dalam penentuan awal
bulan jika hilal sudah wujud, dalam arti ada sebagian piringan bulan yang
menghadap ke bumi; yang seumpama tidak ada penghalang (misalnya mendung), hilal
akan terlihat. Pertimbangannya : peredaran atau kedudukan bulan bisa diketahui dengan keakuratan yang
mendekati orde detik dan hal itu bisa dibuktikan dengan observasi. Dan bisa terjadi
suatu kasus yang tidak logis yaitu : seumpama hilal telah wujud diatas ufuk
dengan ketinggian 11 drajat, lalu terjadi mendung. Nah….kalau awal bulan kita
undur (istikmal karena mendung) maka tidak tertutup kemungkinan bulan purnama
akan terjadi pada tanggal 12. Hal ini tidak logis karena bulan purnama tidak
pernah terjadi pada tanggal 12.
Dan rupanya pendapat fuqoha’ yang membolehkan
penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab ini, digunakan oleh
Muhammadiyah.
Solusi
terbaik bagi kita dengan adanya fuqoha’ yang mewajibkan ru’yah dan hisab adalah
menggabungkan kedua-duanya, artinya kita tetap melakukan ru’yah karena jumhurul
fuqoha’ mengatakan hal tersebut fardu kifayah dan ru’yah sifatnya ta’abuddy
(tidak menerima interpretasi selain ru’yah), tetapi hasil ru’yah tersebut
harus dikontrol dengan hisab. Jika menurut hisab; hilal tidak mungkin untuk
diru’yah, maka ru’yah tersebut wajib ditolak.
3)
Perbedaan dikalangan ahli Rukyat
Tidak seluruh kalangan
ahli Rukyat di Indonesia, kini, keadaannya sama seperti dimasa Nabi SAW, dimana
laporan Rukyat dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli Rukyat
mensyaratkan bahwa hasil Rukyat harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil
Hisab. Jika hasil rukyat bertentangan dengan hasil Hisab maka hasil rukyat
tidak dapat diterima. Akibatnya, dikalangan ahli Rukyat itu sendiri perbedaan
dimulai puasa dan berhari raya dapat terjadi seperti kasus-kasus pada Idul
Fitri 1412H/1992, 1413H/1993 dan 1414H/1994.
Disamping itu para ahli
Rukyat masih belum sepakat bulat tentang Mathla’, sejauh mana jangkauan
berlakunya hasil Rukyat suatu tempat, masih terjadi perdebatan. Ada yang
menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku lokal, namun ada juga yang
berpendapat bahwa Rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia (global).
Perbedaan pendapat mengenai Mathla’ ini dapat mengakibatkan perbedaan dalam
memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi
Arabia dikabarkan telah berhasil Rukyat. Maka di Indonesia akan terpengaruh
oleh informasi hasil Rukyat tersebut.
Dan karena pentingnya
permasalahan ini maka kami akan mencoba mengutipkan pendapatnya Fuqoha’ mengenai
matla’ tersebut dengan agak panjang lebar sebagai berikut:
Seperti yang telah kita
ketahui Fuqoha’ berselisih pendapat mengenai seberapa luas batas geografis pemberlakuan
hasil ru’yah. Sebagian fuqoha’ berpendapat bahwa hukum ru’yah itu bersifat
lokal (hasil ru’yah mengikat daerah sekitarnya saja). Itulah pendapat mayoritas
Syafi’iyyah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i,
berpendapat bahwa ru’yah itu global artinya hasil ru’yah mengikat seluruh dunia
.(lihat, Rohmatul ummah Fihtilafil Aimmah, hal 94).
Catatan: menurut keterangan lain hasil ru’yatul
hilal suatu negara tidak berlaku bagi negara lain yang sangat jauh seperti
Andalus (Spanyol) dan Hijaz (U.E.A.)
Perbedaan ini; salah satunya dilatarbelakangi oleh
hadis Kuraib yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
عن
كريب أن امّ الفضل بعثته إلى معاويةَ بالشام، فقال : فقدمت الشام، فقضيت حاجتَها،
واستهِلَّ عليّ رمضانُ وأنا باالشام، فرأيت الهلالَ ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينةَ
في آخر الشهر، فسألني عبدالله بن عباسٍ، فقال : متى رأيتم الهلالَ ؟ فقلت : رأيناه
ليلة الجمعة، فقال : أنت رأيتَه ؟ فقلت : نعم، ورآه الناسُ وصاموا، وصام معاويةُ،
فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت، فلانزالُ نصوم حتى نكمل ثلاثين أونراه، فقلت : ألا
نكتفي برؤية معاويةَ وصيامه ؟ فقال : لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم
.
“Dari
Kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh Ummul Fadli untuk menemui Muawiyah
di Syam, Kuraib berkata : lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummul
Fadli itu. Ketika bulan Romadhon tiba, aku masih berada di Syam dan aku melihat
hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan
Romadhon. (ketika itu) Abdulloh bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal ;
“kapan kamu melihat hilal?” aku menjawab : “kami melihat hilal pada malam
Jum’at”. Ibnu Abbas bertanya lagi : “Kamu melihatnya juga ?” jawabku : “Ya, dan
orang lain juga melihatnya dan mereka berpuasa, demikian pula Muawiyah”. Lalu
Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami disini melihat hilal pada malam sabtu. Jadi
kami tetap berpuasa sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali)
“. Kemudian aku bertanya : “ Apakah tidak cukup dengan ru’yahnya Mu’awiyah dan
dengan puasanya ?”. Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, sebab demikianlah perintah
Rosululloh SAW kepada kami”.
Satu pendapat mengatakan bahwa hadis
ini tidak perlu diamalkan karena Ibnu Abbas dalam hadis Kuraib itu hanya
menuturkan pemahamannya sendiri terhadap perintah Rosululloh SAW dan bukan
meriwayatkan sesuatu yang beliau hafal dari Rosululloh. Sehingga hadis Kuraib
yang sebenarnya bisa bertindak sebagai Mukhosis (yang mengkhususkan), tidak dapat
mentakhsis hadis lainnya yang menunjukkan makna umum (ru’yah global) yaitu
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم
عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Sehingga mereka berpendapat bahwa ru’yah itu
global, sesuai dengan khithob (seruan) dalam sabda Rosululloh Shumu (berpuasalah kamu) dan Aftiru (berbukalah kamu) yang menunjunkkan makna umum di
tujukan kepada seluruh kaum muslimin di segala penjuruh dunia (berlaku secara
global). Keberlakuan global ini berdasarkan kaidah syara’:
العام
يبقى على عمومه مالم يرد دليل التخصيص
“Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada
keumumannya sampai tidak ada dalil yang menghususkannya”.
Disamping itu lafadz ru’yatuhu (dalam
rangkaian liru’yatihi) adalah isim jinis yang di sambung dengan kata
ganti (orang ketiga tunggal), yang artinya ru’yatul hilal yang di lakukan oleh
siapapun di antara kaum muslimin.
Dan ada satu pertimbangan lagi yang sangat penting
yaitu persatuan dari umat islam itu sendiri. Apabila hukum ru’yah di berlakukan
secara lokal, maka hal tersebut bisa memancing perpecahan.
Dari kesekian argumen di atas, jumhurul fuqoha’
mengatakan ru’yah di suatu negara berlaku juga bagi negara-negara lain di dunia
(bersifat global).
Sedangkan pendapat fuqoha’ lainnya menerima
(mengamalkan) hadis Kuraib, yang otomatis mentakhsis hadis Ibnu Umar yang
bersifat umum, artinya ru’yah tersebut bersifat lokal. Pertimbangan kelompok
ini adalah syara’ menggantungkan kewajiban puasa dengan lahirnya bulan
Romadhon, sedangkan permulaan bulan pastinya berbeda karena adanya perbedaan
jauh dekatnya antara negara satu dengan yang lainnya. Disamping itu mereka mengqiyaskan
perbedaan terbit-terbenamnya bulan dengan terbit-terbenamnya matahari;
sebagaimana kita ketahui antara daerah satu dan lainnya berbeda.
Didalam madzhab Syafi’i, diketemukan setidaknya 5
pendapat tentang jarak ke garis batas matla’ dari lokasi ru’yatul hilal, yaitu
:
1.Pemberlakuan hasil ru’yah hanya sejauh jarak
dimana qoshor sholat tidak diijinkan, yaitu kira-kira 80 km.
2.
Pemberlakuan hasil ru’yah 8o bujur.
3.Pemberlakuan
hasil ru’yah se-negara (wilayatul hukmi). Seperti yang dianut oleh
Indonesia, sehingga di bagian manapun dari wilayah Indonesia ru’yah dilakukan,
maka hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.
4.Pemberlakuan hasil ru’yah adalah sejauh 24 farsakh
(133 km).
5. Sebagaimana
diungkapkan oleh Imam As-Sarokhsi, ukurannya bukan jarak tertentu, melainkan peluang
ru’yah atau imkanurrukyah. Teksnya sebagai berikut :
إذا رآه أهل ناحية
دون ناحية، فإن قربت المسافة لزمهم كلهم. وضابط القرب : أن يكون الغالب أنه إذا
أبصره هؤلاء لايخفى عليهم إلالعارض، سواء في ذلك مسافة القصر أوغيرها. قال : فإن
بعدت المسافة، فثلاثة أوجه [احدها] يلزم الجميع، ـ الى ان قال ـ [والثالث] إن كانت
المسافة بينهما بحيث لايتصور أن يرى ولايخفى على أولئك بلاعارض لزمهم، وإن كانت
بحيث يتصور أن يخفى عليهم فلا.
Maksud dari teks diatas : Hasil ru’yah berlaku
juga bagi daerah (negara) yang jauh, jika daerah yang jauh tersebut sudah
imkanurru’yah, tetapi jika daerah yang jauh tersebut hilal tidak mungkin di
ru’yah (misalnya hilal masih di bawah ufuk), maka hasil ru’yah daerah lain
tidak berlaku bagi daerah yang tidak imkanurru’yah tersebut.
Menurut hemat kami, dari kelima pendapat tersebut
diatas yang sesuai dengan sudut pandang Astronomi adalah pendapat yang terakhir
(pendapatnya Imam As-Sarokhsi), yaitu menjadikan visibilitas hilal atau
imkanurru’yah sebagai acuan dalam penentuan garis batas matla’. Misalkan daerah
Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 8o, sedangkan
ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut mencapai sekitar 5o (imkanur ru’yah), maka
Indonesia termasuk ikut matla’ Mesir, karena termasuk kawasan imkanurru’yah.
Tetapi jika daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 5o sedangkan
ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut hanya sekitar 1o (tidak
imkanurru’yah), maka Indonesia tidak termasuk ikut matla’ Mesir, karena tidak
termasuk kawasan imkanurru’yah
Dan secara empirik pun, ternyata permukaan bumi
sesudah matahari terbenam paska konjungsi disetiap akhir bulan, selalu terbagi
menjadi dua, yakni kawasan yang mengalami penampakan hilal dan kawasan yang
tidak mengalami penampakan hilal. Karena itu daerah-daerah di dalam kawasan
yang mungkin mengalami penampakan hilal bisa memasuki bulan baru berdasarkan
ru’yatul hilal, sedangkan daerah-daerah yang berada diluarnya harus memasuki
bulan baru berdasarkan istikmal.
Pendapat Imam As-Sarokhsi merupakan solusi terbaik
dalam menanggapi perbedaan fuqoha’ pada permasalahan berlakunya hukum ru’yah
(lokal atau global).
4)
Penyebab diluar tehnis Hisab Rukyat
Khusus mengenai perbedaan
penetapan Idul Adlha di Indonesia, selain penyebab-penyebab tersebut diatas,
juga karena adanya pemehaman Fiqih yang berbeda, sebagian menghendaki agar Idul
Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari Wukuf di Saudi Arabia sedangkan
sebagian lain menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia berdasarkan
keadaan di Indonesia.
Sejak lama perbedaan
pemahaman tersebut berusaha untuk dipertemukan, namun penyeragaman pemahaman
sangat sulit untuk dapat dilaksanakan. Akhirnya dilakukan usaha perumusan
pedoman penetapan Idul Adha sebagai pegangan pemerintah. Untuk itu dilakukan
Musyawaroh-musyawaroh pada tahuan 1977,1987 dan 1992. hasilnya tetap bahwa Idul
Adha di Indonesia dilakukan berdasarkan keadaan di Indonesia, tidak mengikuti
penetapan di Saudi Arabia.
Khusus mengenai proses
penetapan Idul Adlha di Indonesia, ada perkembangan yang menarik untuk
dikemukakan disini, jika kita perhatikan keputusan-keputusan menteri agama
sejak dulu sampai sekarang, maka terlihat bahwa sejak dahulu penetapan Idul
Adha dilakukan bersamaan dengan penetapan hari-hari libur nasional lainnya,
dalam bentuk keputusan Menteri Agama tentang hari libur yang dikeluarkan pada
tahun sebelumnya. Dengan demikian, maka Idul Adlha dilakukan berdasarkan Hisab,
tanpa Rukyat dan tanpa sidang Itsbat. Namun sejak tahun 2001, sejak zaman
Mentri Agama Bapak K.H.M. Tolhah Hasan dalam rangka mengakomodir
pendapat-pendapat yang berkembang, maka penetapan Idul Adlha pun dilakukan
dalam sidang Itsbat, setelah menerima laporan hasil Hisab dan hasil Rukyat.
Nampaknya memang lebih demokratis, namun ada juga yang berpendapat bahwa
semakim banyak dimusyawarohkan semakin banyak pula kemungkinan adanya
perbedaan.
Penyebab non tehnis
lainnya-dan ini merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan- adalah sulitnya
dilakukan kesepakatan tentang pedoman penetapan awal bulan Qomariyah yang dapat
mengikat semua pihak. Kesepakatan telah berkali-kali diusahakan, namun selalu
sulit untuk dapat diterima secara bulat oleh semua pihak. Sebetulnya, pernah
ada suatu kemajuan, dimana semua pihak sepakat bahwa yang mempunyai hak Itsbat
adalah pemerintah. Namun manakala keputusan pemerintah itu tidak sama dengan
keputusan kelompok, maka bagi kelompok tersebut keputusan kelompoklah yang
diberlakukan.
Daftar
Pustaka
Ad-Dasuqi, Syamsuddin Mohammad Bin Ahmad Bin
Urfah,, Hasyiyah Ad-Adasuqi, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ad-Dimasyqi, Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman, Rohmatul
Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Al-hidayah, Surabaya, tt.
Al-Allamah
Asy-Syahid Rasyid Ridho., Tafsir Al-Manar.
Al-Asqolany, Al-Hafidz Ibnu Hajar., Fathul Bari
Syarah Al-Bukhori, CD Maktabatul
Feqih wa Ushulihi.
Al-Bahuti, Mansur Bin Yunus Bin Idris., Kasysyaful
Qina’, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Fiqhus Shiyam,
Darul Wafa’, 1992.
Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Alfiqhu wa Ushuluhu,
CD Al-Qorodhowy Alfiqh wa Ushuluhu.
Al-Qurthuby, Abu Abdulloh Mohammad bin Ahmad
Al-Anshori., Al-Jami’ul Ahkamil Qur’an, CD Maktabatut Tafsir wa Ulumul
Qur’an.
An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Mohammad., Al-Jami’
Li-Masaili Ushulil Fiqhi, Maktabatul Rusydi, Riyadh, 2002.
An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof.,
Soheh Muslim bi Syarah An-Nawawy, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
An-Nawawy,
Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, Darul Fikri, tt.
As-Sarwany, As-Syeh Abdul Hamid., Al-Ubbady,
As-Syeh Ahmad Bin Qosim., Hawasyi As-Syarwany wa Ibnu Qosim ala Tuhfah
Al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Darul Fikri, Beirut Lebanon,tt.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Rowaiul Bayan Tafsir
Ayatul Ahkam minal Qur’an, Daru
Ihyait Turasti Al-Aroby, Beirut, Lebanon, 2001.
As-Shobuny, Mohammad Ali., Shofwatut Tafasir, Al-Maktabah
Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
As-Shon’any, Mohammad Isma’il Al-Amir Al-Yamany., Subulus
Salam Syarah Bulugul Marom, Darul Kitab Al-Aroby, 2001.
As-Subki, Imam Taqiyuddin., Fatawa As-Subky, CD
Jami’ul Fiqh Al-Islamy.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdur-Rohman Bin Abi Bakar.,
Asy-Asybah wa An-Nazhoir, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syafi’i, Abdulloh Bin Mohammad Bin Idris Bin
Abbas Bin Ustman., Al-Um, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syaukani, Mohammad Bin Ali Bin Mohammad., Nailul
Author Syarah Muntaqol Akhbar, CD Al-Maktabatul Al-Fiyah lis-Sunnah
An-Nabawiyyah.
Az-Zuhaily, Wahbah., Al-Fiqhul Islamy wa
Adillatuh, Darul Fikri, 2002.
Ibnu Abidin., Hasyiyah Roddul Mukhtar al
Ad-Darul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Ibnu Rusydi Al-Hafid., Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.
Syakir, Al-Allamah Ahmad Mohammad., Risalatu
Awailis Syuhur Al-Arobiyyah, Maktabah Ibnu Taimiyyah, tt.