![]() |
Oleh: Ila Nurmila, MSI |
I.
PENDAHULUAN
Persoalan
hisab dan rukyat telah menyita energi umat Islam demikian besarnya, sehingga
ukhuwah kadang terganggu justru pada saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Sekian lama kita terpaku dan terbelenggu pada masalah, bukan pada solusi. Seolah
persoalannya hanya sekedar perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal) yang mustahil
untuk dipersatukan, sama mustahilnya untuk menyatukan madzhab yang
berbeda-beda. Perdebatan dalil-dalil
yang dianggap paling kuat antara pendukung hisab dan rukyat telah
berlangsung ratusan tahun, namun hasilnya makin memperdalam jurang pemisah.
Makalah
ini akan mencoba membahas dua masalah tersebut di atas, untuk lebih memfokuskan
pada pembahasan, maka masalah yang akan dibahas adalah:
1. Konsep
hisab dan rukyat
2. Sejarah
hisab dan rukyat
3. Kelebihan
dan kekurangan antara hisab dan rukyat
4. Konsepsi
titik temu hisab rukyat di Indonesia
II.
PEMBAHASAN
II.1. KONSEP HISAB
II.1.1.
Pengertian
Hisab[1] menurut bahasa berarti
hitungan, perhitungan,[2] arithmetic (ilmu
hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation
(perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran).[3]
Sementara menurut istilah, hisab adalah perhitungan
benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang
diinginkan. Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu
atau hisab awal bulan maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan
matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut
pada bola langit pada saat-saat tertentu.[4]
II.1.2.
Dasar Hukum
Dasar digunakannya hisab sebagai metode dalam penentuan
awal bulan kamariyah adalah Q.S. al-Baqarah,2:185 dan 189, Q.S. Yunus, 17:5,
Q.S. al-Isra, 10:2, Q.S. An-Nahl, 16:16, Q.S. at-Taubat, 9:36, Q.S. al-Hijr, 15:16,
Q.S. al-Anbiya, 21:33, Q.S. al-An’am, 6:96 dan 97, Q.S. ar-Rahman, 55:5, Q.S.
Yasin, 36:39 dan 40. Adapun dalam hadits adalah:
لاتصوموا
حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له.
Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal
(Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika
tertutup atas kalian maka takdirkanlah. (HR. Muslim dari Ibnu Umar)[5]
وعن
ابن عمر رضي الله عنهما قال: (سمعت رسول الله ص.م. يقول: اذا رايتموه فصوموا واذا
رايتموه فافطروا, فان غم عليكم فاقدروا له). (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Aku pernah mendengar
Rasulallah Saw. bersabda: Bila kamu telah melihat tanggal satu bulan Ramadhan,
maka puasalah, dan bila kamu melihat tanggal satu Syawal, maka berhari rayalah.
Tetapi bila terlihat mendung, maka perkirakanlah (sesuai dengan hari
perhitunggan). (Hadits disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).[6]
ولمسلم:
(فان اغمى عليكم فاقدروا له ثلاثين) وللبخارى: (فاكملوا العدة ثلاثين)
Pada
riwayat Imam Muslim disebutkan: Maka jika mendung terhadapmu, perkirakanlah
sampai hari ke 30. Pada Imam Bukhari: Maka sempurnakanlah sampai hitungan 30
hari.[7]
صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Berpuasalah kamu semua karena terlihat hilal (Ramadhan)
dan berbukalah kamu semua karena terlihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup
atasmu maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30. (HR. Muslim dan Abu
Hurairah).[8]
أن
أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل
على رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في اخره الشهر
فسألني عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت
رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيت فقلت نعم وراه الناس وصاموا وصام معاوية فقال
لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي
برؤية معاوية وصيامه فقال لا هكدا أمرنا رسول الله ص.م.
Bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus Kuraib menghadap
Muawiyah di Syam, lalu Kurib berkata: Setelah saya sampai Syam, saya selesaikan
urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal Ramadhan ketika saya di Syam.
Saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya datang ke Madinah pada
akhir bulan (Ramadhan). Lalu Abdullah bin Abbas memanggilku lalu membicarakan
hilal. Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat hilal?. Saya menjawab:
Kami melihatnya pada malam Jum’at. Kamu melihatnya?, Aku menjawab: Ya, dan
banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa, Muawiyah juga berpuasa.
Abdullah bin Abbas berkata: Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, kita
senantiasa (mulai) berpuasa hingga menyempurnakan (Sya’ban) 30 hari atau
melihat hilal. Kemudian saya (Kuraib) berkata: Tidak cukupkah dengan rukyat
mereka dan puasanya Muawiyah?. Jawab Abdullah: Tidak, demikian inilah perintah
Rasul. (HR. Muslim dari Kuraib).[9]
وعن
ابن عباس رضيى الله عنهما: (ان اعرابيا جاء الى النبي ص.م. فقال: انى رايت الهلال, فقال: اتشهد ان لا اله
الا الله؟ قال نعم, قال: اتشهد ان محمدا رسول الله؟ قال نعم, قال: فاذن فى الناس
يا بلال ان يصوموا غدا) رواه الخمسة وصححه ابن خزيمة وابن حبان, ورجح النسائى
ارساله.
Dari
Ibnu Abbas, r.a.,: Bahwasannya seorang A’rabi datang menghadap Rasulallah Saw.
dan berkata: aku telah melihat tanggal satu Ramadhan. Maka Rasulallah Saw.
bertanya: Apakah kamu bersaksi (dengan sepenuh hati) bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah?, Jawab orang itu: Ya. Lalu beliau bertanya lagi: Apakah kamu juga
bersaksi (dengan sepenuh hati), bahwa Muhammad itu Rasul Allah?, Jawab orang
tadi: Ya. Kemudian beliau bersabda: Hai Bilal, umumkan kepada orang-orang
supaya mereka berpuasa besok pagi. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Lima). Imam
Ibnu Hibban dan Imam Nasa’i merajihkan kerisalahannya.[10]
لاتقدموا
الشهر حتى تروا الهلال قبله أو تكملوا العدة ثم صوموا حتى تراه الهلال أو تكملوا
العدة قبله
Janganlah
kalian mendahului puasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal sebelumnya atau
menyempurnakan bilangan (Sya’ban), kemudian berpuasalah kalian setelah melihat
hilal atau menyempurnakan bilangan (bulan) sebelumnya. (HR. Ibn Majah dan
Huzdaifah bin al-Yamani).[11]
صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حال بينكم وبينه سحاب فأكملوا العدة ولا تستقبلوا الشهر
استقبالا.
Berpuasalah
kalian karena terlihatnya hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian karena
terlihatnya hilal (Syawal). Jika awan menghalangi antara kalian dan hilal
mereka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban). Sekali-kali janganlah mendahului
bulan Ramadhan. (HR. Ibn Majah dari Ibn Abbas).
كان
رسول الله ص.م. يتحفظ من شعبان مالا يتحفظ من غيره ثم يصوم لرؤيتة رمضان فإن غم
عليه عد ثلاثين يوما ثم صام.
Rasulallah
Saw. sangat berhati-hati tentang bulan Sya’ban tidak seperti bulan-bulan
lainnya. Kemudian beliau berpuasa karena terlihatnya hilal. Apabila tertutup
atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’ban) 30 hari, lalu beliau berpuasa.
(HR. Ibn Majah dari A’isyah).[12]
II.1.3.
Macam-Macam Hisab
Secara umum hisab sebagai metode perhitungan awal bulan
kamariyah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Hisab Urfi
Hisab urfi terkadang
dinamakan dengan hisab adadi atau hisab alamah, adalah metode
perhitungan untuk penentuan awal bulan dengan berpatokan tidak kepada gerak
hakiki (sebenarnya) dari benda langit bulan. Akan tetapi perhitungan itu
didasarkan kepada rata-rata gerak bulan dengan mendistribusikan jumlah hari ke
dalam bulan secara berselang-selang antara bulan bernomor urut ganjil dan bulan
bernomor urut genap dengan kaidah-kaidah tertentu. Dengan kata lain hisab urfi
adalah metode perhitungan bulan kamariyah dengan menjumlahkan seluruh hari
sejak tanggal 1 Muharam 1 H hingga saat tanggal yang dihitung.[13]
b. Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah
metode penentuan awal bulan kamariyah yang dilakukan dengan menghitung gerak
faktual (sesungguhnya) bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan
kamariyah mengacu pada kedudukan atau perjalanan bulan benda langit tersebut.
Hanya saja untuk menentukan pada saat mana dari perjalanan bulan itu dapat
dinyatakan sebagai awal bulan baru terdapat beberapa kriteria dalam hisab
hakiki untuk menentukannya. Atas dasar itu terdapat beberapa macam hisab hakiki
sesuai dengan kriteria yang diterapkan masing-masing untuk menentukan awal
bulan kamariyah. Berbagai kriteria dimaksud adalah: Ijtimak sebelum fajar (al-ijtima’
qabla al-fajr), ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub),
bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (moonset after sunset) pada
suatu negeri, imkan rukyat (visibilitas hilal), hisab hakiki dengan
kriteria wujudul hilal.[14]
II.2. KONSEP RUKYAT
II.2.1.
Pengertian
Rukyat[15] menurut bahasa berasal
dari kata ra’a, yara, ra’yan, wa ru’yatan yang bermakna melihat,
mengerti, menyangka, menduga dan mengira,[16] to see, to behold
(melihat), perceive (merasa), notice, observe
(memperhatikan/melihat) dan discern (melihat).[17] Dalam
khazanah fiqh, kata rukyat lazim disertai dengan kata hilal[18] sehingga menjadi rukyatul
hilal[19] yang berarti melihat
hilal (bulan baru). Rukyatul hilal ini berkaitan erat dengan masalah ibadah
terutama ibadah puasa.
Rukyat menurut istilah adalah melihat hilal pada saat
matahari terbenam tanggal 29 bulan Qamariyah. Kalau hilal berhasil dirukyat
maka sejak matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru, kalau tidak
terlihat maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang
berjalan dengan digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.[20]
Rukyat dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan,
awal bulan Syawwal, dan juga awal bulan Dzulhijah. Dua bulan yang pertama
berkaitan dengan ibadah puasa dan ketiga terakhir berkaitan dengan ibadah haji.
Keberhasilan rukyat hilal sangat bergantung pada kondisi ufuk di sebelah Barat tempat peninjau, posisi
hilal dan kejelian mata.[21]
II.2.2.
Dasar Hukum
Landasan normatif rukayat sama dengan hisab, yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dikemukakan dikemukakan dalam dasar hukum
hisab. Dalam perkembangan sekarang, selain dilakukan dengan mata telanjang juga
dilakukan dengan teropong. Untuk menunjang keberhasilan rukyat maka terlebih
dahulu dilakukan perhitungan-perhitungan terhadap ketinggian hilal dan posisi
hilal terhadap matahari dengan berdasarkan pada data-data astronomi modern.
Dengan demikian akurasi hasil rukyat bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
II.3. FENOMENA HISAB DAN RUKYAT
II.3.1. SEJARAH HISAB DAN RUKYAT
Secara historis, rukyat lebih dulu ada dan berkembang
dibandingkan dengan hisab. Rukyat adalah satu-satunya cara dalam menentukan
awal bulan kamariyah sejak masa sebelum Islam.
Nabi Muhammad Saw. di utus pada masyarakat Makah, yang
pada saat itu sudah berkembang menjadi sentral perdagangan. Pada situasi
demikian Nabi ditantang untuk dakwah walau pada akhirnya harus pindah ke
Madinah karena adanya pemboikotan dari sebagian penduduk Makah yang tidak suka
terhadapnya. Di Madinah diterima oleh sesama muslim, disana terciptalah suasana
yang damai hingga Nabi menggagas perjanjian yang dikenal dengan piagam
madinah. Tetapi disini juga masih ada sebagian masyarakat non muslim yang
tidak suka terhadap kehadiran Nabi.
Pada saat itu penanggalan sudah dikenal oleh penduduk
Madinah jauh sebelum Nabi datang, yang dikenal penanggalan Yahudi dengan sistem
penanggalan syamsiyah dengan menekankan pada keajegan perubahan musim tanpa
memperhatikan perubahan hariannya dan penanggalan warisan nenek moyang dengan
sistem penanggalan kamariyah. Penanggalan kamariyah digunakan oleh masyarakat
Madinah yang mayoritas bermata pencaharian bercocok tanam. Untuk menentukan
awal bulan dengan melihat fase-fase perubahan bulan itu sendiri dalam tiap
bulannya. Akan tetapi dengan penanggalan ini mereka mengalami kesulitan untuk
menentukan musim yang sangat mereka perlukan. Maka digabungkanlah penanggalan
kamariyah itu dengan penanggalan samsiyah. Akibatnya dalam setiap tiga
tahun kamariyah akan ada bulan ke 13.
Bulan ke 13 itu mereka gunakan untuk melakukan upacara ritual dan pesta pora
yang menyesatkan.[22]
Kedatangan Nabi dengan seperangkat ajarannya, berupaya
meluruskan tradisi itu, yaitu melakukan perubahan terhadap penanggalan yang
berlaku di Arab (Madinah) yakni dengan menghapus adanya bulan ke 13.
Selanjutnya pada tahun kedua Hijriyah Nabi diperintahkan untuk berpuasa seperti
yang tersurat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 183 dan 185. Maka, Nabi
menjelaskan pada masyarakatnya bahwa umur bulan kamariyah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Selanjutnya
mengenai teknis bagaimana pergantian antar bulan itu terjadi maka Nabi
menerangkan dengan sabdanya:
صومو
الروْيته وافطروا لروْيته فان غمى عليكم فاكملوا العدد (رواه
مسلم).
صومو
الروْيته وافطروا لروْيته فان غمى عليكم فاكملوا العدة شعبان ثلاثين (رواه
البخاري)
.
Cara untuk mengetahui
pergantian bulan pada saat itu adalah dengan rukyatul hilal. Sebagai
implementasi terhadap perintah Nabi, para sahabat berusaha melihat hilal sesaat
setelah matahari terbenam pada Jum’at malam Sabtu tanggal 29 Sya’ban tahun ke 2
H. Akan tetapi, rukyat tidak berhasil. Berita ini kemudian disampaikan kepada
Nabi, kemudian beliau menetapkan bulan Sya’ban tahun itu berumur 30 hari.
Selanjutnya pada hari Ahad petang tanggal 29 Ramadhan tahun itu pula para
sahabat berusaha untuk melihat hilal dan mereka berhasil. Berita ini disampaikan
kepada Nabi, terus beliau memerintahkan kepada sahabat untuk mengakhiri puasa
pada malam itu juga.[23]
Nabi mensyari’atkan penentuan bulan baru dengan rukyatul
hilal karena cara inilah yang dianggap paling sesuai, paling mudah dan tidak
menyulitkan serta sudah familiar bagi umat Islam saat itu. Terlebih lagi pada
hadits sebelumnya Nabi menjelaskan bahwa umat pada massa itu dalam keadaan ummi
yakni tidak bisa menulis dan mengghitung. Berkenaan dengan hal ini, Yusuf
Qardhawi[24]
mengatakan bahwa penggunaan metode rukyat merupakan rahmat dari Allah karena
Allah tidak memerintahkan untuk melakukannya dengan jalan hisab yang tidak
dikenal pada saat itu.
Penggunaan metode rukyat pada saat itu dapat diterima
oleh umat Islam. Sampai sekarang metode ini masih dipakai. Sementara itu,
penggunaan metode hisab sebagai alternatif dalam menetapkan tanggal baru bulan
kamariyah khususnya yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan ibadah bila dilihat
dari sejarahnya bukanlah termasuk hal yang baru sebagaimana telah disinyalir
oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid. Ia menjelaskan bahwa
penggunaan hisab sebagai penentu dalam menetapkan awal bulan sudah dilakukan
oleh sebagian ulama salaf, diantaranya dipelopori oleh Matorif bin al-Syahr.[25]
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754 M-755 M) adalah orang
yang pertama kali memperhatikan ilmu hisab. Dia memerintahkan kepada Muhammad
al-Fazari untuk menerjemahkan kitab Sindihind, sebuah kitab ilmu falak
metode Hindu, yang pada awalnya dikenalkan oleh seorang cendikiawan Hindu yang
bernama Manka. Selain itu Abu Yahya bin Bathriq juga menerjemahkan kitab ilmu
falak yang berbahasa Yunani yaitu Quadripartitum karangan Ptolomeus
seorang ahli falak Yunani yang hidup pada abad pertengahan ke dua. Demikian
juga Umar ibnu Farukhan yang menerjemahkan beberapa kitab tentang hisab dari
bahasa Persia. Pada masa Khalifah Al-Makmun (815 M-833 M) Muhammad bin Musa
al-Khawarizmi berhasil membuat table gerak benda-benda langit berdasar pada
metode yang terdapat pada kitab Sindihind. Dua abad kemudian table itu
diperbaiki oleh Abu Qasim Maslamah al-Majridi.[26]
Sementara itu dikalangan Syi’i penetapan awal bulan
berdasarkan perhitungan astronomis terhadap bulan baru telah dilaksanakan pada
masa pemerintahan Fathimiyah oleh jenderal Jauhar setelah selesai mendirikan
kota Kairo pada tahun 359 H/969 M. Pada waktu itu carra seperti ini dianggap
bid’ah atau inovasi yang menyesatkan oleh kalangan Sunni.[27]
Di Indonesia, sejak masa penjajahan umat Islam sudah
biasa menggunakan penanggalan Hijriyah. Pemerintah Belanda membiarkan
keberlakuan penanggalan itu dan menyerahkan pengaturannya kepada penguasa
kerajaan-kerajaan Islam yang ada terutama pengaturan terhadap hari-hari yang
ada hubungannya dengan peribadatan. Setelah merdeka pengaturan itu kemudian
diserahkan ke Departemen Agama (sekarang Kemenag). Wewenang ini tercantum dalam
PP tahun 1946 No. 2/Um.7 Um.9/Um, dan dipertegas dengan Kepres No. 25/1967 No.
148/1968 dan 10 tahun 1971.[28]
II.3.2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANTARA
HISAB
DAN RUKYAT
Sebagaimana dinyatakan H.A. Mukti Ali dalam musyawarah
hisab dan rukyat tahun 1977 M/1397 H bahwa hisab yang benar akan bisa
dibuktikan dengan rukyat yang benar karena yang menjadi objek keduanya sama,
yaitu hilal.[29]
Artinya secara epistemologis kedua-duanya dapat dibenarkan dan dapat
dipertanggung jawabkan. Namun demikian hisab dan rukyat sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan hisab yaitu dapat menentukan posisi bulan tanpa
terhadang oleh mendung, kabut dan sebagainya. Dengan hisab dapat diketahui
kapan terjadinya ijtimak (conjunction), apakah bulan itu sudah di atas
ufuk atau belum, dengan hisab pula dapat dibuat Kalender Hijriah tahunan secara
jelas dan pasti, sedangkan kelemahan hisab yaitu masih terdapat bermacam-macam
sistem perhitungan, yang hasilnya akan berbeda-beda. Contoh metode Sullamun
Nayyirain akan berbeda dengan Hisab Hakiki, Spherical Trigonometry, dan
Hisab Mawaqit.[30]
Sementara itu kelebihan rukyat (observation), pertama,
observasi merupakan metode ilmiah yang akurat. Hal itu terbukti dengan
berkembangnya ilmu falak (astronomi) pada zaman keemasan Islam. Para ahli
terdahulu mengalami pengamatan secara serius dan berkelanjutan, yang akhirnya
menghasilkan zij-zij (tabel-tabel astronomi) yang terkenal dan hingga
kini masih menjadi rujukan, seperti Zij al-Jadid karya Ibnu Shatir (1306
M/706 H) dan Zil Jadidi Sultani karya Ulugh Beg (1394-1449 M/797-853 H).
Kedua, Galileo Galilei (1564-1642 M/972-1052 H) adalah perintis ke jalan
pengetahuan modern. Ia menggunakan observasi untuk membuktikan suatu kebenaran.[31]
Kelemahan rukyat, pertama , hilal pada tanggal
satu sangat tipis sehingga sangat sulit dilihat oleh orang biasa (mata
telanjang), apalagi tinggi hilal kurang dari dua derajat. Selain itu ketika
matahari terbenam (sunset) di ufuk sebelah Barat masih memancarkan sinar
berupa mega merah (asy-syafaq al-ahmar). Mega inilah yang menyulitkan
melihat bulan sendiri dalam kondisi bulan mati (newmoon). Kecerahan atau
kuat cahaya hilal fase pertama tidak sampai 1 % dibanding cahaya bulan purnama (full
moon). Cahaya hilal sangat lemah dibandingkan dengan cahaya matahari maupun
cahaya senja, sehingga teramat sulit untuk dapat mengamati hilal yang kekuatan
cahayanya kurang dari itu. Kedua, kendala cuaca. Di udara terdapat
banyak partikel yang dapat menghambat pandangan mata terhadap hilal, seperti
kabut, hujan, debu, dan asap. Gangguan-gangguan ini mempunyai dampak terhadap
pandangan pada hilal, termasuk mengurangi cahaya, mengaburkan citra dan
mengaburkan cahaya hilal. Dengan demikian kondisi cuaca adalah faktor yang
dominan mempengaruhi keberhasilan rukyatul hilal. Ketiga,
kualitas perukyat.[32] Keempat, kalau
menggunakan istikmal, mungkin saja bulan sudah ada. Artinya kalau memenuhi
perintah teks hadits, yaitu misalnya tidak berhasil melihat hilal , maka
hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Padahal menurut perhitungan
ilmu falak (astronomi) pada tanggal 30 itu hilal sudah berada di atas ufuk (horizon),
berarti penanggalan bulan baru sudah bisa dimulai.[33]
II.3.3. KONSEPSI TITIK TEMU HISAB RUKYAT DI INDONESIA
PBNU telah membuat “Pedoman Rukyah dan Hisab” (1994) yang
merujuk pada berbagai hadits dan pendapat ulama yang intinya tetap akan
menggunakan rukyatul hilal atau istikmal dalam penentuan awal bulan kamariyah,
khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. Namun, hasil rukyat dapat ditolak
bila tidak didukung oleh ilmu pengetahuan atauu hisab yang akurat. Sampai saat
ini batasan yang digunakan adalah ketinggian hilal minimum 2 derajat, bila
kurang dari itu hasil rukyat dapat ditolak. Prinsip yang digunakan adalah wilayatul
hukmi, yaitu ulil amri (pemerintah) dapat menetapkan rukyatul hilal
di suatu tempat di Indonesia berlaku untuk seluruh wilayah. Itsbat
(penetapan) awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah yang dilakukan oleh
pemerintah dapat diikuti selama didasari oleh hasil rukyat.[34]
PP Muhammadiyah menetapkan awal bulan kamariyah dengan
hisab wujudul hilal melalui metode hisab yang akurat. Hilal dianggap wujud bila
matahari terbenam lebih dahulu dari bulan. Walaupun hisab dan rukyat diakui
memiliki kedudukan yang sama, metode hisab dipilih karena dianggap lebih
mendekati kebenaran dan lebih praktis. Muhammadiyah sebenarnya pernah
menggunakan metode hisab ijtima’ qabla ghurub (ijtima’ sebelum maghrib)
dan hisab imkanurrukyat (hilal yang mungkin dilihat, tidak sekedar
wujud) dalam memaknai hilal. Tetapi karena kriteria imkanurrukyat yang
memberikan kepastian belum ditentukan dan kesepakatan yang ada sering tidak
diikuti, maka Muhammadiyah kembali ke hisab wujudul hilal. Prinsip wilayatul
hukmi juga digunakan, yaitu bila hilal di sebagian Indonesia telah wujud
maka, seluruh Indonesia dinanggap telah masuk bulan baru.[35]
Pola pemikiran hisab dan rukyat telah sedemikian kokoh
dengan dukungan dalil-dalil fiqh yang memperkuatnya. Penganut metode rukyat
sulit untuk menerima hisab sebagai penggantinya. Selanjutnya penganut metode
hisab juga sulit menerima rukyat sebagai penentu karena hisab dianggap telah
mencukupi dan lebih praktis. Namun kenyataan bahwa Muhammadiyah dan Persis
berganti-ganti kriteria menunjukan bahwa iijtihad terus berjalan untuk memaknai
hilal. Sementara itu NU pun telah berijtihad dalam memaknai hilal yang
sesungguhnya dengan mengijinkan hisab mengontrol hasil rukyat yang mungkin
terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Ini peluang titik temu antara metode
hisab dan metode rukyat, yaitu mencari kriteria baru yang berlaku bagi hisab maupun rukyat dalam memaknai hilal
yang sesuai dengan syari’at dan prinsip-prinsip ilmiah astronomis. Tidak ada
satu pun dalil dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang secara tegas bisa diambil
sebagai kriteria kuantitatif (tidak ada isyarat langsung seperti waktu-waktu
shalat yang relatif mudah diinpretasikan secara kuantitatif astronomis). Maka
menurut Thomas Djamaluddin,[36] satu-satunya cara adalah
menggunakan ijtihad ilmiah astronomis.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi’li,
bil ain, bil ‘ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada
kriteria visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut
dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data
hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa
kriteria hisab rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para
perukyat bi fi’li/bil ‘ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak
kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek tentang terang bukan hilal. Kriteria
itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat
bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan mmasuknya
awal bulan.[37]
III.
PENUTUP
Hisab
dan rukyat adalah dua hal yang sangat penting bagi kita dalam pelaksanaan
ibadah yang diajarkan Islam berkaitan dengan hasil penggunaan pemikiran
matetamis dan teori probabilitas yang di dukung oleh akurasi data dan sikap
umat Islam dalam penentuan saat pelaksanaan ibadah. Rukyat yang dilaksanakan
dengan pedoman dan data ilmiah berfungsi menguji kebenaran hisab dan berguna
untuk melakukan koreksi. Kemampuan memadukan sistem hisab dan rukyat dapat
menembus benteng ketegangan dan kekakuan pandangan antara para ahli hisab
disatu pihak, dan para ahli rukyat di lain pihak.
Tugas
kita adalah menigkatkan kualitas hisab dalam rangka membantu pelaksanaan
rukyat, serta meningkatkan cara pelaksanaan rukyat untuk dipersembahkan
terhadap persatuan umat sebagai fakta ilmiah atas keberhasilan rukyat itu
sendiri, sehingga orang tidak lagi ragu-ragu terhadap hasil rukyat atau tidak
lagi mepertentangkan hisab dengan rukyat. Akan tetapi justru orang akan yakin
bahwa hisab dan rukyat adalah dua hal yang saling membantu saling mengisi
kekurangan dan menutupi kelemahan masing-masing.
Untuk
menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah maka pemerintah harus selalu berusaha
untuk mempertemukan para ahli hisab dan rukyat dengan mengadakan musyawarah
untuk membicarakan hal-hal yang mungkin menimbulkan pertentangan di dalam
menentukan hari-hari besar Islam agar dapat disatukan, tidak untuk memperluas
perbedaan, tapi justru untuk mencari titik temu atau menetralisir pertentangan,
sekurang-kurangnya sepakat untuk berbeda pendapat dengan tetap saling
menghormati.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan. Ilmu
Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah,
Yogyakarta, 2007.
_____________. Hisab
dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Aladip, Moh. Machfuddin. Terjemah
Bulughul Maram, CV. Toha Putra, Semarang, 1985.
Amhar,
Fahmi. Seputar Hisab dan Rukyat 1427 H, Suara Islam, Minggu I-II Oktober
2006.
Aulawi,
A. Wasit. Laporan Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat Tahun 1977, Ditbinbapera,
Jakarta, 1977.
Al-Qur’an dan Terjemah.
Djamaluddin, Thomas.
Menggagas Fiqh Astronomi, Kaki Langit, Bandung, 2005.
Depag. Almanak
Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1981.
Hamidy,
Muamal. Menuju Kesatuan Hari Raya, Cet I, Bina Ilmu, Surabaya, 1995.
Khazin, Muhyiddin. Ilmu
Falak dalam Teori dan Praktek, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004.
______________. Penentuan
Awal Bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijah pada Zaman Rasulallah dalam Pandangan Sosiologis, Makalah disampaikan
dalam Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat BHR Depag RI di YPI Ciawi Bogor, 26-28
Mei 2003.
Maskufa. Ilmu
Falaq, Gaung Persada, Jakarta, 2009.
Munawwir, Ahmad
Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, PP Al-Munawwir, Yogyakarta,
1984.
Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pedoman Hisab Muhammadiyah, Cetakan
Kedua, Yogyakarta, 2009.
Purwanto,
dan Dawanas D.N. Tinjauan Sekitar Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal,
Makalah Seminar Ilmu Falak yang diselenggarakan oleh B.P. Planetarium, Jakarta,
tanggal 17 Januari 1994.
Proyek Peningkatan
Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta, 2004.
Qardhawi, Yusuf. Fiqh
al-Shiyam, Dar al-Wafa, 1991.
Rusyd,
Ibnu. Bidayatul Mujtahid fi Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Fikr, Beirut,
tth.
Supriatna, Encup. Hisab
Rukyat dan Aplikasinya, Buku Satu, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Salam, Abd. Tradisi
Fiqh Nahdlatul Ulama (NU): Analisis terhadap Konstruksi Elite NU Jawa Timur
tentang Penentuan Awal Bulan Islam, Ringkasan Disertasi, IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2008.
Setyanto, Hendro. Membaca
Langit, Al Ghuraba, Jakarta, 2008.
[1]
Kata hisab merupakan masdar dari kha-sa-ba yang berarti
menghitung, sedangkan rukyat merupakan masdar dari kata ro-a yang
berarti melihat. Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al Ghuraba, Jakarta,
2008, Hal. 16.
Dalam Pedoman
Hisab Muhammadiyah, Kata “hisab” berasal dari kata Arab al-hisab
yang secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan. Cetakan Kedua,
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009, Hal. 1
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia, PP Al-Munawwir, Yogyakarta, 1984, Hal. 282 . Lihat Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan
Aplikasinya, Buku Satu, Reflika Aditama, Bandung, 2007, Hal. 1
[3] Maskufa, Ilmu Falaq, Gaung Persada,
Jakarta, 2009, Hal. 147
[4] Maskufa,
Ibid, Hal. 148.
Lihat juga dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah, Op. Cit,
Hal. 2
[5] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004, Hal. 148-149
[6] Moh. Machfuddin Aladip, Terjemah Bulughul
Maram, CV. Toha Putra, Semarang, 1985, Hal. 312.
[7] Ibid
[8] Muhyiddin Khazin, Op. Cit. Hal. 149
[9] Ibid, Hal. 150
[10] Moh. Machfuddin Aladip. Op. Cit. Hal.
313-314
[11] Muhyyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 151
[12] Ibid, Hal. 152
[13] Pedoman Hisab Muhammadiyah, Op. Cit,
Hal. 18
[14] Ibid, Hal. 21-23
[15] Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengutip
pendapat Ibnu Sayyidah yang menyebutkan bahwa, rukyat secara literal berarti
melihat dengan mata atau hati (an-nadzru bi al-‘ain wa al-qalb). Pendapat lain
menyebutkan bahwa, rukyat tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi juga
berarti melihat dengan ilmu (rasio) melalui hasil perhitungan ilmu hisab.
Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di
Tengah Perbedaan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, Hal. 65
[16] Ahmad
Warson Munawwir, Op. Cit, Hal. 494-495
[17] Maskufa, Op. Cit, Hal. 149
[18] Konsep hilal menurut Wahbah al-Zuhayli, سمي
هلالا لظهوره بعد خفا نه(dinamakan hilal karena ia “tampak”
sesudah menghilang. Dari sini muncul perkataan الاهلال
بالحج(menampakan haji) karena terdengarnya suara talbiyah. Al-Tafsir
al-Munir, Juz 2, Dar al-Fikr al-Mu’asir, Beirut, 1991, 1989, Hal. 169.
Adapun menurut Ibnu Taimiyah, diambil dari الظهور (tampak,
muncul) dan رفع الصوت (mengeraskan
suara). Karena itu jika tidak tampak dari bumi, walaupun sudah terbit di
langit, ia tidak dihukumi, secara lahir maupun secara batin, sebagai hilal.
Abd. Salam, Tradisi Fiqh Nahdlatul Ulama (NU): Analisis terhadap Konstruksi
Elite NU Jawa Timur tentang Penentuan Awal Bulan Islam, Ringkasan
Disertasi, Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel,
Surabaya, 2008, Hal. 34. Dalam wacana hisab astronomi, hilal awal bulan lazim
didefinisikan dengan bulan sabit yang dapat dilihat pertama kali, atau bulan
sabit pertama yang tampak setelah bulan baru (ijtimak). Hal. 37
Ijtima’ disebut juga iqtiran artinya bersama atau
berkumpul, yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi.
Dalam istilah astronomi dikenal dengan nama konjungsi atau new moon.
Muhyiddin Khazin,Op. Cit, Hal. 139
Atau pengertian
Ijtimak adalah pertemuan (conjunction) bulan dan matahari pada bujur
ekliptika yang sama. Sedangkan ekliptika adalah lingkaran peredaran semu
tahunan matahari akibat pergerakan bumi di sekelilingnya. Fahmi Amhar, Seputar
Hisab dan Rukyat 1427 H, Suara Islam, Minggu I-II Oktober 2006, Hal. 15
[19] Rukyat atau lengkapnya rukyatul hilal
adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah
matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah, untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Lihat
Muhyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 173
[20] Depag, Almanak Hisab Rukyat, Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1981, Hal. 15
[21] Maskufa, Op. Cit, Hal. 149
[22] Muhyiddin Khazin, Loc. Cit, Penentuan Awal
Bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah
pada Zaman Rasulullah dalam Pandangan Sosiologis, Makalah disampaikan dalam
Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat BHR Depag RI di YPI Ciawi Bogor, 26-28 Mei
2003, Hal. 6
[23] Muhyiddin Khazin, Op. Cit, Hal. 9
[24] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Shiyam, Dar
al-Wafa, 1991, Hal. 23
[25] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihaya
al-Muqtashid, Dar al-Fikr, Beirut, tth, Hal. 207-208
[26] Maskufa, Op. Cit. Hal. 160-161
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Baca A. Wasit
Aulawi. Laporan Muusyawarah Nasional Hisab dan Rukyat Tahun 1977,
Ditbinbapera, Jakarta, 1977, Hal. 1-5
Lihat juga Muamal Hamidy, Menuju Kesatuan Hari Raya,
Cet I, Bina Ilmu, Surabaya, 1995, Hal. 56
Perhatikan pula D.N. Dawanas dan Purwanto, Tinjauan
Sekitar Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, Makalah Seminar Ilmu
Falak yang diselenggarakan oleh B.P. Planetarium, Jakarta, tanggal 17 Januari
1994.
[30] Susiknan Azhari, Ilmu Falak:
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta,
2007, Hal. 129
[31] Ibid, Hal. 129-130
[32]
Ibid, Hal. 130-131
[33]
Ibid, Hal. 132
[34] Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh
Astronomi, Kaki Langit, Bandung, 2005, Hal. 100
[35]
Ibid, Hal. 100-101
[36] Ibid, Hal. 101-102
[37] Ibid, Hal.102
pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam
BalasHapus