![]() |
Oleh: Nugroho Eko Atmanto, MSI |
I.
PENDAHULUAN
Manusia adalah sosok yang berperan
penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada
konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai khalifah di
bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam
kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau
dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai Mahkum
‘alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau
mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara dikarenakan
ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi sehingga dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf
atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan dan
diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah) secara
hukum.
Allah
SWT. meletakkan peraturan terhadap
makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar
makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan
sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat. Seperti contoh keharaman meminum
khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat
membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti
ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan
kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas
tidak diinginkan.
Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai
batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah
terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki
filsafat dibaliknya.
II.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
TAKLIF DAN MUKALLAF
Sebelum membahas mengenai taklif,
maka perlu diketahui bahwa pembahasan taklif adalah menyangkut hukum. Maka
perlu diketahui pengertian hukum secara istilah agama menurut ulama ushul yaitu:
خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير
أو الوضع
Khitab
(titah Allah)
yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat
atau tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan.
“Khitab
Allah” dalam definisi itu adalah kalam atau titah Allah yang melekat pada
dirinya, bersifat lazali, atau tidak ada awalnya.
“Yang
menyangkut tindak-tanduk mukallaf” dalam definisi ini disebut fasal
dengan fungsi mengeluarkan dari definisi hukum syara’ segala firman Allah yang
tidak menyangkut tindak mukallaf seperti firman Allah tentang penciptaan alam
dan tentang kebesaran serta rahmat Allah untuk hamba-Nya.
“Tuntutan”
yang dimaksud dalam definisi di atas adalah kehendak Allah yang menyangkut
orang mukallaf, baik kehendak untuk dilakukan oleh mukallaf yang dinamakan
“suruhan”, maupun kehendak Allah untuk ditinggalkan yang dinamakan “larangan”
Sedangkan yang dimaksud “takhyir” adalah Allah
memberikan kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sebenarnya untuk bentuk
ini tidak tepat dimasukkan ke dalam kelompok kehendak Allah karena tidak ada
yang dikehendaki Allah dari manusia baik untuk berbuat sesuatu atau menjauhi
sesuatu.
Taklif secara bahasa berarti mengharuskan atau membebankan sesuatu yang
memberatkan kehendak alami manusia, atau memerintahkan sesuatu dan
mengharuskan. Sedangkan mukallaf
adalah orang yang mendapat taklif.
Istilah taklif dan mukallaf kemudian
tampak menonjol dalam kajian ushul fiqh dan fiqh. Para ulama ushul membahas
siapa yang menjadi obyek hukum (mahkum
‘alaih) atau siapa yang mendapat beban hukum. Mahkum alaih inilah yang mereka istilahkan sebagai mukallaf.
Pengertian mahkum alaih adalah sebagai berikut:
محكوم عليه هو الشخص التي تعلق خطا ب الله تعا لى بفعله ويسمى بالمكلف
Mahkum ‘alaih adalah
seseorang/individu yang digantungkan khithab Allah atas perbuatannya. Disebut
juga dengan mukallaf.
Taklif (beban)
berasal dari Allah yang dibebankan kepada hamba-Nya dalam bentuk perbuatan. Adanya
taklif adalah sebagai bentuk ujian dari Allah kepada mereka agar jelas siapa
diantara hamba-Nya yang ta'at maka akan mendapat surga dan mana diantara
hamba-Nya yang bermaksiat maka akan mendapatkan neraka. Allah berfirman dalam Q.S.
Yunus ayat 14:
Kemudian kami
jadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi setelah mereka supaya kami memperhatikan
bagaimana kamu berbuat.
Taklif atau beban
ini terealisasikan dengan perbuatan manusia,maka perbuatan itu disebut dengan
mahkum fihi, baik beban itu
berupa hal yang wajib, haram, mustahab (sunah), makruh ataupun mubah. Sebagaimana perkataan para
ulama: لا
تكليف إلا بفعل "Tidak ada taklif
(beban) kecuali dengan perbuatan".
Contoh dari hal ini adalah firman Allah :
يأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
Hai orang-orang yang beriman penuhilah
akad-akadmu.
Kewajiban yang
diambil dari khitab ini adalah berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu
memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum wajib.
B.
DASAR
PEMBEBANAN TAKLIF
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap
untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar
timbulnya pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau
belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil dianggap tidak bisa memahami
taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini orang yang dalam keadaan tidur,
mabuk, dan lupa. Orang yang yang sedang tidur, mabuk, dan lupa tidak dikenai
taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah SAW.:
رفع اللم
عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى
يحتلم وعن المجنون حتى يفيق
Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai
dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh (H.R.
Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah dan al-Daruquthni dari
Aisyah dan Ali bin Abi Thalib).
Dalam
hadits lain dikatakan:
رفع
عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه
Umatku
tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, bersalah, dan dalam keadaan
terpaksa” (H.R. Ibnu Majah dan al-Thabrani)
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak sah taklif apabila, Pertama:
Orang gila dan kanak-kanak karena golongan ini tidak berakal dan tidak mampu
memahami sama sekali dalil taklif dan bagi kanak-kanak pula mereka tidak cukup
umur dan juga tidak mampu memahami dan melaksanakan perintah dengan sempurna. Kedua:
Orang tidur ketika tidurnya, orang lupa ketika lupanya, dan orang mabuk ketika
mabuknya, karena mereka tidak mampu memahami dalil taklif dalam keadaan
tersebut.
Berangkat dari hal itu maka mukallaf (orang yang dibebani hukum syar’i
haruslah orang yang baligh (laki-laki ataupun wanita) dan berakal dengan matang
(sempurna). Karena akal adalah sesuatu yang tersembunyi maka fuqoha menetapkan
bahwa yang dimaksud dengan matang di sini adalah bila telah bermimpi.
Dalam hukum tertentu, orang yang tidak mukallaf memang tidak terkena
taklif, terutama hukum yang bersifat pribadi. Misalnya salat dan puasa. Dalam
hal ini anak kecil ataupun orang yang hilang akalnya tidak wajib
melaksanakannya. Tetapi dalam hukum tertentu, keadaan orang yang tidak mukallaf
tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum, terutama hukum yang berhubungan
dengan orang lain. Contohnya, anak kecil yang mempunyai harta sampai satu
nisab, maka ia wajib zakat meskipun pelaksanaannya diwakilkan kepada walinya.
Sedangkan
mengenai hal orang gila dan anak-anak, dalam hal tertentu dikenai taklif
dikarenakan terbukti sebagai manusia, kemanusiaan inilah yang memberi hak
disamping tanggung jawab karena mereka mempunyai hak memiliki harta dan selama
ada hak untuk memiliki harta maka ada pula beban atas kepemilikan tersebut.
Mahkum
alaih berarti
orang mukallaf (orang yamg layak dibebani hukum taklif), ada beberapa syarat
seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklif (syarat taklif atas subjek hukum), menurut Amir Syrifuddin (1997) adalah
sebagai berikut :
1.
Ia memahami atau mengetahui titah
Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal; karena akal itu
adalah alat untuk mengetahui dan memahami.
Akal itu berkembang secara bertahap. Kesempurnaan akal itu tumbuh sejak kecil dan
akan sampai batas kesempurnaannya pada masa tertentu. Pertumbuhan akal
merupakan hal yang abstrak dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu
sampai batas kesempurnaannya. Sebagai tanda atau batas yang konkrit adalah umur
baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat
sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.
Pada dasarnya orang yang telah dewasa dan berakal akan
mampu memahami titah Allah yang menyebabkan ia telah dapat memenuhi syarat
sebagai subjek hukum. Paham itu dapat dicapainya secara
langsung dengan memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Quran
atau Hadits Nabi yang berkaitan dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat
maupun tersirat. Disamping itu ia pun
dapat dianggap telah memahami taklif itu bila khitab Allah sudah disampaikan
kepadanya dengan cara apapun. Dengan
demikian umat Islam di seluruh muka bumi ini yang telah memenuhi persyaratan
baligh dan brakal telah dianggap mengetahui hukum Allah. Karena itu kepadanya
telah berlaku taklif.
2.
Ia
telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul
fiqh disebut ahlun li al-taklif
atau disebut ahliyah.
Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan
itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum (ahliyah al wujub)dan
kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyah al ada’).
C.
AHLIYAH
Kemampuan (ahliyyah) ialah
kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya
seseorang itu berupaya untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak
atas orang lain dan mampu untuk mlaksanakannya. Ulama ushul fiqh membagi
ahliyah ini menjadi dua
macam, (Amir
Syarifudin:1997) yaitu:
1.
Ahliyyat
al-Wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai
dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar
kelayakkannya ialah karena ia seorang manusia. Ahliyah al-Wujub
dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a.
Ahliyah
al wujub naqish atau kecakapan dikenai hukum
secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak
menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas
menerima hak.
Sifat
lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada
dirinya di antara dua kecakapan yang harus selalu ada padanya. Contoh kecakapan
untuk menerima hak tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam
kandungan. Bayi atau janin telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan
dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak berlaku setelah lahir
dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa
karena ia belum bernama namusia. Terdapat empat macam hak
seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
-
Hak keturunan ayahnya.
-
Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
-
Wasiat yang ditujukan kepadanya.
-
Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
Contoh
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap untuk menerima hak adalah
orang mati tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan kematiannya ia tidak
menerima hak apa-apa lagi, karena hak hanyalah untuk manusia hidup. Tetapi ia
dikenakan kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya selama masih hidup.
b.
Ahliyah al
wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna,
yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan untuk menerima hak. Kecakapan
ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh
ahliyah al wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping ia
berhak untuk menerima warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat
fitrah atau zakat harta lainnya yang pelaksanaannya bisa dilakukan oleh orang
tua atau walinya.
Demikian
pula orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak menerima harta warisan, ia
juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi nishab.
2.
Ahliyyat al-Ada’, yaitu kemampuan untuk menjalankan
hukum atas dirinya dan hak untuk orang lain. Kemampuan ini tidak hanya kerana
ia sebagai manusia, tetapi kerana ia mumayyiz.
Ahliyah al ada’
atau kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seseorang manusia untuk
diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala
tindakannya dalam ucapan maupun perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dalam
bentuk ucapan misalnya, ia melakukan akad atau transaksi, maka telah dianggap
sah. Demikian pula bila ia melakukan tindakan pidana akan dikenai sanksi hukum
atas pelanggaran yang dilakukannya.
Kecakapan
berbuat hukum atau ahliyah al ada’ terdiri dari tiga tingkat, dimana
setiap tingkat dikaitkan kepada bats usia seorang manusia. Ketiga tingkat
tersebut adalah :
a.
“adim
al ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu
manusia semenjak lahir sampai mencapai tamyiz sekitar 7 tahun.
Dalam
batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan
taklif itu dikaitkan dengan sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum dituntut untuk
melakukan hukum. Ia tidak wajib mengerjakan salat, puasa dan kewajiban badani
lainnya. Disamping itu ucapan anak-anak dalam umur ini juga tidak mempunyai
akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukan dianggap tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain tidak
mempunyai akibat hukum dan tidak sah. Semua pelanggaran atau kejahatan tidak
dapat dituntut.
b.
Ahliyah al
ada’ naqishah, atau cakap
berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz
sampai batas dewasa, karena dianggap akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sebagian
tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal
ini ucapan dan perbuatannya terbagi menjadi tiga
tingkat, yaitu:
-
Tindakan
yang semata-mata menguntungkan kepadanya, misalnya menerima pemberian dan
wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
-
Tindakan
yang semata-mata merugikannya
atau mengurangi haknya, misalnya pemberian yang dilakukannya dalam bentuk
hibah, sadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas.
Semua perkataan dan perbuatan dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat
hukum atau batal.
-
Tindakan
yang mengandung keuntungan dan kerugian, misalnya jualbeli, sewa-menyewa, upah
mengupah. Tindakan dalam hal ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam
kesalahannya tergantung kepada persetujuan yang diebrikan oleh walinya.
Perbuatan
orang yang dalam batas usia ini (mumayiz) dalam hal ibadah adalah sah
karena ia memiliki kecakapan dalam melakukannya, tetapi ia belum dituntut
secara pasti karena ia belum dewasa. Sedangkan tindak pidana kejahatan yang
dilakukannya dituntut dan dikenai sanksi hukuman berupa ganti rugi dalam bentuk
harta yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya. Tindak pidana
kejahatan yang dilakukannya tidak dikenai hukuman badan (fisik). Tidak berlaku
padanya qishash dalam pembunuhan, rajam pada perzinahan, atau potong tangan
pada pencurian.
c.
Ahliyah
al ada’ kamilah, atau cakap berbuat hukum secara
sempurna yaitu untuk manusia yang telah mencapai dewasa (baligh). Usia
dewasa ditandai dengan mimpi basah pada laki-laki dan haid pada wanita. Keahlian
itu dianggap berhubungan dengan sifat dewasa karena dewasa itu adalah dugaan
terdapatnya akal yang sempurna. Maka dari itu orang yang telah baligh baik
karena lantaran usia atau karena tanda-tanda maka dia bias dianggap berakal dan ahli dalam
melaksanakannya dengan keahlian yang sempurna, selama tidak terdapat sesuatu
yang menunjukkan atas cacat atau kurang akalnya. Dalam kondisi seperti ini, ia
sudah sah dalam bertindak hukum, dapat dibebani hukum dan kewajiban,
bertanggungjawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain, dan bertanggung
jawab di hadapan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar