Faried Wadjie, M. Si, M. Hum |
A. Pendahuluan
Indonesia
adalah salah satu negara dengan penduduk muslim paling banyak di dunia. Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang banyak dan persentase penduduk yang
beragama Islam pun tinggi. Kondisi ini yang kemudian berpeluang terjadinya
banyak pemahaman terhadap praktik keagamaan di Indonesia. Kelompok tertentu
dipandang mampu untuk memahami hukum yang dibebankan kepadanya yang bersumber
dari Alquran dan Hadits. Terlepas dari bagaimana mereka mendapatkan pemahaman
itu, baik secara langsung mengkaji dua sumber itu atau melalui imam-imam
madzhab tertentu yang sudah terakui keilmuannya. Namun di sisi lain ada
sekelompok masyarakat yang tidak berpedoman terhadap dalil yang jelas ketika
mengamalkan sesuatu. Mereka cukup mendengar dari orang yang mereka anggap mumpuni
di bidang hukum (sebut saja Kiayi)
mengenai hukum tertentu yang kemudian diamalkan tanpa memikirkan dari mana sang
mufti (pemberi fatwa) tadi memperolehnya. Dan yang lebih ironis lagi adalah
mereka yang jauh dari nilai-nilai agama dalam perilakunya walaupun notabene mereka Islam. Hal ini
mungkin karena mereka buta akan Islam atau ada faktor lainnya.
Menanggapi
hal itu dirasa perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan
pentingnya menjalankan ajaran agama secara keseluruhan dan penuh dengan kesadaran.
Semua itu dilakukan demi sebuah pengabdian dan rasa syukur manusia akan karunia
tuhannya. Dan untuk mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang dibebankan
kepadanya (mukallaf) manusia diwajibkan
untuk menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu diharapkan mampu memahami perintah
dan larangan yang harus dilaksanakan dan dijauhi serta termotivasi untuk
memraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah letak urgensi thalab al-‘ilmi (menuntut ilmu)
bagi seorang muslim demi mempertahankan eksistensinya sebagai orang yang taat
beragama dan peduli terhadap dirinya. Karena mengetahui kewajiban hingga pada
akhirnya ia wajib menjalankannya adalah kewajiban bagi setiap mukallaf.
Dalam
praktiknya, taqlid buta (mengikuti pendapat seseorang tanpa usaha untuk
mengetahui dalilnya) masih sangat berpotensi di Indonesia. Alasannya adalah,
yang pertama, mengikuti fatwa dari mufti itu lebih mudah dan praktis dibanding
harus menggali hukum secara lansung yang dirasa berat dan menyita banyak waktu.
Sehingga mayoritas umat Islam di Indonesia memilih taqlid pada salah satu
pendapat tertentu daripada harus berijtihad. Alasan yang kedua, kecakapan untuk
mengistinbathkan hukum dari sumbernya itu merupakan sesuatu yang tidak mudah
dan memang orang-orang tertentu saja yang sanggup melaksanakannya. Dan justru
jika semua orang dipaksakan untuk berijtihad akan dikawatirkan hasil dari
ijtihadnya jauh dari nilai kebenaran dan cenderung asal-asalan. Taqlid mungkin
masih mempunyai nilai positif namun yang dikhawatirkan adalah mencampurkan beberapa
pendapat ulama’ dalam suatu permasalahan yang berimplikasi ketidakabsahan amal
itu menurut pandangan masing-masing ulama’. Dari latar belakang di atas penulis
tertarik untuk mengadakan pembahasan seputar Madzhab, Taqlid dan Talfiq.
B.
Pembahasan
1. Madzhab
Madzhab
(dalam bahasa Arab:
مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti
jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik
konkrit maupun abstrak. Istilah mazhab
merupakan sighat isim makan dari fi’il madli yaitu Dzahaba.
Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya: tempat
pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah dan sabiil,
yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian mazhab menurut
bahasa.
Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran
dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman
yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[1]
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah
metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang
berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum
dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian
mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.[2] Sedangkan dikalangan
umat Islam sendiri, secara sederhana Madzhab dapat diartikan
“Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam
urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.”
Dalam Agama Islam, sebenarnya terdapat banyak sekali
Madzhab diantaranya : Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Syi’ah, Ja’fari, Ismailiyah,
Zaidiyah, Khawarij[3]
dan lain sebaginya, namun yang terkenal hanyalah empat Madzhab besar yang sering disebut “Madzaahibul Arba’ah”
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Sekilas Tentang Empat Madzhab
a. Madzhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin
Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau
wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah.
Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad
kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin
Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Mazhab
Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi
adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu
Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para
pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah
digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode
ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi
masa Tabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab
Hanafi
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari
tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas,
Al-Istihsan, Ijma’ dan Urf.
Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
b. Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
c. Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
d. Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari
(….-204 H).
Daerah-daerah
Penganut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai
tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur.
Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria
dan Libanon.
Mazhab Hanafi
adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak
terdapat di Asia
Selatan (Pakistan,
India,
Bangladesh,
Sri Lanka,
dan Maladewa),
Mesir
bagian Utara, separuh Irak,
Syria,
Libanon
dan Palestina
(campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya,
Dagestan)
Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
b. Madzhab Maliki
Mazhab
Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik
dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama
lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada
tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau
lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam
bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam
Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan
Ibnu Syihab Az Zuhri.
Adapun
yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam
Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan
hadits.
Dasar-dasar
Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab
Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok(dasar) yaitu:
·
Nashshul
Kitab
·
Dzaahirul
Kitab (umum)
·
Dalilul
Kitab (mafhum mukhalafah)
·
Mafhum
muwafaqah
·
Tanbihul
Kitab, terhadap illat
·
Nash-nash
Sunnah
·
Dzahirus
Sunnah
·
Dalilus
Sunnah
·
Mafhum
Sunnah
·
Tanbihus
Sunnah
·
Ijma’
·
Qiyas
·
Amalu
Ahlil Madinah
·
Qaul
Shahabi
·
Istihsan
·
Muraa’atul
Khilaaf
·
Saddud
Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam
Maliki dan Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama
Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1.
Abu
Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
2.
Abu
Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
3.
Asyhab
bin Abdul Aziz al-Qaisi.
4.
Abu
Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
5.
Asbagh
bin Farj al-Umawi.
6.
Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Hakam.
7.
Muhammad
bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari.
Adapun ulama-ulama
yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1.
Abu
Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2.
Isa
bin Dinar al-Andalusi.
3.
Yahya
bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4.
Abdul
Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5.
Abdul
Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6.
Asad
bin Furat.
7.
Abdus
Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang
Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
1.
Abdul
Walid al-Baji
2.
Abdul
Hasan Al-Lakhami
3.
Ibnu
Rusyd Al-Kabir
4.
Ibnu
Rusyd Al-Hafiz
5.
Ibnu
‘Arabi
6.
Ibnul
Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang
Menganut Mazhab Maliki.
Awal
mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di
Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait. Madzhab Maliki diikuti oleh
sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat
dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup
penduduk Madinah
sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang
kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
c. Madzhab Syafi’i
Mazhab
ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan
Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina)
tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi
Mazhab yang pertama.
Guru
Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam
Syafi’i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal
Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari
hadits dan fiqh.
Mazhab
Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di
Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu
beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan
Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan
peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya
dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.
Dasar-dasar Mazhab
Syafi’i
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat
hukum sysra’ adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah
Mutawatirah.
3.
Al-Ijma’.
4.
Khabar
Ahad.
5.
Al-Qiyas.
6.
Al-Istishab.
Sahabat-sahabat beliau yang berasal
dari Irak antara lain:
1.
Abu
Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman al-Kalabi al-Bagdadi.
2.
Ahmad
bin Hanbal yang menjadi Imam Mazhab keeempat.
3.
Hasan
bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani al-Bagdadi.
4.
Abu
Ali Al-Husain bin Ali Al-Karabisi.
5.
Ahmad
bin Yahya bin Abdul Aziz al-Bagdadi.
Adapun sahabat beliau dari Mesir:
1.
Yusuf
bin Yahya al-Buwaithi al-Misri.
2.
Abu
Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani al-Misri.
3.
Rabi’
bin Abdul Jabbar al-Muradi.
4.
Harmalah
bin Tahya bin Abdullah Attayibi
5.
Yunus
bin Abdul A’la Asshodafi al-Misri.
6.
Abu
Bakar Muhammad bin Ahmad.
Daerah-daerah yang
Menganut Mazhab Syafi’i
Mazhab
Syafi’i sampai sekarang dianut sekitar
28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia,
Turki,
Syria,
Iran, Libia, Mesir, Indonesia,
Pilipina, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Irak, Hijaz, Pakistan,
India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia Somalia,
Yaman,
Thailand,
Singapura,
Filipina,
Sri Lanka
dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
d. Madzhab Hambali
Pendiri
Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili
Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad
bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk
mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh.
Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar
Mazhabnya.
Adapun
dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
1.
Nash
Al-Qur-an atau nash hadits.
2.
Fatwa
sebagian Sahabat.
3.
Pendapat
sebagian Sahabat.
4.
Hadits
Mursal atau Hadits Doif.
5.
Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul
Muwaaqi’in.
Pengembang-pengembang
Mazhabnya
Adapun
ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.
Abu
Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia
telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2.
Ahmad
bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil
Hadis.
3.
Ishaq
bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk
ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada
beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab
Hambali, di antaranya:
1.
Muwaquddin
Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2.
Syamsuddin
Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3.
Syaikhul
Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4.
Ibnul
Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah
fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang
membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut
Mazhab Hambali.
Awal
perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam
waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada
masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Mazhab
ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung
Arab. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab
resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh
Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
[4]
2. Taqlid
Taqlid dari segi bahasa berasal dari kata qiladah [kalung/ tali Kekang][5]
وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة
“Meletakkan
sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang.”
Atau juga yaitu yuqallidu ghairahu biha (mengikuti
pendapat orang lain).
Dan dari segi istilah “اتباع من ليس قوله
حجة “ berarti
mengikuti pendapat orang lain (qail) dan tidak mengetahui hujjahnya atau
dalilnya (Hakim, tanpa tahun). Atau dengan pengertian
lain taqlid berarti mengambil pendapat orang lain untuk diamalkan tanpa
mengetahui dalilnya.[6] Misalnya mengambil
pendapat Imam Syafi’i yaitu menyapu sebagian kepala dalam berwudhu tanpa
mengetahui dalil pendukungnya itu. Mengikuti pendapat Abu Hanifah yaitu tidak
membaca al-Fatihah bagi makmum ketika sholat, tanpa mengetaui dalil yang
mendasari pendapat itu (Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
taqlid
bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama
menetapkan bahwa orang yang melakukan taqlid tidak dinamakan orang yang berilmu
(‘alim).[7]
Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini dalam kitab Jami’ Bayan Al Ilmi (2/37 dan 117),
Ibnu Qoyim dalam kitab A’laamul Muwaqqi’in (3/293)
dan Suyuthi maupun para peneliti yang lain.
Definisi Taqlid hampir mirip dengan ittiba yaitu
sama-sama mengikuti pendapat, perbedaannya adalah ittiba’ (mengikuti) Nabi
sholallohu alaihi wa sallam, mengikuti ahlul ijma’, dan mengikuti shahabat jika
kita katakan bahwa perkataan shahabat tersebut adalah hujjah, maka mengikuti
salah satu dari hal tersebut tidaklah dinamakan taqlid, karena hal ini
merupakan ittiba’ kepada hujjah. Akan tetapi terkadang
disebut sebagai taqlid dari sisi majaz dan perluasan bahasa.
Ittiba kepada Nabi Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi
Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di
dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal
seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah
wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak
padanya.
Menurut Asy-Syaikh
al-’Allamah Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin rahimahullahu
ta’ala, Taqlid
dapat terjadi dalam dua tempat :
1. seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang
tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal) dengan kemampuannya
sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan
firman Alloh ta’ala :
فَاسْأَلُواْ
أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
[QS. an-Nahl : 43]
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia
dapati lebih utama dalam ilmu dan waro’(kehati-hatian)nya, jika hal ini sama
pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara
keduanya.
2. terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera
memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka
ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid
: hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok
agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah
aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn
(persangkaan).
Maka jika
ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu
wa ta’ala:
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah
kepada Alloh semampu kalian.” [QS. at-Taghobun : 16]
Jenis-jenis
taqlid
:
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada
suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya
dalam semua urusan agamanya.
Dan
para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang
berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan orang-orang muta-akhirin memiliki
udzur (tidak mampu) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat
haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak
dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya
dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah
dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih
dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab
tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada
‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang
menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang
dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharaman
tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas
baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang
lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya,
atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘alim (tahu)
tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut
lebih bertaqwa kepada Allah terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu
rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh,
bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil
pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak
mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki
atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
Problematikta Taqlid
Dikalangan Para Ulama, terjadi perselisihan tentang
taqlid, dalam hal ini terdapat tiga kelompok ada sebagian yang membolehkan
taqlid namun ada juga yang menganggap taqlid itu haram,, dan sebagian lagi
disesuaikan dengan kapasitasnya.
Golongan yang membolehkan taqlid maupun ittiba’,
dan mengharamkan ijtihad diantaranya Syaikh ash-Shawi al-Maliki,
Adapun Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid seorang muslim terhadap orang yang
lebih berilmu darinya pada saat tidak ditemukan nash baik dari Allah maupun
RasulNya ataupun disaat seseorang tidak mampu memahami keduanya. Karena dalam
kondisi seperti ini seseorang berada dalam situasi darurat, sementara kondisi
darurat menghalalkan perkara yang terlarang, Kalau bukan karena hal itu, maka
agama akan menjadi hawa nafsu yang diperturutkan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar tentang
kebolehan seorang awam bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya
:"Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil,
dia itulah yang diharuskan taqlid. Karena Allah tidak membebani
suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang ‘alim
pun terpaksa harus taqlid dalam beberapa permasalahan yaitu ketika dia
tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dia mendapatkan
ucapan orang yang lebih ‘alim dari dirinya. Maka keadaan itu dia pun terpaksa
taqlid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam
beberapa permasalahan."
Oleh
karena itu sebagian ulama menyebutkan : “Sesungguhnya taqlid itu hanya
diperkenankan bagi orang yang berada dalam kondisi darurat. Adapun orang yang
sengaja meninggalkan dalil yang bersumber dari al Qur’an, Hadits, serta
perkataan para sahabat sementara ia mampu untuk menggali hal hal tersebut dari
pada melaukan taqlid, maka ia sama dengan orang yang memakan bangkai pada saat
ia masih mampu untuk mendapatkan daging hewan yang disembelih secara syar’i.
Sebab kaidah dasar dalam masalah ini adalah pendapat seseorang tidak boleh
diterima tanpa dalil kecuali dalam kondisi darurat.” (lihat kitab I’laamul Muwaqqi’in).
Golongan yang mengharamkan Taqlid
berpendapat dari definisinya bahwa taqlid bukanlah merupakan ilmu sedangkan Agama Islam diasaskan
di atas keyakinan. Dan keyakinan mestilah berasaskan ilmu. Keyakinan yang terbina bukan atas dasar
ilmu bisa membawa
kepada kepalsuan dan
kesesatan. Dan ilmu yang meyakinkan tanpa diragukan sedikitpun, lebih-lebih
lagi jika menyangkut prihal akidah dan cara kita ibadah untuk mendekatkan diri
kita kepada Allah. Hanya Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) manusia yang
mempunyai otoritas
bagi umat akhir zaman ini untuk menentukan bagaimana cara kita bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Jika seseorang meyakini bahwa ada hidayah (petunjuk) yang
lain dan lebih baik daripada hidayah Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam)
maka rusaklah akidah orang tersebut. Bukan saja akidahnya rusak, bahkan amalannya juga akan
ditolak dan tidak diterima oleh Allah.
Yang menjadi permasalahan dalam Taqlid adalah
pengkultusan orang-orang yang bertaqlid kepada ulama mazhab atau kyainya secara
berlebihan sehingga apapun yang pendapat ulama tersebut dianggap benar tanpa
mengetahui sumber hukumnya, Kecenderungan yang keliru ini telah menguasai hati
kebanyakan para pelaku taqlid terutama pada akhir akhir ini, dimana telah
menjadi suatu hal yang lumrah sikap mereka yang menolak hadits hadits-hadits
shahih karena bersikukuh dengan madzhab. Jika dikatakan kepada salah seorang dari
mereka “ Permasalahan yang anda sebutkan ini menyelisishi sunnah”, maka dengan
sigap ia akan mengatakan “ apakah anda lebih tahu tentang Sunnah daripada ulama
madzhab ?? Tidak
boleh mengamalkan suatu hadits selain seorang mujtahid” itulah jawaban yang mereka
berikan, tak ada perbedaan tentang hal ini antara orang awam dengan ulama
mereka.
Di saat mereka memberi kepadamu jawaban yang tidak
mungkin diucapkan oleh seorang yang mengetahui kedudukan hadits Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka tidak tahu atau pura pura tidak tahu bahwa
hadits yang tidak diamalkan oleh madzhabnya itu telah diterima oleh madzhab
lain atau imam lain yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan madzhabnya
ataupun imamnya. Maka orang yang mengamalkan hadits itu hakekatnya telah
mengamalkan hadits yang dimaksud sekaligus mengikuti madzhab yang menerima
hadits itu sementara orang yang menyelisihinya hanyalah mengamalkan apa yang
ada dalam madzhab semata.
Jika
dikatakan, bahwa ketetapan hukum dalam madzhab pasti memiliki dalil, hanya saja
dalil itu tidak kita ketahui. Maka Albani mengatakan:
“Jika
persoalan seperti yang dikatakan, maka apa dasar yang membolehkan bagi seorang
muslim untuk meninggalkan dalil yang telah diketahuinya berupa Hadits
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu memilih mengamalkan dalil yang
belum ia ketahui. Seandainya pada akhirnya kita mengetahui dalilnya, tapi hanya
berupa qiyas, atau didasarkan pada keumuman nash maupun keuniversalan syariat,
tetap saja tidak bisa mengungguli hadits, sebab tidak ada ijtihad bila ada
nash, dan bila telah ada atsar (hadits) tidak berlaku lagi semua analogi.”[8]
Taqlid seperti ini, yakni menolak suatu hadits hanya
untuk memenangkan madzhab atau yang sepertinya, adalah taqlid yang diharamkan
oleh para da’i penyeru Sunnah. Dalam
Hadits Nabi :
..مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ..
“Barangsiapa
yang melakukan amalan tidak sebagaimana yang kami perintahkan maka (amalan itu)
tertolak (mardud). (HR Imam Muslim)
Golongan yang ketiga yaitu melihat kapasitas manusia
sebagai landasan pandangannya: menurut imam Hasan al-Banna bagi yang telah
memiliki kompetensi untuk ber-ijtihad, maka ijtihad disyari’atkan
baginya; bagi yang belum mampu ber-ijtihad, maka taqlid maupun ittiba’
disyariatkan bagi mereka.
Pendapat 4 Imam
Madzhab Mengenai Taklid
Imam
Abu Hanifah berkata,
“Jika pendapatku menyalahi (bertentangan) dengan kitab Allah dan Hadits maka
tinggalkanlah pendapatku.”
"Apabila hadits itu shahih maka itu adalah
madzhabku" (Perkataan beliau ini dapat dilihat pada kitab Al-Hasyiyah
karya Ibnu Abidin Juz 1/63, juga dalam risalah Rasmul Mufti Juz 1/4.)
"Tidaklah dihalalkan bagi seseorang untuk
berpegang kepada perkataanku, selagi ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya."
(Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-intiqa’u fi Fadha-ilist Tsalatsatil ‘A-immatil
Fuqaha’i p.145, dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/309 dan
Ibnu Abidin dalam Al-Hasyiyah).
Dalam
riwayat lain dikatakan : "Adalah haram bagi orang yang tidak megetahui
alasanku untuk berfatwa dengan perkataanku.". Atau riwayat lain lagi :
"Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada
hari ini dan meralatnya di esok hari."
Beliau berkata kepada Abu Yusuf : "Kasihan engkau
wahai Ya’qub (Abu Yusuf) jangan engkau tulis setiap apa yang dari padaku.
Karena kadangkala aku memang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini,
dan kadang kala aku berpendapat lain pada esok lusa, bahkan aku meninggalkannya
pada esok lusa." (Al-Mizan
1/6. Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sering menetapkan sesuatu hukum
dengan qiyas kepada suatu ketentuan yang belum ditemukannya pada
Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Para pengikut hanafi penghafal hadits
yang sering melakukan perjalan jauh dari negeri-negeri dan pelabuhan-pelabuhan
setelah berhasil mendapatkan hadits, niscaya Imam Hanafi mengambilnya dari
mereka dan membuang qiyas yang pernah ia fatwakan.)
"Jika
aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah atau khabar
Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku." (Al-Fulani dalam Al-Iqazh
p.50 yang diasalkan oleh Imam Muhammad ).
Imam Malik berkata, “Semua kita menolak dan
ditolak pendapatnya kecuali pemilik kuburan ini yaitu Nabi Muhammad SAW.”
"Sesungguhnya
aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku.
Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap
perkataanku yang menyimpang dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah."
(Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/32, dan Ibnu Hizam dalam Ushulul
Ahkam, 6/149 dan demikian pula Al-Fulani, p.72)
"Tidak
ada seorang pun setelah Nabi saw kecuali dari perkataannya itu ada yang
diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi saw."( Ibnul Hadi dalam Irsyadus
Salik, 227/1, Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/91, dan Ibnu Hazm
dalam Ushulul Ahkam, 6/145 dan 179 dari perkataan Al-Hakam bin Uthaibah
dan Mujahid. Taqiyuddin mengeluarkan dalam Al-Fatawa 1/48)
Sejalan dengan pernyataan ini Imam asy-Syafi’i
pun berkata, “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa mengetahui
hujjahnya bagaikan pencari kayu bakar di malam hari dengan membawa seikat kayu
dan ada seekor ular yang mematuknya sedangkan ia tidak mengetahuinya.”
tuturnya.
Setiap
pendapatku yang menyalahi hadits Nabi saw. maka hadits Nabi saw itulah yang
wajib diikuti, dan janganlah kalian taqlid kepadaku." (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Atsakir 15/10/1)
"Apabila
kalian dapati di dalam kitabku, pendapat-pendapat menyalahi Sunnah Rasulullah
saw., peganglah Sunnnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku." Dalam
riwayat lain beliau berkata : "Ikutilah Sunnah Rasulullah saw. dan
janganlah kalian menoleh kepada pendapat siapapun". (Riwayat
al-Harawi, Abu Nu’aim fil Hilyah / lihat Shifat Shalat Nabi hal.28
Lil-Albani)
"Setiap masalah yang sudah shahih haditsnya dari Rasulullah
menurut para ulama hadits, tetapi pendapatku menyalahi hadits yang shahih, maka
aku ruju’ dari pendapatku dan aku ikut hadits Nabi saw yang shahih baik ketika
aku masih hidup maupun sesudah wafatku." (Al-Harawi 47/1, Ibnul
Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/363).
"Kaum muslimin sudah sepakat bahwa barang siapa
yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal meninggalkannya
karena taqlid kepada pendapat seseorang." (Ibnul Qayyim 2/361 dan
Al-Fulani p.68)
"Apabila
hadits itu shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi dalam Al-Majmu’,
Asy-sya’rani, 10/57, Al-Fulani, p.100)
Begitu
juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, “Janganlah kalian
ikuti pendapatku, Malik, Tsaury dan Auza’y tapi ambillah dari sumber (mana)
mereka mengambil.” (Hakim, tanpa tahun).
"Janganlah
kalian taqlid padaku dan jangan pula kalian taqlid kepada Imam Malik, Syafi’i,
Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Ibnul
Fulani, 113, dan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-I’lam 2/302).
"Pendapat
Auza’i, pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan
bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar."
(Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/149).
"Barangsiapa
yang menolak hadits Rasulullah maka sungguh ia telah berada di tepi kehancuran."
(Ibnul Jauzy p.182).
Dari pernyataan 4 Imam madzhab di atas bahwa sebenarnya
mereka pun menginginkan umat ini untuk meneliti pendapat yang mereka fatwakan
dan berusaha menelusuri dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka. Artinya tidak serta
merta menerima pendapat mereka tanpa usaha untuk mengkritisi pendapat itu. Di
sini letak kelemahan umat islam yang terkadang fanatik pada salah satu madzhab
tanpa dibarengi dengan usaha untuk meneliti pendapat madzhabnya. Walaupan dari
segi keilmuan dan kemampuan mengistinbatkan hukum mereka jauh lebih layak
dibanding manusia pada umumnya. Akan lebih baik dan bijak jika kita tetap
melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang muncul dengan tidak menafikan
pendapat (ijtihad)
mereka.[9]
Firman Allah dalam Al-qur’an
tentang Taqlid
Q.S. Al-maidah
104-105 :
104. apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti
Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati
bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka itu akan mengikuti
nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa
dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.
105. Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan
menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Q.S Al-Isra : 36
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Q.S. Al-Anbiya : 52-54
52. (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya
dan kaumnya: "Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
53. mereka menjawab:
"Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya".
54. Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang
nyata".
Q.S.
Azukhruf : 43-44
22. bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami
mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".
23. dan
Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu
agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".
24. (Rasul
itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) Sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu
dapati bapak-bapakmu menganutnya?" mereka menjawab: "Sesungguhnya
Kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya."
Ibnul
Qoyyim menyebutkan 3 pendapat tentang boleh atau tidaknya fatwa dengan taqlid:
·
Yang pertama: tidak boleh
berfatwa dengan taqlid karena taqlid bukanlah ilmu, dan berfatwa tanpa ilmu
adalah haram. Ini merupakan pendapat kebanyakan al-Ash`haab (yakni ‘ulama
Hanabilah) dan kebanyakan (jumhur) Syafi’iyyah.
·
Yang kedua : bahwa hal tersebut
boleh dalam masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dan seseorang tidak
boleh taqlid dalam masalah yang ia berfatwa dengannya kepada orang lain.
·
Yang ketiga : bahwa hal tersebut
boleh ketika ada hajat (keperluan) dan tidak adanya seorang ‘aalim mujtahid,
pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar dan pendapat ini dilakukan.
3. Talfiq
Talfiq
adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu
perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya
yang memiliki hukum yang khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang
ada.[10]
Talfiq
adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata
cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berbagai
madzhab. Ulama’ Ushul Fiqh mendefinisikan Talfiq dengan melakukan suatu amalan
dengan tata cara yang sama sekali tidak dikemukakan oleh mujtahid manapun
(Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
Dalam
masalah ini disyaratkan dua hal yaitu mengikuti pendapat dengan cara taklid dan
adanya penggabungan beberapa pendapat dalam satu permasalahan. Dan terkait
dengan permaslahan talfiq ini, ulama fiqh juga membahas persoalan mengambil
amalan atau pendapat dari berbagai madzhab yang paling mudah dan ringan. Dalam
istilah seperti ini disebut dengan tabarru’ur rukhash.
Talfiq
menurut Fuqahaa dan Ushuluyin maknanya: menghimpunkan beberapa pendapat
daripada mazhab-mazhab yang berbeda tentang sesuatu ibadah dan mengamalkannya
bersama-sama.
Talfiq
ada dua jenis:
1.
Talfiq yang tercela
2.
Talfiq yang terpuji.
(1)
Talfiq
yang tercela yaitu jika kita hanya mengikuti pandangan seseorang atau suatu
mazhab hanya berasaskan taqlid secara membuta tuli tanpa mengetahui
dalil-dalilnya. Dan Talfiq jenis ini adalah dilarang dalam Islam dan bercanggah
dengan wasiat imam-imam mazhab di atas.
(2)
Talfiq
yang terpuji jika kita mengikuti pandangan seseorang atau suatu mazhab dengan
berasaskan dalil dan hujjah-hujjah tertentu. Talfiq jenis ini diperbolehkan
karena kita memang disuruh supaya mengikuti mana pandangan yang lebih baik.
Allah SWT berfirman:
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu yang
mendengarkan perkataan (Al-Quran dan Al-Hadis) lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Az-Zumar :17-18)
Beberapa
Alasan dibolehkannya Talfiq.
Sebagai contoh,
seseorang bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Asy-Syafi''i dalam mengusap
sebagian kepala ketika wudhu, kemudian ia bertaqlid juga kepada Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya menyentuh wanita jika tidak
bersyahwat. Kemudian ia shalat dengan wudlu tersebut. Bagaimana hukumnya?
Dalam hal ini umumnya
para ulama sepakat membolehkan, karena alasan yang tidak mungkin ditolak.
Apalagi di zaman sekarang ini.
Alasan
Pertama
Tidak adanya nash di
dalam Al-Quran atau pun As-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak
untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan
tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli
ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. (dalam hal ini tentu
saja taqlid yang didasari ilmu, bukan taqlid buta).
Di kalangan para
shahabat nabi SAW terdapat para sahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang
lainnya. Banyak sahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan
dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin
Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra
dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus
yang sama.
Namun tidak seorang
pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila
seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh
bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab
yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang
yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana
datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan
para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
Alasan
Kedua
Pada hari ini, nyaris
orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana
pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali
mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan
mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah
umat Islam secara keseluruhan.
Maka secara pasti dan
otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau
hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan
ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
Alasan
Ketiga
Alasan ini semakin
menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh dilakukan. Karena yang
membolehkannya justru nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung. Maka kalau nabi
saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan?
Nabi SAW lewat Aisyah
disebutkan:
Nabi tidak pernah
diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal
tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah
orang yang paling menjauhi hal tersebut “. (Fathu
al-Bari, X, 524).
Adanya dua pilihan maksudnya
ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar''i yang benar. Namun
salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi SAW selalu cenderung
untuk mengerjakan yang lebih ringan.
Alasan
Keempat
Melakukan talfiq
adalah hal yang termudah saat ini, ketimbang harus selalu berpegang kepada satu
mazhab saja. Mengingat hari ini tidak ada guru atau ustadz yang mengajar fiqih
di bawah satu mazhab saja dalam segala sesuatunya.
Kitab-kitab fiqih
syafi''i di Indonesia memang banyak beredar, namun dari semua kitab itu, nyaris
tidak ada satu pun yang menjawab semua masalah lewat pendapat Asy-Syafi'i. Ada
begitu banyak masalah yang tidak dibahas di dalam kitab-kitak kuning itu dan
tetap butuh jawaban.
Maka para kiayi sepuh
yang biasanya selalu merujuk kepada kitab mazhab Syafi'i, terpaksa harus
membuka kitab lainnya. Dan saat itu, beliau telah melakukan talfiq.
Bahkan hasil-hasil
sidang Lajnah Bahtsul Matsail di kalangan Nahdlatul Ulama pun, yang konon
sangat syafi'i, tidak lepas dari merujuk kepada kitab-kitab di luar mazhab
Syafi'i. Silahkan baca buku Solusi Problema Aktual Hukum Islam: Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999) halaman xliv.
Oleh karena itu maka
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa kita diperintahkan untuk memilih
sesuatu yang termudah, maka saat ini yang lebih mudah justru melakukan talfiq.
“Sesungguhnya agama
ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk
menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. (Fathu
al-Bari, I, 93)
Para imam Fiqih yang
empat mendukung talfiq. ‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan
bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq),
karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama
Allah itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat
al-Hajj ayat 78:
…Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan.
(Fatawa Syaikh ‘Alaisy, I, 78)
Imam al-Qarafi menambahkan
bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya
perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab
yang diikutinya.
Demikian juga dengan
para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut
beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai
main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama
sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II,
1181)
C.
Tambahan
(Fatwa Syaikh Mahmud Syaltut tentang Taqlid dan Talfiq)[11]
1) Agama islam
tidak memerintahkan umatnya untuk mengikuti mazhab tertentu. Setiap muslim
boleh mengikuti mazhab apapun yang benar riwayatnya dan mempunyai kitab fikih
khusus. Setiap muslim yang mengikuti mazhab tertentu dapat merujuk ke mazhab
lain (mazhab apapun).dan tidak ada masalah.
2) Mazhab Ja’fari yang dikenal
sebagai mazhab Syi’ah Dua Belas Imam adalah mazhab
yang secara syariat boleh diikuti seperti mazhab-mazhab Ahli Sunah lainnya.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat islam memahami hal ini dan meninggalkan
fanatisme buta terhadap mazhabnya, karena agama dan syariat Allah tidak
mengikuti mazhab tertentu dan tidak pula terpaku pada mazhab tertentu, akan
tetapi semua pemimpin mazhab adalah mujtahid dan ijtihad mereka sah di mata
Allah Swt. Setiap muslim yang bukan mujtahid dapat merujuk kepada mazhab yang
mereka pilih. Ia boleh mengikuti hukum-hukum fikih dari mazhab yang dipilih itu
dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah.
D. Penutup
Islam
agama yakin dan ilmu dan hujjah, bukan agama sangkaan atau warisan neneka
moyang atau taqlid buta. Keyakinan yang tidak dibina di atas hujjah adalah
keyakinan palsu.
Kita
wajib hormati pandangan para Imam Mazhab. Ijtihad mereka akan mendapat ganjaran
Allah walaupun salah. Hanya saja kita dilarang mematuhi pandangan mereka jika
nyata-nyata berlawanan dengan ketetapan Allah dan RasulNya.
Talfiq
(mengamalkan pandangan beberapa mazhab) diperbolehkan sekiranya berdasarkan
dalil yang kokoh. Sedangkan Talfiq hanya atas dasar taqlid adalah dilarang dan
tercela.
E.
Daftar
Pustaka
1.
Hadits
Muslim
2.
Putusan
Muktamar, Munas dan Konbes NU (1999)
3.
Fathul
Bari,X
4.
Www.
Ustsarwat.com
5.
Ensiklopedi
Hukum Islam, 2001
7.
An-Nawawi,
Al-Majmu Asy-Sya’rani,10/57
8.
Ibnul
Qayyim Aj Jauzy, I’lamul Muwaqqi’in,2/263
9.
Ibnul
Hizam, Ushulul Ahkam,6
10.
Maqalaat Al Albani, edisi
indonesia Risalah Ilmiah Albani , hal 43-45 , penerjemah Abu Musyrifah dan Ummu
Afifah, Penerbit Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan pertama April 2002
11.
Imam
Asy-Syatibi, Al- Muwafaqaat.
12.
Kamus
Al-Munawwir
14.
www.
Wikipedia.com
15.
Wahbah
Zuhaili, Ushul al-fiqh al-islamiy,II
16.
www.MediaMuslim.info.
Sumber rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah,
oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar
[1] www.MediaMuslim.info. Sumber
rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah,
oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar
[2] Ibid
[3] Lihat Wikipedia.com
[8] disalin dari Maqalaat Al Albani, edisi indonesia Risalah
Ilmiah Albani , hal 43-45 , penerjemah Abu Musyrifah dan Ummu Afifah, Penerbit
Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan pertama April 2002
[11] Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Univ Al-Azhar
1958 juga seorang tokoh besar dan pendiri “Dar Al-Taqrib bayna Al-Madzahib Al-Islamiyah” Mesir. Lembaga ini adalah sebuah institusi yang berusaha mewujudkan
pendekatan dan persaudaraan serta menghilangkan perpecahan dan perselisihan
yang ada antara Ahli Sunah dan Syi’ah. Yayasan ini juga memiliki misi
memperkuat hubungan antara mazhab-mazhab islam; sebuah pusat pergerakan yang
pada akhirnya menjadi dasar pikiran berdirinya “Majma-e Jahoni-e Taghrib-e Mazaheb-e Islami” (Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam) di Iran.
izin share :)
BalasHapus