Pada prinsipnya perintah untuk mengetahui
waktu seperti waktu terbitnya matahari, waktu tergelincirnya matahari, waktu
terbenamnya matahari, waktu ijtima’ dan lain-lain itu tidak ada hukumnya. Namun
apabila dikaitkan dengan aspek ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji,
maka hukumnya menjadi wajib karena pelaksanaan ibadah tersebut tidak akan dapat
terlaksana dengan sempurna manakala tidak mengetahui waktunya masing-masing.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang mengatakan bahwa مالايتم الواجب الابه فهوواجب artinya, “sesuatu yang wajib tidak akan sempurna
kecuali dengannya, sesuatu itu hukumnya adalah wajib pula” maksudnya adalah
suatu perbuatan yang diwajibkan oleh syara’ tidak akan menjadi sempurna adanya,
kecuali dengan perbuatan itu disertai atau dilengkapi dengan perbuatan yang
lain, maka perbuatan untuk menyempurnakan perbuatan yang diwajibkan itu harus
ditunaikan atau lebih sempitnya adalah “segala sesuatu yang menjadi perantara
ibadah wajib hukumnya menjadi wajib.”[1]
Dalam al-Qur’an[2],
surat an-Nisa ayat 103 dijelaskan bahwa:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً
مَّوْقُوتاً
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa: 103).
Ayat tersebut di atas mengindikasikan bahwa kewajiban
menjalankan ibadah shalat atas orang muslim disertai kewajiban mengetahui
waktu. Ini berarti belajar tentang waktu di bumi ini hukumnya adalah wajib.
Itulah pesan yang di bawa oleh ayat tersebut.
Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits tidak dijelaskan
secara tegas dan gamblang mengenai batasan-batasan waktu, hanya dikemukakan
bahwa waktu itu penting, sebagai bagian dari kehidupan manusia dalam beribadah
kepada Allah swt.
Dari pemikiran itu, pengetahuan tentang seluk beluk waktu
menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis tergerak hati untuk menjelaskan tentang waktu
terkait dengan equation of time, mean time, universal time/green wich mean
time dan local mean time, karena semua itu sangat terkait dengan
aspek ibadah yang meliputi penentuan waktu shalat, puasa, zakat dan haji.
B. Dampak
Rotasi dan Revolusi Bumi terhadap Sistem Waktu
Sebelum
masuk dalam pembahasan equation of time, mean time, universal time/greenwich
mean time dan local mean time, terlebih dahulu perlu dipahami
tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan waktu di muka
bumi, yakni rotasi bumi dan revolusi bumi.[3]
Gerak Rotasi bumi adalah: perputaran bumi pada porosnya yang
dari arah barat ke timur dengan kecepatan rata-rata 108.000 km perjam. Satu
kali putaran penuh sekitar 24 jam, sehingga gerak ini dinamakan gerak harian
atau gerak harian benda langit.[4] Gerak rotasi bumi mengakibatkan
terjadinya perbedaan waktu dan pergantian siang-malam di bumi.
Karena
bumi bentuknya bulat dan berputar pada porosnya, maka bumi yang berhadapan dan
membelakangi matahari akan silih berganti. Peredaran semu harian matahari, akibat dari bumi berputar
pada porosnya mengakibatkan setengah belahan bumi mengalami terang atau siang,
dan setengah belahan yang lainnya mengalami gelap atau malam.[5]
Adanya
perbedaan siang dan malam secara beraturan akibat rotasi di bumi mengakibatkan
perbedaan waktu di daerah-daerah di bumi. Daerah yang terlebih dahulu menghadap
ke arah matahari waktunya lebih dahulu dari daerah sebelah baratnya. Misalnya, apabila Semarang masuk waktu
maghrib maka pada saat itu Lampung belum tiba waktu maghrib, karena Lampung
tempatnya lebih Barat daripada Semarang. Demikian juga ketika Lampung sedang
terbit matahari maka di Semarang terbit matahari sudah berlalu.
Gerak Revolusi bumi adalah: peredaran bumi
mengelilingi matahari dari arah barat ke timur dengan kecepatan sekitar 30 km
perdetik. Satu kali putaran penuh (3600) memerlukan waktu 365,2425
hari, sehingga gerak bumi ini disebut gerak tahunan.[6]
Bumi berputar pada sumbunya dalam waktu 24 jam untuk
sekali putar. Selain itu, bumi juga mengedari matahari dalam waktu satu tahun
atau kira-kira 365, 24 hari untuk sekali edar. Lingkaran bumi sekeliling
matahari tidak berupa lingkaran, melainkan berupa elips dengan matahri berada
di salah satu titik fokusnya. Oleh karena itu, kecepatan edar bumi mengelilingi
matahari dan juga jarak bumi-matahari tidak tepat sepanjang tahun. Kira-kira
pada tanggal 22 Desember, jarak bumi-matahari adalah terdekat, yaitu sekitar
1,45x1011 m, dan pada tanggal 22 Juni jarak terjauh, yaitu sekitar
1,54x1011 m.[7]
Peredaran bumi yang mengelilingi bumi yang berbentuk
ellips inilah yang menyebabkan adanya perputaran bumi pada sumbunya tidak tentu
24 jam, terkadang kurang dan terkadang lebih. Hal inilah yang menjadi penyebab
adanya perbedaan antara waktu matahari hakiki dengan waktu matahari
rata-rata/waktu matahari pertengahan.[8]
C. Waktu
Surya
Waktu surya atau disebut juga dengan waktu matahari
adalah waktu yang kita pergunakan seharai-hari sebagaimana yang ditunjukkan
oleh jam dan arloji yang kita pakai dan dipergunakan pada siaran radio dan
televisi adalah didasarkan pada perjalanan harian matahari; Jika matahari
terbit kita katakan bahwa hari pukul 06, jika matahari berkulminasi atas hari
pukul 12, jika matahari terbenam hari pukul 18, dan jika matahari berkulminasi
bawah hari pukul 24, atau boleh kita sebut pukul 00 bagi hari yang baru.[9]
Sebenarnya peredaran matahari bukanlah merupakan dasar
pengukuran waktu yang sempurna. Hal itu disebabkan oleh karena jalannya tidak
benar-benar rata, artinya kadang-kadang agak cepat dan kadang-kadang agal
lambat. Oleh karena itu masa di antara dua kali matahari berkulminasi
adakalanya tidak tepat 24 jam lamanya, suatu hari lebih dari 24 jam dan pada
hari yang lain kurang dari 24 jam.[10]
Untuk mengetahui cepat dan lambatnya perjalanan matahari
hakiki, orang menciptakan bandingannya, yaitu sebuah matahari hayalan yang
jalannya sungguh-sungguh rata, dengan pengertian bahwa masa diantara dua kali
kedudukannya yang sama, misalnya dua kali berkulminasi lamanya senantiasa 24
jam. Matahari hayalan itu dinamakan matahari pertengahan dan waktu yang
ditunjukannya disebut Mean Solar Time atau waktu pertengahan dalam
bahasa arab disebut waktu wasathi. Waktu yang ditunjukkan oleh matahari
hakiki dinamakan waktu surya hakiki setempat (Apparent Solar Time), disebut
juga waktu hakiki setempat atau waktu surya disebut juga dengan waktu istiwa
setempat (WIS).[11]
D. Equation
Of Time
Equation of Time dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan
istilah perata waktu, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan Ta’dil al-Syam,
yaitu selisih antara waktu kulminasi matahari hakiki dengan waktu matahari
rata-rata. Dalam perhitungan astronomi Equation of Time biasanya
disimbolkan dengan huruf ‘e’ kecil dan diperlukan untuk menghitung waktu
shalat, menghitung arah kiblat yang menggunakan
sudut deklinasi matahari, diperlukan juga dalam perhitungan awal bulan.
Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Equation of Time adalah, perata
waktu atau ta’dil al-Waqt / Ta’dil asy-Syam yaitu, selisih antara
waktu kulminasi Matahari Hakiki dengan waktu Matahari rata-rata. Data ini
biasanya dinyatakan dengan huruf ‘e’ kecil dan diperlukan dalam menghisab awal
waktu shalat.[12]
Tidak jauh berbeda, dalam Kamus Ilmu Falak, Equation of Time atau Ta’diluz
Auqat / Ta’diluz Zaman yaitu selisih waktu antara waktu matahari
hakiki dengan waktu matahari rata-rata. Dalam astronomi biasa disebut dengan Equation
of Time yang diartikan dengan ‘perata waktu’.[13]
Jika diartikan secara harfiah, Equation of Time berarti Persamaan
Waktu. Namun, Equation of Time tidak dapat dimaknai dengan pengertian
"Persamaan". Dalam astronomi, kata "Equation" sering
merujuk pada adanya koreksi atau selisih antara nilai rata-rata suatu variabel
dengan nilai sesungguhnya. Dalam hal ini, Equation of Time
berarti adanya selisih antara waktu matahari rata-rata dengan waktu matahari
sesungguhnya. Disini, yang dimaksud dengan waktu matahari adalah waktu lokal
menurut pengamat di suatu tempat ketika matahari mencapai transit.[14]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa, Equation of Time
atau perata waktu ialah selisih waktu antara waktu matahari hakiki dengan
matahari rata-rata (pertengahan). Hal tersebut disebabkan karena, peredaran
semu harian matahari dari arah timur ke barat itu tidaklah konstan, kadang-kadang
cepat kadang-kadang lambat. Keadaan ini diakibatkan oleh percepatan bumi
mengelilingi matahari tidak konstan karena bidang edarnya berbentuk ellips (penampang jorong = bulat telur) sedangkan
matahari berada pada salah satu titik apinya. Sehingga suatu saat bumi dekat
dengan matahari (Hadlidl atau Perehelium) yang menyebabkan gaya
gravitasi menjadi kuat, sehingga perputaran bumi menjadi cepat yang akibatnya
sehari-semalam kurang dari 24 jam. Pada saat lain bumi jauh dengan matahari (Auj
atau Aphelium) yang menyebabkan gaya gravitasi menjadi lemah, sehingga
perputaran bumi menjadi lambat yang akibatnya sehari-semalam lebih dari 24 jam.[15]
Dengan demikian Equation of Time : jumlah yang
harus dikurangkan dari waktu hakiki, untuk memperoleh waktu petengahan.
Equation of Time = Waktu Hakiki ─ Waktu Pertengahan
|
Dengan persamaan sebagai
berikut:
Waktu Pertengahan = Waktu Hakiki ─ Equation of Time
|
Pada gambar sebelah kiri memperlihatkan
keadaan, jika matahari pertengahan berkedudukan di sebelah timur matahari
hakiki, jadi matahari pertengahan tertinggal dalam perjalanan hariannya dari
matahari hakiki. Misalnya, apabila kita melihat ke selatan, matahari tampak
bergerak dari kiri ke kanan sesuai arah anak panah, P adalah matahari
pertengahan, matahari hakiki sedang berkulminasi.[16]
Pada saat matahari hakiki
mencapai tempatnya di meridian, matahari pertengahan (P) masih disebelah timur
meridian. Dalam keadaan demikian, waktu hakiki menunjukkan pukul 12.00, tetapi
menurut waktu pertengahan hari belum menunjukkan pukul 12.00, melainkan
misalnya pukul 11.54. perata waktu besarnya 12.00 - 12.06 = -6 menit.[17]
Pada gambar sebelah kanan
menunjukkan bahwa matahari pertengahan berjalan lebih dahulu dari matahari
hakiki. Jika hari pukul 12.00 menurut waktu hakiki, maka waktu pertengahan
menunjukkan pukul 12.00 lebih, misalnya pukul 12.06. perata waktu besarnya
12.00 – 12.006 = - 6.
Nilai Equation of Time
pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama satu tahun. Nilai ini dapat
diketahui pada tabel-tabel astronomis, misalnya Ephemeris, Almanak Nautika.[18]
Perubahan terjadi empat
kali setiap tahunnya, yaitu (tahun 1956) : tanggal 12 Pebruari: -14m20d,
tanggal 15 Mei +3m44d tanggal 26 Juli -6m24d,
dan tanggal 3 Nopember +16m23d. Pada tanggal 12 Pebruari,
matahari berkulminasi pukul 12 - (-14m20d) = pukul 12j14m20d,
dan pada tanggal 3 Nopember, pukul 12 - (+16m23d) = pukul
11j43m37d.[19]
Perata waktu berjumlah 0 pada tanggal 15 April, 14 Juni, 1 September, dan 25
Desember. Pada tanggal-tanggal tersebut, sudut waktu matahari hakiki sama
besarnya dengan sudut waktu matahari pertengahan.[20]
Pada gambar grafik di atas, menyajikan kurva Equation
Of Time selama 1 tahun. Sumbu horisontal menunjukkan nomor hari, dihitung
sejak tanggal 1 Januari. Sumbu vertikal menunjukkan nilai Equation Of Time
dalam satuan menit. Dari Gambar tersebut, nampak bahwa nilai Equation Of
Time mencapai minimum (sekitar minus 14 menit 17 detik) pada sekitar hari
ke 42 atau sekitar tanggal 11 Februari. Nilai Equation Of Time kira-kira
sama dengan nol pada sekitar tanggal 14 April, 12 Juni, 31 Agustus dan 24
Desember. Sedangkan nilai Equation Of Time mencapai maksimum (sekitar 16
menit 28 detik) sekitar tanggal 2 atau 3 Nopember.
Bisa dikatakan, untuk
tanggal-bulan yang sama nilai Equation Of Time relatif tetap sepanjang tahun. Misalnya, Equation Of Time selalu mencapai minimum pada
sekitar tanggal 11 Februari sebesar sekitar minus 14 menit 17 detik. Jika
bergeser pada tahun berikutnya, hanya berkisar satu hingga beberapa detik saja.
Mengingat tetapnya nilai Equation Of Time untuk tanggal yang sama, maka Equation Of Time dapat digunakan sebagai
parameter untuk menghitung waktu shalat atau untuk menyusun jadwal shalat abadi
sepanjang tahun.[21]
E. Mean
Time / Waktu Pertengahan
Waktu
pertengahan (WP) atau yang sering disebut dengan mean time adalah waktu
yang didasarkan kepada peredaran matahari hayal yang seakan-akan perjalanannya
stabil, artinya tidak pernah terlalu cepat dan tidak pernah terlambat.
Dengan
demikian maka waktu pertengahan (WP) dengan waktu hakiki (WH) bisa bersamaan
dan bisa pula tidak bersamaan. Suatu ketika waktu pertengahan mendahului waktu
hakiki dan pada saat yang lain waktu pertengahan didahului oleh waktu hakiki.
Perata
Waktu (PW)/ Equation of Time (e) yang membuat jarak antara waktu hakiki dengan
waktu pertengahan dinyatakan positif jika pada pukul 12 WP, waktu hakiki
menunjukkan pukul 12.00 lebih. Sebagai contoh pukul 12.00 WP, waktu hakiki
menunjukkan pukul 12.11 berarti perata waktu (e) = +11 menit. Kemudian
dinyatakan negatif jika pada waktu pukul 12.00 WP, waktu hakiki belum
menunjukkan pukul 12.00. Sebagai contoh pukul 12 WP, waktu hakiki menunjukkan
pukul 11.47, berarti perata waktu = -13 menit.
Berangkat
dari dua contoh tersebut dapat diterapkan rumus sebagai berikut: WP=WH-PW.[22] Artinya waktu pertengahan
dapat diperoleh dari waktu hakiki dikurangi perata waktu.[23]
Contoh:
1.
Diketahui WH = pukul 12 j 2m 11
d GMT
e = + 02 m 11d
(”e”
tanggal 26 April 2010)
WP = WH – e
=
12 j 2m 11 d – (+ 2 m 11d )
=
12 j 2m 11 d – 2 m 11d
=
pukul 12.00
2.
Diketahui WH = pukul 10 j 45m 00
d GMT
PW = -2 m
53d (”e” tanggal 1 April 2010)
WP = WH – PW
=
10 j 45m 00 d – (-2 m 53d)
=
10 j 45m 00 d + 2 m 53d
=
pukul 10 j 47m 53 d
F. Universal
Time/Greenwich Mean Time
Greenwich Mean Time (GMT) atau Waktu Rata-rata Greenwich
adalah rujukan waktu internasional yang pada mulanya didasarkan pada waktu
matahari di Greenwich. Sistem waktu yang mapan tersebut mempunyai sejarah
panjang yang didukung konvensi internasional dan kajian ilmiah untuk penyempurnaannya.
Sampai pertengahan abad 19, masing-masing negara menggunakan sistem jam
matahari sendiri dengan menggunakan meridian masing-masing.
Pembuatan sistem waktu baku antarwilayah diperlukan. Jika
tidak, jadwal kereta api bisa kacau ketika memasuki wilayah yang menggunakan
sistem waktu berbeda. Hal itu terutama dirasakan oleh jaringan kereta api di
Kanada dan Amerika Serikat. Kemudian, Kebutuhan adanya sistem waktu baku mendorong
Sir Sandford Fleming, seorang teknisi dan perencana perjalanan kereta
api Kanada mengusulkan waktu baku internasional pada akhir 1870-an. Gagasan itu
kemudian dimatangkan dalam Konferensi Meridian Internasional di Washington DC
pada Oktober 1884 yang dihadiri perwakilan 25 negara.[24]
Adapun kesepakatan pokok (konvensi) pada konferensi
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Bersepakat
menggunakan meridian dunia yang tunggal untuk menggantikan banyak meridian yang
telah ada.
2.
Meridian yang
melalui teropong transit di Observatorium Greenwich ditetapkan sebagai meridian
nol.
3.
Semua garis
bujur dihitung ke Timur dan ke Barat dari meridian tersebut sampai 180 derajat.
4.
Semua negara
menerapkan hari universal.
5.
Hari
universal adalah hari matahari rata-rata, mulai dari tengah malam di Greenwich
dan dihitung 24 jam.
6.
Hari nautika
dan astronomi di mana pun mulai dari tengah malam.
7.
Semua kajian
teknis untuk mengatur dan menerapkan sistem desimal pembagian waktu dan ruang
akan dilakukan.
Pada butir ke-2 tidak mendapat kesepakatan bulat. San
Dominggo menentang. Perancis dan Brazil abstain.[25]
Saat ini sistem waktu telah ditetapkan dengan 24 waktu baku, secara umum setiap
perbedaan 150 garis bujur, waktunya berbeda 1 jam. Dalam
pelaksanaannya, waktu baku tersebut disesuaikan dengan batas wilayah agar tidak
memecah waktu di suatu wilayah. Pada 1928, dalam konferensi astronomi
internasional, berdasarkan kajian soal waktu, maka penamaan GMT diubah menjadi
Universal Time (UT).
Waktu
universal (Universal Time) adalah satuan waktu yang didasari oleh rotasi bumi.
Satuan ini adalah kelanjutan modern dari GMT (Greenwich Mean Time), yaitu mean
waktu matahari di meridian di Greenwich, Inggris, yang secara lazim dianggap
sebagai bujur geografis 00.[26] GMT ini merupakan waktu
pertengahan yang didasarkan kepada garis bujur yang melalui Green wich (BB/BT
0°) dan digunakan sebagai standar Waktu Dunia Internasional.[27]
Perbedaan GMT dengan waktu pertengahan setempat di luar
Greenwich adalah tergantung besar kecilnya Garis Bujur (BB/BT) dan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
WP x = GMT + BT, atau
|
GMT = WPx - BT, atau
|
|
WP x = GMT – BB
|
GMT = WPx + BB
|
Contohnya sebagai berikut:
1.
Diketahui BT Semarang = 110° 26’
Pada
saat GMT menunjukkan pukul 11.30, WP =......
WP
Semarang = 11.30 + 110° 26’
= 11.30 + 7 j
21m 44d
= 18 j
51 m 44 d
2.
Diketahui BT Semarang = 100° 26’
Pada
saat WP Semarang menunjukkan pukul 19.54, GMT = ......
GMT = 19.54 - 100° 26’
= 19.54 - 8 j 24m 0d
= 11.30
Sedangkan perbedaan GMT dengan Waktu Hakiki (WH) di luar Greenwich
di samping ditentukan oleh besar kecilnya BT/BB juga dipengaruhi oleh besar
keceilnya perata waktu (e). Untuk itu digunkan rumus sebagai berikut:
GMT = WH x - PW - BT, atau
|
WH x = GMT + PW + BT, atau
|
|
GMT = WH x - PW + BB
|
WH x = GMT + PW - BT
|
Contohnya sebagai berikut:
1.
Diketahui WH Semarang = pukul 09.00 WIB
e = 2m 13d (”e” 26 April 2010 pukul 09.00 WIB).
GMT = .......?
GMT = 09.00 - 2m 13d - 110° 26’
= 09.00 - 2m 13d - 7 j 21m 44d = 1j 36m
3d
2.
Diketahui GMT menunjukkan pukul 1j
36m 3d GMT
e = 2m 7d (”e” 26 April 2010 pukul 1j
36m 3d GMT).
WH
Semarang = .......?
WH
Semarang = 1j 36m
3d + (- 2m 7 d) +110° 26’
= 1j 36m
3d - 2m 7 d + 7 j 21m 44d
= 8.55.40
G. Local Mean Time
Local
Mean Time (LMT) atau yang sering disebut dengan waktu setempat adalah waktu
pertengahan menurut bujur tempat di suatu tempat, sehingga sebanyak bujur
tempat di permukaan bumi sebanyak itu pula waktu pertengahan didapati.[28]
Misalnya jam 11 waktu pertengahan di Semarang berbeda
dengan jam 11 waktu pertengahan di
Bandung dan di Surabaya. Sehingga apabila ada tiga orang masing-masing
bertempat tinggal di tiga kota tersebut berjanji akan bertemu di suatu tempat
pada jam 01.00 waktu pertengahan, tentunya akan muncul pertanyaan, yakni waktu
pertengahan menurut mana?, karena ketiga kota tersebut masing-masing memiliki
jam 12 waktu pertengahan yang antara satu dengan yang lainnya berbeda
disebabkan oleh bujur tempat ketiga kota tersebut tidak sama. Untuk mengatasi
persoalan ini dibuatlah kelompok waktu yang kemudian dikenal dengan nama waktu
daerah (Zone Time).
Waktu daerah adalah waktu yang diberlakukan untuk satu
wilayah bujur tempat (meridian) tertentu, sehingga dalam satu wilayah bujur
hanya berlaku satu waktu daerah. Oleh karenanya, daerah dalam satu wilayah itu
disebut Daerah Kesatuan waktu.[29] Pada dasarnya waktu
daerah adalah waktu pertengahan yang didasarkan kepada garis bujur tertentu.
Dengan demikian maka WD dan GMT adalah sama, perbedaan hanya disebabkan oleh
karena pengaruh BT/BB.[30]
Waktu tersebut dibuat untuk mempermudah umat manusia
zaman sekarang. Jika dalam perjalanan jarak agak jauh orang berpegang kepada
pemakaian waktu-waktu setempat akan timbul kesulitan oleh karena jam yang
dibawa dalam perjalanan setiap kali harus disesuaikan dengan jam di tempat yang
dilalui.
Pembagian
wilayah daerah kesatuan waktu pada dasarnya berdasarkan pada kelipatan bujur
tempat 15° (360°:24 jam x 1°) yang dihitung mulai bujur tempat yang melewati
kota Greenwich yakni pada bujur 0°.
Berdasarkan Kep.Pres RI No. 41 Tahun 1987 dan berlaku
mulai 1 Januari 1988 jam 00.00 WIB.[31], wilayah Indonesia
terbagi atas tiga daerah waktu, yaitu:
Keppres RI N0.41 tahun 1987
Berlaku : 1
Januari 1988
Wilayah Waktu
|
Waktu Tolok
|
Bujur Tolok
|
Indonesia Barat meliputi :
Daerah Tingkat I di Sumatra, Jawa dan
Madura, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
|
GMT + 07 jam
|
105 ° BT
|
Indonesia Tengah meliputi :
Daerah Tingkat I di Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara
|
GMT + 08
jam
|
120 ° BT
|
Indonesia Timur meliputi :
Daerah Tingkat I di Maluku dan Irian Jaya
|
GMT +
09 jam
|
135 ° BT
|
Gambar Pembagian Wilayah Waktu Indonesia
Tahun 1988 sampai sekarang
Dengan waktu daerah semacam ini, persoalan seperti di
atas dapat teratasi. Kalau dikatakan jam 12 WIB, maka bagi orang Semarang,
orang Bandung, maupun orang Surabaya adalah sama, karena sebagai acuannya
adalah bujur tempat (meridian) 105° (bukan bujur tempat masing-masing kota).
H. Interpolasi
waktu
Untuk
merubah dari waktu pertengahan menjadi waktu daerah diperlukan koreksi yang
disebut Interpolasi waktu. Interpolasi waktu ini pada dasarnya adalah waktu
yang digunakan oleh matahri hayalan mulai saat berkulminasi atas di suatu
tempat sampai saat ia berkulminasi atas di tempat yang lain. Oleh karenanya,
interpolasi waktu sebagai ”selisih waktu antara dua tempat”. Harga interpolasi
waktu dapat diketahui selisih bujur antara dua tempat kemudian konversi menjadi
waktu dengan rumus:
Interpolasi Waktu = (-d) : 15
Keterangan: d WIB =
105°
d WITA = 120°
d WIT = 135°
Setelah interpolasi didapatkan, maka:
Waktu daerah = Waktu pertengahan-Interpolasi
Waktu[32]
Misalnya ada pertanyaan : ” Di
Semarang (100° 26’ BT) jam 08j 30m waktu pertengahan,
maka pada saat itu menurut WIB jam berapa?
Jawabanya dapat dihitung sebagai
berikut:
Interpolasi waktu = (-d) : 15
=
((110° 26’ - 105°) : 15) = 0° 21’ 44”
WIB =
08 j 30 m - 0° 21’ 44”
=
08 j 8 m 16 d
I. Selisih
Waktu Hakiki dengan Waktu Daerah
Untuk
mengetahui selisih waktu (tafawut) antara waktu hakiki (apparent
solar time) dengan waktu daerah (zone time) dapat dilakukan dengan
menambahkan equation of time dengan selisih antara bujur daerah dan
bujur tempat, kemudian di bagi 15. Rumusnya sebagai berikut:
Tafawut = -e + (d-) : 15
Keterangan: e =
Equation of Time
d = Bujur Daerah
= Bujur Tempat
Setelah tafawut didapatkan, maka:
Waktu Daerah =
WH – Tafawut
WH =
WD + Tafawut
Misalnya ada pertanyaan : ” Pada
tanggal 26 April 2010 di Semarang (110° 26’ BT) jam 09. 00 WIB, maka pada
saat itu menurut WIS (Waktu Istiwa Setempat) / AST (Apparent Solar Time) /
Waktu Hakiki jam berapa?
Jawabanya dapat dihitung sebagai
berikut:
Tafawut = -e + (d-) : 15
=
-2 m 13 d + ((105
- 110° 26’) : 15) = - 23 m 57 d
WH = WD + Tafawut
=
09. 00 + - 0 j 23 m 57 d
= 8 j 36 m
3 d
Jadi pada saat itu waktu hakiki menunjukkan
jam 8 j 36 m 3 d.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, M.Sayuthi, Ilmu Falak I, Jakarta:
Grafindo Persada, 1997.
Asmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih
(Qawa’idul Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Darmawan Abdullah, Jam Hijriyah; Menguak
Konsepsi Waktu dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan
Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010
---------------, Sains untuk Kesempurnaan
Ibadah: Penerapan sains dalam Peribadatan, Yogyakarta: Prima Pustaka, 2009.
Kartawiharja
Basuki, Penentuan Asimut; Dengan Pengamatan Matahari, Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 1995.
----------------------, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.
---------------------, 99 Tanya Jawab
Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009.
Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang:
UIN Malang Press, 2008.
Nyoman Suwitra, Astronomi Dasar, Jurusan
Fisika IKIP Singaraja, tp. tt.
Rinto Anugraha, Mengenal-Equation Of Time.
file_html, diunduh tanggal 01 April 2011 pukul 10.53. Lihat juga Moh.
Rachim Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty 1983.
Slamet Hambali, Ilmu Falak, Semarang, 1988.
Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern, cet. ke-II, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007.
------------------, Ensiklopedi Hisab
Rukyat, cet. II, edisi revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
------------------,
Hisab Awal Waktu Shalat, Yogyakarta: Modul Pelatihan Hisab Rukyat
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2007.
[1] Asmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul
Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 114.
[2] Beberapa nash al-Qur’an yang memberikan indikasi dan
isyarat tentang waktu, misalnya terdapat dalam: QS.103/al-‘Ashar: 1-3, QS.
2/al-Baqarah:189, QS. 5/Yunus: 5, QS.17/al-Isra’:12, QS.2/al-Baqarah:187,
QS.36/Yasin:38-40.
[3] Selain bumi berotasi dan berevolusi, bumi juga
bergerak, yang disebut dengan gerak Presisi, gerak Nutasi dan gerak Apsiden.
Lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek, hlm.
132-133.
[4] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Buana, 2005, hlm. 130. Lihat juga Nyoman Suwitra, Astronomi
Dasar, jurusan Fisika IKIP Singaraja, tp. tt., hlm. 2.
[5] Ibid, Muhyiddin Khazin..., hlm. 128.
[6] Ibid., hlm. 129.
[7] Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah
Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010, hlm. 21.
[8] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak..., hlm. 67.
[9] Abdur Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty,
1983, hlm. 41.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-II, Edisi Revisi, 2008, hlm, 62.
[13] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak...., hlm.
79.
[14] Dr. Rinto Anugraha, mengenal-Equation Of Time.file_html,
diunduh tanggal 01 April 2011 pukul 10.53. Lihat juga Moh. Murtadho, Ilmu
Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm. 238.
[15] Lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori &
Praktek, hlm. 69. Bandingkan dengan Pedoman Hisab Muhammadiyah, hlm. 57.
[16] Abdur Rachim, Ilmu Falak...., hlm. 47.
[17] Ibid, hlm. 48.
[18]Almanak-almanak astronomis seperti The Nautical
Almanac dan American Ephemeris selalu memuat saat matahari
berkulminasi dalam data harian. Dalam The American Ephemeris saat
matahari berkulminasi diistilahkan dengan Ephemeris Transit. Datanya
disediakan dalam satu jam, menit dan detik sampai 2 angka dibelakang koma.
Sementara itu, dalam Almanac Nautika matahari berkulminasi diistilahkan Merr
Pass (singkatan Meridian Pass) mempergunakan satuan jam dan menit. Dalam Almanac
Nautika juga disediakan data perata waktu (Equation Of Time / Ta’dil
al-Waqt) untuk jam 00 dan jam 12.00 GMT dalam satuan menit dan detik. Untuk
memperoleh saat matahari berkulminasi dengan menggunakan perata waktu bisa
diberi tanda e yang dapat dirumuskan: Saat Kulminasi = 12j-e. Untuk
mengetahui data perata waktu dalam Almanac Nautika itu bertanda positif
atau negatif, perlu dilihat Mer Pass nya. Jika Mer Pass lebih
dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda negatif (-), dan jika Mer Pass
nya kurang dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda positif (+). Data
perata waktu menentukan saat matahari berkulminasi setiap hari berubah, namun
dari tahun ke tahun relatif sama. Lihat catatan kaki no 19 Susiknan Azhari
dalam Hisab Awal Waktu Shalat, Yogyakarta: Modul Pelatihan Hisab Rukyat
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2007, hlm. 10.
[19] Sayuthi Ali, Ilmu Falak I, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997, hlm. 65.
[20] Abdur Rachim, Ilmu Falak...
[21] http://www.eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/mengenal-equation-of-time.htm, di download, Selasa, 13 April 2010, jam 06.22.
[22] Atau dengan simbol lain dirumuskan LMT = AST-e. LMT
(Local mean Time), AST (Apparent Solar Time), e (Equation Of Time).
Lihat Dimski Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta:
Madania, 2010, hlm. 22.
[23] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (semarang, 1988),
hlm. 47.
[24] Austria-Hungaria, Brazil, Chile, Kolombia, Costa
Rica, Perancis, Jerman, Inggris, Guatemala, Hawii, Italia, Jepang, Liberia,
Meksiko, Belanda, Paraguay, Rusia, San Domingo, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki,
Amerika Serikat, Venezuela, dan Salvador lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[25] http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[26] http://id.wikipedia.org/wiki/Waktu_Universal.
[27] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (Semarang, 1988),
hlm. 51.
[28] Muhyiddin Khazan, Ilmu Falak, (Yogyakarta:
Buana pustaka, 2004), hlm. 69.
[29] Ibid
[30] Slamet Hambali, Ilmu Falak, (semarang, 1988),
hlm. 54.
[31] Sunarjo dan Sukanto, Riwayat Waktu di Indonesia
Dan Perkembangannya, (Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika Bidang
Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, 2007), hlm. 81.
[32] Muhyiddin Khazan, Ilmu Falak, (Yogyakarta:
Buana pustaka, 2004), hlm. 71.
Trims Senior...
BalasHapushttps://pengantar-ilmufalak.blogspot.com