Irfangi, MSI |
- Pendahuluan
Menurut pandangan
para ahli Ushul Fiqh, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di samping menunjukkan
hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh
tasryi’ atau maqasid syari’at.
Melalui Maqasid Syari’at inilah
ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas
jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang
secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil[1] Mereka juga membahas
terhadap hukum-huum syar’iyyah yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil
tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami hukum-hukum tersebut dari
nashnya dan untuk mengistimbathkanya dari selain nash, baik dari kaidah-kaidah
kebahasaan maupun kaidah tasyri’iyyah[2]. Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah dan perannya dalam
menetapkn hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, seorang filosof hukum Islam
dari Spanyol yang hidup pada masa keemasan Granada sekitar abad ke-14.
B. Sketsa Biografi Imam Syatibi
1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi
Al-Syatibi adalah
filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu
Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal
lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan
dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba
(Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di
sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M
dan dimakamkan di Gharnata.
Al-Syatibi tumbuh
dewasa di Granada dan sejarah intelektualitasnya terbentuk di kota yang menjadi
ibu kota kerajaan Banu Nasr ini. Masa mudanya bertepatan dengan pemerintahan
Sultan Muhammad V al-Gani Billah yang merupakan masa keemasan bagi Granada.
Kota ini menjadi pusat perhatian para sarjana dari semua bagian Afrika Utara.
Waktu itu, banyak ilmuwan yang mengunjungi Granada, atau berada di Istana Banu
Nasr, di antaranya seperti Ibn Khaldun dan Ibn al-Khatib.
Al-Syatibi hidup di
masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami
berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum
yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum
al-Syatibi.
Dari aspek politik,
perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos
pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan
pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid
Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat
dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik
luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan
Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian
damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri
kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal
kerajaan.
Stabilitas politik
ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia
keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan
evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya
masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382
M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji
ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji (754 H/ 1355 M)
meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat
hukum Islam.
Beberapa tahun
sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos politik di
Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik,
Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah rival politik Ibn
Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai sejumlah
kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn
Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun
selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk kepemimpinan Ibn Hud
kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H dan menyatakan diri
sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-Galib
Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar, menjadikan Granada sebagai
pusat pemerintahan.
Bani Nasr membangun
pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai dua abad.
Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa
Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan
senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada
suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai
dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga
kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah atau Sultan Muhammad V.
Di masa Gani
Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini
merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah
satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun
demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit
ulamanya di strukutur politik. Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam
relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup
intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.
Status quo para
fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan
bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari
gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan
Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha
Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak
mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika al-Syatibi,
meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16
cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab
Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam
berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka
menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.
Tidak terjebak pada
oposisi biner dengan kekuasaan, ia juga mengkritik gerakan tasawuf para ulama
yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi tentang praktek tasawuf yang
menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf saat itu Abu
al-Hasan al-Nawawi.
Al-Syatibi juga
menyoroti ta‘ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan
masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang
yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa
masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam
al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H
menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara.
Al-Syatibi
mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada Abu
Abd Allah Muhammad bin Ali al-Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di Andalusia.
Pengalaman tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M dan
tentang pelajaran-pelajaran yang didapatnya terrekam dalam kitab yang disusunya
yang berjudul al-Ifadat wa al-Irsyadat atau Insya’at. Dari kitabnya ini dapat
dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu bahasa dan sastra dengan cukup
qualified. Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabti
(760 H/ 1358 M), ketua hakim di Granada yang dikenal dengan sebutan 揚embawa Pedoman
Berpidato.
Mulai belajar fikih
pada tahun 754 H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu Sa’adah Ibn Lubb yang
kepada orang inilah hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn
Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiyar, atau
keputusan melalui pilihan dalam fatwa.
Sejarah pendidikan
al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para
diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu
disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada tahun
757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat. Ia adalah
penulis sebuah buku tata bahasa Arab. Ia dikenal sebagai mah}aqqiq atau pakar
dalam bidang aplikasi prinsip-prinsip umum aliran Maliki untuk kasus-kasus
khusus. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus
Razisme dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam
tasawuf.
Dua guru al-Syatibi
yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang
dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan
tradisional, al-‘Ulum al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan
al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke
Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering berdebat dengan
ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M, ia dideportasi
dari Andalusia. Al-Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis terhadap
faham Razi. Ia belajar bersama Abili dan mengambil konsentrasi studi ilmu
pengetahuan rasional.
Motifasi Al-Syatibi
mempelajari ushul fikih berawal dari kegelisahannya yang menganggap kelemahan
fikih dalam menjawab tantangan perubahan sosial terutama dikarenakan oleh
metodologi dan filsafatnya yang kurang memadai. Salah satu masalah yang paling
membuatnya gelisah adalah keragaman pendapat di kalangan ilmuwan tentang
berbagai persoalan. Penggunaan prinsip mura‘ah al-khilaf atau
inklusifitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas
perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah
menjadi semakin kompleks.
Al-Syatibi
mengangap dengan mura‘ah al-khilaf, badan hukum seperti tanpa jiwa,
formalismenya akan tetap tanpa realitas jika sifat riil teori hukum tidak
diselidiki. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari
realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan
kemudahan hidup. Karya-karyanya merupakan hasil refleksi kegelisahannya ini.
Pola pikir radikal
dan fatwa-fatwa kontroversial al-Syatibi membuatnya diposisikan sebagai oposisi
kekuasaan oleh para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. Sejumlah persoalan
yang menjadi kontroversial di antaranya tentang tasawuf dan fikih. Al-Syatibi
menentang praktek tasawuf yang ekstrim sampai dicampuradukkan dengan fikih,
misalnya pewajiban melakukan ritual tasawuf tertentu dalam shalat sedangkan
pewajibannya punya pengertian wajib secara syar’i, pewajiban zuhud secara umum
atau kepada semua muslim, kepercayaan akan superioritas seorang Syaikh atas
semua pemimpin aliran lain. Al-Syatibi juga menentang praktek penyebutan nama
sultan tertentu dalam do’a-do’a. Al-Syatibi menganggap bahwa praktek tersebut
lebih bernuansa politis daripada ibadah.
Al-Syatibi
merupakan ilmuwan yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu dan menguasainya
secara komprehensif. Menurut Abu al-Ajfan, ini disebabkan al-Syatibi telah
menguasai metode ‘ulum al-wasa’il wa ‘ulum al-maqasyid atau metode esensi dan
hakikat.
Dari sedikit review
latar belakang kehidupan dan profil al-Syatibi di atas dapat dipahami bahwa
al-Syatibi memiliki bangunan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan telah
teruji melalui perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Tidak mengherankan
jika al-Muwafaqat menjadi referensi di sebagian besar kalangan ilmuwan modern.
2. Karya-karya al-Syatibi
Berikut adalah
daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik.
Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra arab dan jurisprudensi.
(a) Syarh Jalil ‘ala al-Khulasa fi al-Nahw.
(b) ‘Unwan al-Ittifaq fi‘Ilm al-Isytiqaq.
(c) Kitab Ushul al-Nahw.
(d) Al-Ifadat wa al-Irsyadat Insya’at.
(e) Kitab al-Majlis.
(f) Kitab al-I‘tisam.
(g) Al-Muwafaqat.
(h) Fatawa.
(b) ‘Unwan al-Ittifaq fi‘Ilm al-Isytiqaq.
(c) Kitab Ushul al-Nahw.
(d) Al-Ifadat wa al-Irsyadat Insya’at.
(e) Kitab al-Majlis.
(f) Kitab al-I‘tisam.
(g) Al-Muwafaqat.
(h) Fatawa.
- Maqashid Syari’ah Imam al-Syatibi
Dilihat dari
sudut kerasulan Nabi Muhammad SAW, dapat diketahui bahwa syariat Islam
diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan.[3]
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum
yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan
oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat. Lebih lanjut Abu
Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan,
yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan
hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.[4]
a. Kebutuhan
Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah
tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila
tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan
dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok
inilah Syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan
alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok
diatas. Misalanya, firman Allah dalam mewajibkan jihad :
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash
:
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Dari ayat pertama dapat diketahui
tujuan disyariatkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana
terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat
kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash
karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
b.
Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder, di mana
bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya
hukum rukhshah (keringanan) seperti
dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat
Islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana
kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan
tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat
diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang
sakit. Kebolehan meng-qasar shalat
adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat
ini.
Dalam lapangan mu’amalat
disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual beli,
sewa menyewa, syirkah (perseroan) dan
mudharabah (berniaga dengan modal
orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum rukhshah dalam mu’amalat.
Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi
hukum), Islam mensyariatkan hukuman diyat
(denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan
atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari
kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam Syariat Islam adalah
ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, ayat 6 Surat
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.
Artinya; Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung
dan sebaik- baik penolong.
c.
Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah
tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah
satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi,
hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal
yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan
tuntutan moral dan akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal
yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat.
Dalam lapangan ibadat, kata Abd.
Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau
hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan
berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan mu’amalat Islam
melarang boros, kikir, menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan membunuh
anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan).
Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat,
misalnya ayat 6 Surat al-Maidah :
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
D. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah,
seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting
yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah
untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan
Sunnah secara kajian kebahasaan.[5]
Metode istinbat, seperti qiyas[6],
istihsan[7], dan
maslahah mursalah[8]
adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan
alasan logis (‘illat) dari suatu
hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS.
al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya
khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan
demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat)
dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri
hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram.
Dengan demikian, ‘illat hukum dalam
suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada
ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk ke
dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurang-kurangnya
salah satu dari kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul
Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila
sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat
diakui sebagai landasan hukum yang dikenal dengan maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya , itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu
diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih
umum dan lebih layak menurut syara’
untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam
kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqasid syari’ah dalam praktik-praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah
(maslahah mursalah), dan lainnya
seperti istishab[9], sadd al-zari’ah, dan ‘urf (adat kebiasaan), disamping disebut
sebagai metode penetapan hukum melalui maqasid
syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama Ushul Fiqh disebut sebagai
dalil-dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan
dalil-dalil hukum di atas.
Diskursus maqashid al-syari‘ah sebelum al-Syatibi banyak berkutat
pada persoalan ‘illah hukum dan maslahah sebagai landasan perumusan
hukum. Karena waktu itu para ulama ushul banyak yang merangkap sebagai
teolog atau ulama kalam, maka banyak wacana di bidang ushul fikih juga
dieksplorasi oleh para teolog termasuk diskursus maqashid al-syari‘ah.
Salah satu hasilnya adalah diskursus mengenai hukum kausalitas yang sebenarnya
ada perbedaan paradigma yang tidak bisa dicampuradukkan antara kausalitas dalam
kerangka filsafat hukum dan kausalitas dalam kerangka teologi.
Menurut
al-Syatibi, dalam merumuskan hukum, motif Allah adalah kemaslahatan manusia dan
dari premis awal inilah perdebatan tentang hukum kuasalitas dimulai. Namun,
pengertian sebab, kausa atau motif dalam ilmu kalam tidak bisa disamakan dengan
pengertian ‘illah dalam ushul fikih. Ada peralihan makna atau perubahan
semantik ‘illah dari studi teologi menuju studi filsafat hukum....
Al-Syatibi
berpendapat bahwa maslahah sebagai motif syari’ah diketahui melalui
metode induktif, baik sebagai grand theme syari’ah secara umum maupun
sebagai penjelasan atas alasan-alasan sebuah hukum atau perintah secara rinci.
Al-Syatibi memberikan contoh yang telah dijelaskan alasan-alasannya dalam
al-Qur’an. Misalnya, perintah wudlu yang motifnya adalah kesucian, perintah
berpuasa yang motifnya adalah ketaqwaan dan kesalehan dan perintah berjihad
yang motifnya adalah kemerdekaan.
Doktrin maqashid
al-syari‘ah merupakan suatu usaha penegakkan maslahah sebagai unsur esensial
dalam tujuan-tujuan hukum. Al-Syatibi memfalsifikasi studi maqashid al-syari‘ah
menjadi dua tingkatan, dari sudut maqasid al-syari‘ atau tujuan Allah
sebagai pembuat hukum dan dari sudut pandang maqashid al-mukallaf atau
subjek hukum.
Kemaslahatan sebagai maqasid al-syari‘ mempunyai arti
bahwa Allahlah yang memutuskan sebuah kemaslahatan. Meskipun demikian,
al-Syatibi menyadari bahwa kondisi ini tidak bersifat final. Al-Syatibi
mengakui bahwa kemaslahatan versi Allah ini masih bisa dipahami dan dibuka
ruang-ruang diskursifnya. Maqashid al-syari‘ah versi Allah ini mencakup
empat aspek pengertian, yaitu:
1. Kemaslahatan sebagai dasar tujuan syari’at. Aspek ini
membicarakan tentang pengertian, tingkatan, karakteristik dan relatifitas atau
keabsolutan maslahah.
2. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini
mendiskusikan dimensi linguistik dalam persoalan taklif. Perintah yang
merupakan bentuk taklif harus bisa dipahami oleh semua mukallaf
baik pemahaman kata dan kalimatnya maupun pemahaman linguistik dan kulturalnya.
Dalam aspek ini al-Syatibi menggunakan dua istilah, al-dalalah al-ashliyyah
atau pengertian esensial dan al-dalalah al-ummumiyyah atau common sense.
3. Syari’at semata-mata sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan. Aspek ini menganalisa pengertian taklif dalam kaitannya
dengan kemampuan manusia, kesulitan yang dihadapi dan lain-lain.
4. Tujuan syari’at
membawa mukallaf ke bawah naungan hukum. Aspek ini bermakna mewujudkan
kepatuhan manusia di bawah hukum Allah. Manusia harus dibebaskan dari belenggu
hawa nafsu.
Dari sudut maqashid
al-mukallaf, al-Syatibi mengangkat pembahasan tentang kehendak dan
perbuatan-perbuatan manusia. Dalam hal ini al-Syatibi membahas beberapa konsep
yang berkaitan dengan tujuan versi mukallaf yaitu tentang konsep mashlahah,
dalalah, taklif, ta‘abbud dan niat. Penelitian ini hanya akan
membahas konsep maslahahnya saja.
E. Kesimpulan
1. Dalam pandangan Al-Syatibi,
bahwa jika diteliti seluruh hukum dalam syari’ah, maka semuanya itu dibuat
untuk tujuan yang satu, yaitu kemaslahatan manusia (mashalih al-ibad).
Atas dasar inilah, Al-Syatibi dikenal sebagai salah satu tonggak penting dalam
sejarah hokum Islam, sebab dialah salah satu ulama yang paling menekankan
pentingnya “kemaslahatan” sebagai dasar pemahaman atas hukum Islam.
2. Menurut Al-Syatibi, maslahat
itu bertingkat-tingkat atau hirarkis. Ada 3 (tiga) tingkatan kemaslahatan : dharuriyyat
(maslahat yang urgen), hajiyyat (maslahat pendukung), dan tahsiniyyat
(maslahat penyempurna/aksesoris). Maslahat tingkat kedua tentu tidak sepenting
maslahat tingkat pertama, dan maslahat tingkat ketiga tentu tidak sepenting
maslahat tingkat kedua.
3. Menurut Al-Syatibi, maslahat
paling dasar dalam agama adalah lima : menjaga agama, menjaga nyawa, menjaga
keturunan, menjaga hak milik, dan menjaga akal. Yang apabila dikembangkan
penafsirannya, kelima maslahat itu akan berbunyi sebagai berikut: 1. melindungi
kebebasan beragama, 2. melindungi kelangsungan hidup, 3. melindungi
kelangsungan keturunan, 4. melindungi hak milik, dan 5. melindungi kebebasan
berpikir.
Jika kita tafsirkan dalam bahasa
kontemporer, maka kelima maslahat itu akan mencakup perlindungan atas
sekurang-kurangnya 3 hak : hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, dan hak-hak budaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta.
2
Abu
Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, Darul
Ma’rifah, Beirut, 1997.
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa : Moh. Zuhri dan
Ahmad Karib, Dina Utama, Semarang, 1994.
4
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Press, Jakarta,
2006.
5
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
6
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
7
http:// biografi tokoh muslim / imam syatibi . html
8
Maqashid al-Syari’ah : Suatu Elaborasi Awal Atas Teori Imam Syatibi.
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Prenada Media,
Jakarta, 2005, hal. 233.
[2] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (terj),
Dina Utama, Semarang, 1994, hal. 2.
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Rajawali Press,
Jakarta, 2006, hlm. 121.
[4] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul
Ma’rifah, Bairut, 1997, jilid 1-2, hal.
324
[5] Satria Effendi, op. cit. hal. 237.
[6]Secara bahasa (Arab), qiyas berarti
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu
dengan yang lain. Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung pengertian yang sama. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 62.
[8]Secara
etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul
fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam
Al-Ghazali misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah
“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara.” Nasrun Haroen,…ibid, hlm. 113.
[9] Secara bahasa Arab berarti,
pengakuan adanya penghubungan. Sedangkan menurut para ahli ilmu ushul fiqh
adalah : menetapkan hokum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan
hokum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu,
sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya itu. Abdul Wahhab
Khallaf,…op. cit, hlm. 127.
0 komentar:
Posting Komentar